Urgensi Iman: Refleksi atas Tantangan Generasi Muda Masa Kini
Oleh: Syahbana Daulay
Di tengah cepatnya arus perubahan zaman, teknologi, dan gaya hidup modern, kita menyaksikan sebuah fenomena yang cukup mengkhawatirkan: merosotnya keimanan di kalangan generasi muda. Banyak dari mereka yang kehilangan arah, merasa kosong meski segala fasilitas hidup tersedia. Apa sebenarnya yang hilang dari hati mereka. Iman, betul jawabannya iman. Iman Akar Kehidupan yang Kokoh Iman kepada Allah bukan sekadar kata-kata. Ia adalah keyakinan yang menenangkan hati, menguatkan jiwa, dan menuntun langkah manusia menuju kebaikan. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
إِنَّ اللَّـهَ يُدَافِعُ عَنِ الَّذِينَ آمَنُوا
“Sesungguhnya Allah membela orang-orang yang beriman." (QS. Al-Hajj: 38)
Iman itulah yang menjaga kita dari kegelisahan hidup, menenangkan di saat ujian datang, dan menjadi pelita dalam kegelapan dunia. Orang yang beriman akan merasa cukup meski sederhana, merasa kuat meski diterpa ujian, dan tetap berharap meski dunia terasa sempit.
Ketika Iman Mulai Memudar
Sayangnya, tidak semua menyadari harga nilai iman dalam hidup. Generasi muda saat ini hidup dalam era yang serba instan, penuh distraksi, dan dijejali dengan nilai-nilai hedonistik. Mereka lebih mengenal selebriti dunia maya dibanding mengenal nama-nama sahabat Rasulullah SAW. Lebih hafal lirik lagu dibanding ayat suci. Akibatnya, iman mereka perlahan memudar, dan bersamanya, hilang pula arah hidup dan ketenangan hati.
Psikiater ternama, Viktor Frankl, pernah berkata bahwa manusia sejatinya bukan mencari kesenangan, tetapi mencari makna. Tanpa makna, hidup terasa hampa, dan iman adalah sumber makna yang paling dalam.
Tanda-Tanda Krisis Iman
Krisis iman di kalangan muda bukan sekadar isu religius, melainkan fenomena psikososial yang kompleks. Beberapa tanda lemahnya iman yang sering tampak antara lain:
1. Sulit Khusyuk dalam Ibadah atau Bahkan Meninggalkannya Fenomena ini bisa dikaitkan dengan konsep religious disengagement, yaitu kondisi ketika individu kehilangan koneksi emosional atau kognitif terhadap praktik keagamaan (Pargament, 2002). Teknologi digital dan arus informasi instan mempercepat distraksi, mengurangi konsentrasi, dan melemahkan kedalaman spiritual.
2. Gelisah Tanpa Sebab, Padahal berkecukupan Secara Materi . Rasa gelisah ini berkaitan dengan apa yang disebut Viktor Frankl sebagai existential vacuum, kehampaan hidup karena kehilangan makna. Dalam konteks Islam, ini menunjukkan kekosongan iman, di mana hati tidak tenteram karena jauh dari Allah, sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an: "Ketahuilah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang." (QS. Ar-Ra’d: 28)
3. Mengidolakan Hal-Hal yang Tidak Mendidik dan Melalaikan Akhirat Budaya populer yang dangkal dan hiper-materialistik menyebabkan value disorientation pada generasi muda (Baudrillard, J.,1998). Mereka lebih mudah terjebak dalam idola fiktif atau hiburan tanpa arah, yang oleh para ulama disebut sebagai bentuk ghaflah (kelalaian dari akhirat).
4. Merasa Hidup Tanpa Arah, Tanpa Tujuan Hakiki Dalam Islam, hidup memiliki misi utama: menyembah Allah (QS. Adz-Dzariyat: 56). Hilangnya arah hidup adalah indikasi terlepasnya manusia dari fitrahnya. Psikologi eksistensial menyebut hal ini sebagai identity crisis (Erikson, E. H. 1968), kebingungan nilai dan tujuan hidup.
Iman sebagai Sumber Kebahagiaan Hakiki Dalam al-Qur’an surat an-Nahl: 97, Allah berfirman: “Barangsiapa beramal saleh, baik laki-laki maupun perempuan, sedang ia beriman, maka pasti Kami akan berikan kepadanya kehidupan yang baik”
Ayat ini menggarisbawahi bahwa iman dan amal saleh bukan hanya memberi pahala ukhrawi, tetapi juga dampak psikologis berupa hayatan tayyibah (kehidupan yang baik). Ini sejalan dengan temuan psikologi positif bahwa orang beragama cenderung lebih bahagia dan sehat secara mental (Koenig, H. G., McCullough, M. E., Larson, D. B. 2001).
Langkah Mengembalikan Iman kepada Esensi Kehidupan Ada beberapa langkah yang harus dipedomani para generasi muda agar tidak salah arah dalam memahami dan menjalani hidup, sehingga dapat merasakan dan menikmati hidup dengan penuh ketenangan dan harapan besar.
1. Mendekatkan Diri pada Al-Qur’an
Sebagai pedoman hidup, al-Qur’an wajid didekati, dibaca, dan diresapi kandungannya, apalagi di dalamnya terdapat kisah-kisah para Nabi yang inspiratif dan berfungsi sebagai moral exemplars. Kajian neuropsikologi menunjukkan bahwa narasi efektif dalam membentuk empati dan karakter moral (Mar ‘Oatley, 2008).
2. Menemukan Teladan
Albert Bandura dalam teorinya menjelaskan bahwa remaja belajar dari observasi dan peniruan terhadap role model di sekitarnya. Maka, keteladanan orang-orang yang berpengaruh di lingkungan mereka adalah metode pendidikan yang paling ampuh (Bandura, A., 1977).
3. Memanfaatkan Media Digital secara Positif
Media digital adalah alat dakwah masa kini. Konten berbasis audio-visual lebih mudah diterima dan dicerna oleh otak, apalagi pada generasi visual seperti Gen-Z dan Alpha (Mayer, R. E. 2009).
4. Bangun Komunitas Positif
Dukungan sosial dalam komunitas terbukti berkontribusi terhadap kesehatan mental dan spiritual seseorang. Dalam Islam, ini tergambar dalam pentingnya berjamaah, saling menasihati dalam kebaikan dan kesabaran (QS. Al-‘Asr 1-3, Berkman, L. F., & Glass, T. 2000).
Dengan mengintegrasikan sains modern, psikologi, dan nilai Islam, solusi terhadap krisis iman bukan hanya mungkin, tetapi juga sangat relevan di era sekarang. Saatnya Bergerak Iman adalah karunia, tapi juga tanggung jawab. Jika tidak menjaga dan menguatkannya, maka perlahan ia akan terkikis oleh zaman. Mari jadikan iman sebagai kekuatan utama dalam membina diri, keluarga, dan masyarakat. Dan mari membantu generasi muda untuk menemukan kembali cahaya iman, karena dengan iman, hidup tak hanya indah, tapi juga bermakna. wallahu a’lam
*** Penulis, Syahbana Daulay, Dosen UMSU