Home / Literasi / Tiga Pilar Muhammadiyah: Keteladanan Kiai Ibrahim, Kiai Hisyam, dan Kiai Mas Mansur

Tiga Pilar Muhammadiyah: Keteladanan Kiai Ibrahim, Kiai Hisyam, dan Kiai Mas Mansur

Tiga Pilar Muhammadiyah: Keteladanan Kiai Ibrahim, Kiai Hisyam, dan Kiai Mas Mansur

Oleh: H. Budi Setiawan, ST.

 

Berbicara tentang tokoh-tokoh Muhammadiyah yang patut kita teladani, jumlahnya memang sangat banyak. Pada kesempatan malam ini, saya ingin menyinggung tiga tokoh penting yang berjasa besar: Kiai Ibrahim, Kiai Hisyam, dan Kiai Mas Mansur. Masing-masing memiliki kekhasan, peran, dan sejarah yang mewarnai perjalanan Persyarikatan Muhammadiyah.

Namun sebelum masuk ke kisah ketiganya, saya ingin mengajak Ibu-Bapak untuk menengok sebuah peristiwa bersejarah. Mungkin ada yang pernah melihat tayangan video lama yang sempat viral beberapa waktu lalu. Video itu ternyata berasal dari tahun 1925, ketika pemerintah kolonial Belanda mengirim juru kamera ke Yogyakarta untuk meliput suasana keraton. Namun, secara tak terduga, kameramen itu justru merekam sebuah perhelatan akbar Muhammadiyah yang berlangsung di alun-alun. Rekaman itulah yang kemudian menjadi catatan sejarah penting, bahkan tersimpan hingga ke Museum Leiden di Belanda, dan kini bisa kita saksikan kembali.

Dalam rekaman tersebut, tampak jelas betapa luar biasanya pengaruh dan daya tarik Muhammadiyah pada masa itu. Bayangkan, di tahun 1925–1927, masyarakat sudah dapat berkumpul dalam jumlah besar dengan satu semangat: Persyarikatan Muhammadiyah. Acara itu bahkan masih menggunakan penerangan lampu sederhana, sebab teknologi saat itu belum semaju sekarang. Film aslinya berupa film bisu, lalu diberi tambahan musik pengiring ketika dipublikasikan ulang.

Di alun-alun, tampak pasukan Hizbul Wathan (HW) berbaris dengan gagah. Kiai Ibrahim sendiri hadir, berjalan di depan didampingi para pimpinan Muhammadiyah lainnya. Sosoknya begitu berwibawa di tengah ribuan massa. Menariknya, karena keterbatasan sarana, bendera Muhammadiyah ketika itu hanya sedikit. Tetapi semangat jamaah tak terbendung—ada yang sampai menggunting kertas untuk dijadikan bendera, sekadar mengekspresikan kegembiraan dan kebanggaan mereka.

Kalau kita perhatikan wajah-wajah tokoh dalam video itu, hampir semuanya tampak serius. Jarang sekali orang tersenyum ketika difoto atau difilmkan pada masa itu, mungkin karena kamera yang digunakan berukuran sangat besar dan proses pengambilan gambarnya cukup merepotkan. Beberapa tokoh yang terekam antara lain Kiai Ibrahim, Kiai Hadjid yang masih muda (sekitar usia 26 tahun), Kiai Badawi, Kiai Jalal, hingga HOS Cokroaminoto. Ada juga tampilan kelompok perempuan, meskipun jumlahnya sedikit, yang mencerminkan kondisi sosial kala itu.

Peristiwa tersebut juga terjadi dalam konteks yang penting: masa pergolakan melawan pengaruh komunisme yang sudah mulai merasuki Sarekat Islam. Muhammadiyah tampil dengan tegas, menggelar apel besar untuk menyatakan sikap antikomunis. Inilah yang menunjukkan bahwa sejak awal, Muhammadiyah bukan hanya bergerak dalam bidang dakwah dan pendidikan, tetapi juga hadir menjaga umat dari paham yang menyesatkan.

Film berdurasi sekitar sembilan menit itu, meski singkat, menyimpan banyak pesan sejarah. Ia menjadi saksi betapa Muhammadiyah sejak awal mampu menggerakkan massa, menanamkan semangat kebersamaan, serta menampilkan kepemimpinan para tokohnya, khususnya Kiai Ibrahim, yang begitu disegani.

Kepemimpinan dan Peran Kiai Ibrahim

Kiai Ibrahim memimpin pergerakan dan mampu menggerakkan umat secara luar biasa. Beliau masih bersaudara dengan Kiai Dahlan. Kiai Ibrahim lahir tahun 1874, sementara Kiai Dahlan lahir tahun 1868 dan wafat tahun 1932. Dari sini kita bisa melihat bagaimana Kiai Ibrahim, yang merupakan ipar Kiai Dahlan, melanjutkan estafet perjuangan Kiai Dahlan.

Pada awalnya, Kiai Ibrahim ragu, “Apakah saya mampu?” Setelah Kiai Dahlan dengan luar biasa menggerakkan dan menginisiasi, maka kita akan melihat bagaimana Kiai Ibrahim yang kita kenal ini. Kiai Ibrahim adalah putra Kiai Fadil, sehingga ia saudara dengan Siti Walidah. Ia adalah penghulu di kesultanan pada zaman Sri Sultan Hamengku Buwono. Ia adalah adik kandung Nyai Walidah. Untuk mengetahui hubungan keluarga waktu itu, demikian erat.

Kelebihan Kiai Ibrahim adalah ahli ulumul Quran, seorang hafiz, ahli baca, dan mahir bahasa Arab. Kemampuannya dalam membaca Quran dengan lagu yang bagus bahkan melebihi Kiai Dahlan. Ini merupakan kelebihan Kiai Ibrahim.

Kiai Ibrahim menikah dengan Siti Muhsinah, putri Kiai Abdurrahman, pada 1904. Setelah istrinya wafat, kemudian menikah dengan adiknya dari Ngadirejo, Wonosari, yaitu Siti Mukhid atau Muhsinah. Saya pernah bertemu Kiai Nyai Musinah ini. Kiai Musinah meninggal tahun 1998. Ketika beliau sakit, ibu-ibu berduyun-duyun menengok di PKU. Nyai Ibrahim. Saya juga kaget, ternyata Nyai Ibrahim masih ada, karena beliau meninggal September 1998. Ini menunjukkan bagaimana Kiai Ibrahim waktu itu dalam keluarganya.

Kadang-kadang di antara kita hanya mengerti tokoh suami yang terkenal, tanpa memahami perempuan yang mendampinginya. Orang mengatakan, di balik kehebatan seorang lelaki, pasti ada seorang perempuan yang mendukungnya. Begitu pula dengan Kiai Ibrahim.

Pendidikan Kiai Ibrahim diasuh orang tuanya sendiri. Pada waktu itu, jangan dibayangkan seperti sekolah formal. Ngaji Al-Qur’an dipimpin Kiai Fadil, memperdalam agama oleh Kiai Lurah Nur. Dalam sejarah Muhammadiyah, ini adalah penghulu enom yang pernah bermusuhan dengan Kiai Dahlan, tapi kemudian Kiai Warso mendukung juga Kiai Dahlan.

Pada usia 17 tahun, Kiai Ibrahim sudah menunaikan haji. Kalau Kiai Ibrahim sudah haji di usia 17 tahun, pasti dia orang yang secara ekonomi mapan pada tahun itu. Kemudian beliau tinggal di Makkah 7-8 tahun sambil belajar. Pada tahun 1902, dia pulang karena diberitahu Kiai Fadil sudah sangat sepuh.

Kiai Fadil ini pernah jadi penghulu, tetapi diberhentikan karena tidak mau menikahkan Sultan dengan kakak-beradik langsung. Sudah menikah kakaknya, menikah adiknya. Oleh karena itu, pernikahan gagal, dan Kiai Fadil diberhentikan dari jabatan hakim penghulu. Ini menjadi menarik. Orang seperti Kiai Fadil itu kalau kata orang sekarang disebut eksentrik. Tapi kalau mau memegang teguh aturan, sangat kuat.

Memimpin Muhammadiyah

Setelah pulang dari Makkah, Kiai Ibrahim mendapat sambutan yang hangat, sebagaimana ketika Kiai Dahlan pulang dari Makkah. Kemudian banyak orang mengaji padanya. Pengajian ini diasuh Kiai Ibrahim memakai metode sorogan. Waktu itu, Muhammadiyah belum berdiri. Mengaji dilakukan satu persatu, belum menggunakan metode klasikal seperti dirintis oleh Kiai Dahlan.

Juga ada istilah weton, kiai membaca, santri mendengarkan. Jadi bareng-bareng mendengarkan, nanti satu-satu maju ngaji, sorogan. Pengajian dilaksanakan setiap hari kecuali Jumat dan Selasa, karena punya kewajiban mengajar di masjid. Dalam menetapkan dua masjid, metode ini dipakai pada waktu yang berbeda. Pagi sorogan, sore hari, kemudian secara tekun menunjukkan metode pengajaran yang masih tradisional dan sederhana.

Memang kiai-kiai waktu itu seperti itu. Baru pada Kiai Dahlan yang kemudian kontak dengan pendidikan Belanda, mengambil tata cara pendidikan Belanda, digunakan tata pelajaran Islam secara klasikal. Maka tidak heran kalau penentangnya banyak sekali. Karena yang namanya ngaji itu ya sorogan. Kok kiai menggunakan class, itu cara kafir, begitu pemikiran waktu itu. Ini sebuah pemikiran yang perlu kita pahami. Nanti kita akan lihat pada periode Kiai Hisyam, keberaniannya melakukan banyak perubahan di sistem pendidikan.

Kiai Ibrahim memimpin Muhammadiyah menggantikan Kiai Dahlan. Kiai Dahlan sudah berpesan, memberi isyarat kalau nanti beliau berhenti atau meninggal, diganti oleh Kiai Ibrahim. Seperti Rasulullah sudah memberikan isyarat, penggantian adalah Abu Bakar Ash-Shiddiq. Jadi Kiai sudah pesan, “Kalau saya berhenti, kepada Kiai Ibrahim.”

Kiai Ibrahim tentu tidak mau menerima. Bayangkan, sejak tahun 1912 sampai tahun 1923, Kiai Dahlan memimpin persyarikatan dengan luar biasa. Ketika Kiai Dahlan meninggal, suasana persis seperti ketika Rasulullah meninggal. Tidak ada yang merasa pantas. Tapi kemudian kita mengetahui, Abu Bakar Ash-Shiddiq orang berbaiat.

Seperti Kiai Ibrahim, meskipun sudah ada isyarat, Kiai Ibrahim keberatan juga, tapi kemudian sudah terbentuk organisasi, kiai-kiai yang lain seperti Kiai Mukhtar, Kiai Syarkawi, pokoknya Kiai Ibrahim yang harus memimpin. Agak menarik, kenapa dicari yang masih keluarga dengan Kiai Dahlan? Abu Bakar Ash-Shiddiq malah mertuanya Rasulullah. Itu memang sesuatu penggantian. Ini bukan masalah nepotisme, tapi dari seseorang yang luar biasa, paling mudah dicari keluarganya, karena dengan demikian ada kepercayaan masyarakat.

Sehingga kemudian akhirnya Kiai Ibrahim menerima kepemimpinan tersebut, yang dikukuhkan pada tahun 1923 pada rapat tahunan (dulu kongres tahunan), sebagai voorzitter Hoofdbestuur. Hoofdbestuur itu pengurus besar, voorzitter itu pimpinannya, di Muhammadiyah Hindia Timur. Beda dengan ketika tahun 1912 didirikan, hanya di Yogyakarta. Tetapi di tahun 1923 sudah meluas ke seluruh Indonesia, yang waktu itu istilah resminya Hindia Timur.

Ini memberikan gambaran, pada tahun itu, ketika Kiai Dahlan wafat, Muhammadiyah sudah berkembang sedemikian luasnya. Sehingga Kiai Ibrahim meneruskan. Ada beberapa hal menarik yang dilakukan Kiai Ibrahim. Seperti diceritakan, Kiai Ibrahim seorang yang cerdas, luas wawasannya, ilmunya banyak.

Kemampuannya membaca Quran sangat baik. Dia mengerti tentang qiraat sab’ah dan sebagainya. Yang Kiai Dahlan tidak menekuninya. Tapi Kiai Ibrahim menekuninya. Dia seorang hafiz, ahli qiraah, bacaannya bagus. Maka orang sangat tertarik, bahasa Arabnya juga bagus. Sebaliknya, sebagai orang Jawa, banyak dikagumi juga karena keahlian dan sebagai hafiz Quran.

Kita bisa membayangkan masyarakat pada waktu itu melihat orang yang bacaannya bagus, hafiz, pasti membuat orang terkagum-kagum. Pada pidato pembukaan atau sekarang disebut khotbah iftitah, khotbah Al-‘Arsy, pada Kongres Muhammadiyah ke-19 di Bukittinggi, Sumatera.

Pada zaman Kiai Ibrahim mulai, kongres atau rapat tahunan dilaksanakan di luar Yogyakarta. Dulunya semuanya di Yogyakarta sampai Kiai Dahlan meninggal. Baru setelah itu, Kiai Ibrahim memberanikan diri, ayo kita keluar, untuk menunjukkan dan mengembangkan persyarikatan Muhammadiyah.

Ketika tahun 1930, sebelumnya di Surabaya tahun 1930, pidato di khotbah menggunakan bahasa Arab. Kita bisa melihat, karena memang yang datang para kiai semuanya, waktu itu tokoh Muhammadiyah, sehingga ketika dia pidato iftitah dengan sangat bagus dan fasih, orang-orang semakin kagum. Jadi Kiai Ibrahim memang punya performa sebagai seorang kiai yang tawadhu’.

Perkembangan Muhammadiyah di Bawah Kepemimpinan Kiai Ibrahim

Pada zaman Kiai Ibrahim inilah perkembangan Muhammadiyah menyebar ke seluruh Indonesia. Tentu saya tidak menyebut Papua, meskipun kemudian Jawa-Madura terbentuk, semakin banyak di daerah-daerah atau di cabang-cabangnya. Tingkat-tingkat bawah sudah semakin masuk. Kalau dulunya Muhammadiyah di perkotaan, kemudian sudah masuk ke desa-desa.

Sehingga kongres kemudian berani dilakukan di luar Yogyakarta. Pada kongres ke-15 atau rapat tahunan ke-15 dilaksanakan di Surabaya tahun 1926 (eh, ke-15 tahun 1927?). Di kongres ke-16, kemudian di Pekalongan, juga dari Surabaya ke Pekalongan. Kemudian di Solo. Ini sesuatu yang luar biasa untuk saat itu. Karena mobilitas waktu itu masih tidak sederhana.

Tetapi Muhammadiyah berani menyelenggarakan kongres tahunannya di berbagai kota: di Surabaya, di Pekalongan, di Solo. Baru kemudian tahun 1930 di Bukittinggi. Loncatnya luar biasa. Kenapa? Karena Kiai Mas Mansur mengagumi Muhammadiyah, maka ketika dia mendirikan Muhammadiyah di sana, tidak tanggung-tanggung, juga mendirikan kampung Kauman di Sumatera Barat. Jadi betul-betul ingin memboyong Muhammadiyah, tidak hanya namanya, tapi sampai budayanya. Sehingga nama Kauman ada di Sumatera Barat.

Sampai kemudian kongres ke-21 di Makassar, itu luar biasa, perjalanan ke Makassar. Jangan bayangkan seperti sekarang. Kemudian kongres 22 balik lagi ke Jawa, ke Semarang. Tahun 1933 itu kongres terakhir dalam periode Kiai Ibrahim, karena beliau meninggal tahun 1934.

Dengan berpindah-pindahnya tempat kongres ini, Muhammadiyah mengalami perkembangan yang sangat besar. Karena setiap daerah yang digunakan untuk kongres kemudian muncul semangat bermuhammadiyah di sana. Menjadi menarik ketika waktu itu selalu kongres dua kali di luar, balik lagi ke Yogyakarta. Kenapa balik lagi ke Yogyakarta? Untuk “nge-charge”, istilah saya, mengisi kembali nilai-nilai asli persyarikatan, sehingga kalau sudah dua kali di luar, balik lagi ke Yogyakarta, nanti dua kali di luar lagi.

Seperti misalkan Medan yang bis tahun 1927, yang dulu juga pernah, Medan digunakan untuk… tambang? Jadi perkembangan sangat besar. Cabang-cabang Muhammadiyah masuk ke daerah pedesaan, langsung berdiri di hampir seluruh Indonesia saat kepemimpinan Kiai Ibrahim.

Inovasi dan Terobosan Kiai Ibrahim

Dengan berkembangnya Muhammadiyah, tentu perlu pendidikan yang lebih luas lagi. Di sinilah kemudian Fonds Dahlan, yang sekarang akan didirikan, akan dikembangkan lagi. Fonds Dahlan itu semacam pengumpulan dana untuk beasiswa pendidikan. Kiai Ibrahim sangat mengerti, pendidikan itu butuh dana. Maka nama Kiai Dahlan dikaitkan dengan semangat bermuhammadiyah.

Pada tahun 1924 mendirikan Fonds Dahlan untuk membiayai sekolah anak-anak miskin. Tahun 1925 mengadakan khitanan massal, pertama kali khitanan massal diadakan Muhammadiyah untuk anak-anak miskin. Waktu sebelumnya tidak pernah ada. Sehingga anak-anak miskin waktu itu tidak ada yang pernah disunat. Kiai Ibrahim-lah yang merintis khitanan massal.

Karena waktu itu khitan sesuatu yang luar biasa. Orang mengadakan kegiatan pasti pakai pesta. Maka yang mampu hanya orang kaya. Tapi Muhammadiyah tahu itu adalah kewajiban agama. Maka kemudian menyelenggarakan khitanan massal juga.

Kemudian hal-hal yang bersifat domestik. Tadi ada khitanan. Badan perkawinan mulai berpikir, bagaimana anak-anak muda Muhammadiyah menikah, apa ada biro jodoh di internal persyarikatan, sehingga memelihara nilai-nilai persyarikatan. Sehingga akal dalam dakwah memang keluar Jawa.

Tapi di dalam, di Yogyakarta, nilai-nilai yang bersifat ruhiyah dihidupkan oleh Kiai Ibrahim. Karena untuk di luar Jawa tidak sesederhana itu, seperti pernikahan dan khitanan itu masuk dalam budaya, sehingga tidak mudah untuk melakukan kegiatan-kegiatan di luar. Tapi kegiatan di luar organisasinya jalan, tetapi lebih pada syiar persyarikatan.

Pendirian Majelis Tarjih

Pada tahun 1927, Kiai Ibrahim melihat dalam persoalan agama, merasa meskipun dia sangat ahli, tetapi merasa tidak punya otoritas. Sehingga tahun 1927 berdirilah Majelis Tarjih, sekumpulan ulama yang membicarakan hal-hal yang bersifat keagamaan, yang waktu itu karena semakin berkembang, maka muncul pemahaman-pemahaman yang bisa saja berbeda di beberapa daerah.

Karena seperti di Sumatera Barat, Islam sudah cukup berkembang. Kalau Anda baca bukunya Mas Burhani, MPI itu, ada Muslim Jawa, Muhammadiyah Jawa, untuk menunjukkan bedanya dengan Muhammadiyah Sumatera. Kiai Ibrahim melihat ini sudah mulai muncul paham-paham yang berbeda. Karena memang yang dari Minang itu juga bukan orang sembarangan. Mereka orang-orang yang punya paham agama juga.

Makanya tahun 1927 didirikan Majelis Tarjih, untuk mendialogkan, untuk mencari mana yang lebih rajih dalam pendapat-pendapat keagamaan, yang lebih unggul, yang lebih dekat kepada kebenaran dari Rasulullah. Ini selain fonds dan pendidikan juga.

Kemudian Kiai Ibrahim menggerakkan di bidang masjid, tarjih, pendidikan, kaum perempuan yang dirintis oleh Kiai Dahlan, kemudian berdiri Aisyiyah pada tahun 1917, itu kemudian oleh Kiai Ibrahim dikembangkan lagi agar ibu-ibu juga tidak hanya jadi objek Aisyiyah, tetapi kemudian digerakkan juga ibu-ibu mau untuk mengeluarkan dananya, melalui perkumpulan yang diberi nama Az-Zakirat.

Az-Zakirat ini, meskipun sudah berubah bentuk kegiatannya, sampai sekarang masih ada, pengajian Selasa pagi di Kauman, ibu-ibu pengajian Az-Zakirat, meskipun sekarang terbatas pada kegiatan pengajian saja.

Muhammadiyah sejak tahun 1928 terus meneruskan apa yang dulu di Kiai Dahlan, mengirim Siti Bariyah, Siti Badilah? ke pendidikan-pendidikan Belanda. Tetapi kemudian pada masa Kiai Ibrahim inilah alumni-alumni Mu’allimat Muhammadiyah, Tablighul Muslimat, dikirim ke seluruh pelosok tanah air.

Dulu, setiap alumni mu’allim ini harus “dibenyek”, istilahnya, dikirim ke daerah-daerah. Kalau dia berhasil, dia bisa menjadi konsul di daerah-daerah tersebut. Karena perkembangan Muhammadiyah sudah luas, tetapi ada yang sebagian masih, semangat organisasinya, paham beragamanya belum merata. Maka Kiai Ibrahim mengirim dai-dai untuk menggerakkan pemahaman bermuhammadiyah sebagai pemahaman agamanya.

Sehingga muncul istilah “anak panah Muhammadiyah”. Orang-orang yang dikirim ke banyak daerah inilah, ini anak panah yang dikirim untuk menggerakkan persyarikatan. Kenapa disebut anak panah? Karena dia berjalan lurus, kena pada sasarannya, dan menancap di daerah itu.

Selain itu, meskipun Taman Pustaka sudah terbit, pada kongres tahun 1928, pada pimpinan Kiai Ibrahim, mendirikan Wetenschappelijk Boekhandel en Drukkerij, badan usaha penerbitan buku-buku sekolah. Dulunya Taman Pustaka itu penerbitannya bersifat perorangan. Waktu itu Kiai Fahruddin punya percetakan, Kiai Yasin punya percetakan.

Tetapi pada masa Kiai Ibrahim inilah kemudian didirikan badan usaha percetakan untuk menerbitkan buku-buku sekolah Muhammadiyah. Kemudian ini masuk di bawah bagian Taman Pustaka atau Majelis Taman Pustaka. Jadi Taman Pustaka ini merupakan sebuah kegiatan yang waktu itu sangat jarang, agar para anak yang dikirim ini membawa bekal, berbekal buku-buku tersebut.

Media Massa dan Tantangan

Kongres Muhammadiyah ke-21 di Makassar pada tahun 1932 memutuskan supaya menerbitkan surat kabar. Suara Muhammadiyah itu bukan surat kabar daily atau harian, tapi dibentuk majalah atau dagblad. Pelaksanaan serahkan pada cabang Solo. Jadi kalau ada memutuskan, kemudian ditunjuk untuk pilot project, PCM Solo kemudian mendirikan dagblad surat kabar Adil.

Jadi Adil itu berdiri hasil muktamar tahun 1932. Meskipun sudah punya Suara Muhammadiyah, tetapi mulai berkembang harus ada yang lain. Maka kemudian dagblad itu Adil, yang sampai sekarang, sekarang sudah almarhum, kayaknya Adil, kemudian berkembang menjadi majalah Adil, tapi dalam suasana yang persaingannya tidak sederhana, dan kemudian juga berhenti, Adil.

Menghadapi Fitnah dan Tuduhan

Pada masa kepemimpinan Kiai Ibrahim sudah ada fitnah pada Muhammadiyah. Muhammadiyah mengalami fitnah dari pihak-pihak yang tidak suka pada kemajuan Muhammadiyah. Ini perlu kita kaji. Muhammadiyah adalah gerakan Islam yang tidak secara terbuka tujuannya kemerdekaan Indonesia.

Ini menimbulkan reaksi dari orang-orang yang semangat nasionalisme tinggi, karena kemudian tahun setelah tahun 1920 itu pergerakan Indonesia semakin menghangat, di SI maupun kemudian sampai komunis. Sampai komunis juga, kemudian komunislah yang melakukan fitnah kepada Kiai Ibrahim.

Pengurus besarnya Muhammadiyah dianggap kakitangan Politiek Economische Bond. Ini sebuah badan usaha pendidikan milik Belanda yang dibentuk oleh pabrik gula. Orang kaya-kaya, pabrik Belanda, mereka mengumpulkan dana. Kalau sekarang CSR, corporate social responsibility. Setiap perusahaan punya dana untuk pendidikan, yang disebut dengan Politiek Economische Bond, menggunakan dana itu untuk pendidikan.

Karena di tahun 1919 sudah terjadi politik etik, pasca Perang Diponegoro, kemudian Cultuurstelsel (tanam paksa), terjadi pergolakan, maka Belanda menggunakan cara baru, tidak kekerasan lagi, di politik etik, salah satunya gerakan pendidikan. Jadi Muhammadiyah tumbuh gerakan pendidikannya karena memang mendapat lampu hijau dari Belanda, meskipun juga ada friksi.

PEB ini mengatur koordinasi kerja sama antar pabrik gula di Jawa Tengah, Jawa Timur untuk produksi, pemasaran, tetapi juga melakukan kegiatan-kegiatan sosial budaya. Sebetulnya tidak jauh beda dengan sekarang. Perusahaan-perusahaan memberikan dana untuk kegiatan-kegiatan sosial, itu bagian dari marketing-nya. Mereka sudah menggunakan dana marketing.

Jadi selalu ada persaingan, tetapi waktu itu digunakan untuk pendidikan sebagai politik ekonomi pabrik gula. Jadi antar pabrik gula tidak bersaing lagi. Tapi, yuk, bareng-bareng, kita sudah punya pasar, memelihara pasar.

Di tahun itu Kiai Fahruddin sudah melakukan protes, beberapa bulan. Jadi dipersepsikan itu, kadang-kadang ada yang, Kiai Fahruddin keras terhadap Belanda, tetapi Muhammadiyah kooperatif terhadap pendidikan Belanda. Ini yang menarik. Jadi kemudian kita bisa melihat seperti sekarang, kemarin LHKP dan Majelis Hukum menyelenggarakan kegiatan di SMM Tower, dipimpin Mas Busro.

Tentu kegiatan-kegiatan Mas Busro ini dengan pemerintah agak kontradiktif. Tapi Pak Haidar hadir, Pak Haidar hadir di sana, membiarkan Pak Busro. Memang Muhammadiyah punya banyak warna, geraknya bareng-bareng. Ini yang nampaknya menjadi satu pola kegiatan Muhammadiyah. Tidak semuanya harus konfrontatif. Tapi yang konfrontatif kemudian tidak dilarang. Kiai Fahruddin sangat konfrontatif.

PEB ini mendirikan sebuah perkumpulan bernama Jamiyatul Hasanah. Nama sangat Arabik, sangat Islami, yang bertujuan menghimpun guru agama dan membiayai mereka mengajarkan Islam kepada guru-guru pabrik gula. Mereka mulai berbaik-baik kepada masyarakat, karena Kiai Fahruddin sempat melakukan gerakan sarekat abang, membakar kebun tebu sebagai protes pada Belanda.

Maka pemerintah Belanda, pabrik gula melakukan pendekatan kepada masyarakat melalui kegiatan agama buruh-buruhnya. Ini menarik sesungguhnya di tahun itu. Dianggap oleh unsur-unsur nasionalis kiri waktu itu, Muhammadiyah bekerja sama dan menerima dana dari PEB, yang merupakan kaki tangan Belanda.

Waktu itu gerakan-gerakan antikolonialisme sudah muncul. Inilah yang mewarnai gerak langkah Kiai Ibrahim. Di satu sisi, bagaimana menggerakkan Muhammadiyah, pada sisi yang lain, secara internal dituduh kooperatif dengan Belanda.

Mengatasi Fitnah dengan Keterbukaan

Fitnah tersebut diatasi oleh Kiai Ibrahim dengan keterbukaan. Karena Muhammadiyah transparansi di dalam kegiatan, dalam keuangan-keuangannya. Kiai Ibrahim mengundang berbagai utusan, karena waktu itu dari cabang-cabang mulai tidak percaya kepada Kiai Ibrahim. “Ah, kok Belanda, gitu.”

Kiai Ibrahim undang cabang-cabang, dijelaskan, untuk memeriksa laporan keuangan dan notulensi rapat di Pengurus Besar Muhammadiyah. Ini untuk menunjukkan, di tahun itu, namanya notulensi sudah tertib di persyarikatan. Sehingga ketika laporan itu dibuka, dibaca, belum pernah membicarakan keterlibatan Muhammadiyah dengan PEB tadi.

Sehingga kemudian cabang-cabang puas. Ketidakpuasan cabang, atau sekarang daerah, wilayah, itu biasa di persyarikatan Muhammadiyah dikomunikasikan dalam pertemuan-pertemuan, dapat mati karena Muhammadiyah keuangan yang transparan, laporan-laporan yang tertib, cabang-cabang kemudian… sehingga fitnah tersebut tidak benar.

Bahwasanya Muhammadiyah juga melakukan kegiatan pendidikan, tetapi tidak menggunakan dana dari PEB. Tetapi Muhammadiyah menerima dana dari pemerintah Belanda. Iya. Kenapa? Kalau PEB kan bersifat swasta. Kenapa menerima pemerintah Belanda? Wong dana pemerintah Belanda itu dari pajak rakyat.

Sehingga dari logika itu, Muhammadiyah merasa berhak untuk menerima dana itu. Berbeda dengan Taman Siswa yang nonkooperatif. Kita bisa lihat, saat itu dengan kooperatif, pendidikannya jalan, tetapi tidak menghilangkan tokoh-tokoh Muhammadiyah yang menggerakkan terus semangat perjuangan. Inilah indahnya bermuhammadiyah. Jadi berjalan bersama-sama, “Oh, kamu yang bagian keras, ini yang sampai sekarang pun dilakukan seperti itu.”

Prestasi dan Warisan Kiai Ibrahim

Pada kongres Muhammadiyah periode Kiai Ibrahim, 10 kali rapat tahunan dari tahun 1923 sampai 1934, yang terus-menerus memilihnya. Dari setiap kongres pertemuan itu, Kiai Ibrahim selalu terpilih. Kemudian pada tahun 1926, rapat tahunan atau Algemeene Vergadering diganti dengan kongres, itu pada tahun 1926.

Pada saat sudah mulai di Surabaya, kalau 4 tahun masih di Yogyakarta terus, berhadiah pada kongres yang ke-10 dan… Kiai Ibrahim terakhir meninggal tahun 1934. Ini menunjukkan, dalam 10 tahun kurang lebih kepemimpinan Kiai Ibrahim, melakukan berbagai kegiatan, memperkuat basis-basis Muhammadiyah di berbagai daerah. Ini Kiai Ibrahim.

Kepemimpinan Kiai Hisyam

Berikutnya saya akan melanjutkan kepada kepemimpinan Kiai Hisyam. Kiai Hisyam nanti juga muncul dinamika yang luar biasa pada kepemimpinan Kiai Hisyam. Kiai Hisyam bin Husni, lahir tahun 1883. Jadi sudah cukup jauh dari Kiai Dahlan (1868), sampai 20 Mei 1945. Jadi kita bisa lihat usianya.

Kiai Hisyam ini terpilih dalam kongres ke-23 tahun 1934, setelah Kiai Ibrahim wafat. Jadi tidak ditunjuk oleh Kiai Ibrahim. Berbeda dengan Ibrahim yang ditunjuk oleh Kiai Dahlan. Tetapi Kiai Hisyam dipilih dalam rapat. Ketika Rasulullah wafat, ada kiai kemudian Abu Bakar. Abu Bakar kemudian pindah ke Umar. Sudah mulai ada pemilihan. Umar meninggal dunia, ahlul halli wal ‘aqdi, ada tim yang memilih.

Maka perkembangan Muhammadiyah itu, kalau saya belajar dari sejarah Rasulullah, ada keidentikan. Dia dalam kongres 1934, kemudian diberi… dan 1934. Tetapi menarik, Kiai Hisyam tidak lama memimpin Muhammadiyah. Kiai Ibrahim 10 tahun. Kiai Hisyam hanya 3 tahun. Ini kita belum mengkaji juga, kenapa Kiai Hisyam hanya 3 tahun? Padahal Kiai Hisyam prestasinya intern dalam organisasi, luar biasa.

Ini kenapa? Nanti kita lihat, kalau ada gejolak di setiap organisasi, itu akan selalu muncul. Jadi kemudian pada tahun 1937 terpilih kembali, kemudian pada kongres di Jakarta ke-26? Ah, tetapi ada. Sekarang, sebelum kita bicara pergantian dari Kiai Hisyam, kita bicara Kiai Hisyam.

Kiai Hisyam ini menonjol dalam kegiatan-kegiatan pendidikan, ketertiban administrasi. Dengan organisasi yang semakin berkembang, maka kalau seperti sekarang, ada konsolidasi organisasi. Kiai Hisyam melakukan itu. Penertiban administrasi organisasi, sesuatu yang sangat tidak sederhana.

Bayangkan, menghubungi daerah-daerah seluruh Indonesia, di mana alat komunikasi tidak seperti sekarang. Ini yang bisa kita membayangkan, bagaimana kiai-kiai waktu itu memimpin gerak persyarikatan dalam satu pola yang tidak sederhana. Karena sudah mulai tertib manajemen organisasi.

Periode kepimpinannya ini, titik perhatian pada masalah pendidikan dan pengajaran. Jadi Kiai Hisyam orang yang sangat-sangat memperhatikan pendidikan. Nanti kita lihat putra-putranya, baik pendidikan agama maupun pendidikan umum.

Pada masa Kiai Hisyam ini, perkembangan sekolah Muhammadiyah luar biasa, karena Kiai Hisyam pada periode kepemimpinan Kiai Ibrahim memegang bagian pendidikan atau bagian sekolah. Sehingga ketika Kiai Hisyam terpilih, maka perhatiannya dalam bidang pendidikan luar biasa.

Pada periode inilah, pendidikan-pendidikan Belanda, sistem pendidikan Belanda, diadopsi oleh persyarikatan Muhammadiyah. Kalau Kiai Dahlan dulu ada sistem klasikalnya, tetapi pada masa Kiai Hisyam ini diambil cukup banyak untuk memajukan, memodernkan sistem pendidikan Muhammadiyah.

Karena sudah tersebar seluruh Indonesia, harus tersistem dan ada keseragaman dalam pendidikannya. Apalagi ketika penerbitan buku-buku sudah semakin banyak. Ini pada periode Kiai Hisyam.

Modernisasi Pendidikan

Sekolah Muhammadiyah pada periode Kiai Hisyam ini membuka sekolah dasar 3 tahun. Pada waktu kiai masih klasikal, sudah klasikal, tapi tahun-tahun itu belum tertib. Pada Kiai Hisyam ini kemudian sudah ditertibkan: sekolah rakyat (volkschool) atau sekolah desa 3 tahun, dengan kurikulum pendidikan Belanda.

Jadi sudah mulai lebih terbuka lagi pada pendidikan Belanda, kurikulumnya mengikuti Folkschool Gubernemen. Artinya apa? Belajar dari sekolah-sekolah Belanda, diambil kurikulumnya sehingga kemudian dimasukkan pelajaran-pelajaran Islam di pendidikan itu.

Kemudian dibuka juga Volkschool Muhammadiyah. Jadi Volkschool ini lanjutan dari yang hanya tiga tahun agar bisa sampai pendidikan six tahun. Dengan demikian muncul Volkschool dan Sekolah di Indonesia. Inilah yang kemudian Belanda nanti mungkin pada saat kita bicara tentang ordonansi guru dan ordonansi sekolah lihat.

Jadi perkembangan sehat itu luar biasa. Belanda juga mikir, loh, kok perkembangannya sedemikian cepat. Beda dengan pendidikan madrasah yang tidak cepat karena nonkooperatif pada Belanda. Kiai Hisyam kooperatif dengan mendapatkan dana yang diambil dari pajak, “Saya berhak menggunakan.”

Ketika pemerintah Belanda membuka Standardschool, Muhammadiyah kemudian mengikuti mendirikan Standardschool juga enam tahun. Kalau dulu Volkschool itu tiga tahun, Sekolah tiga tahun, kemudian digabung menjadi Standardschool, SD itu enam tahun. Muhammadiyah juga ikut mendirikan sekolah enam tahun untuk menunjukkan Muhammadiyah tidak mau ketinggalan dengan sistem pendidikan yang dilakukan Belanda.

Bahkan Muhammadiyah pun mendirikan Hollandsch-Inlandsche School (HIS) met de Qur’an, HIS met de Qur’an. Karena di Belanda ada HIS met de Kitab. Jadi ada HIS yang kalau sekarang mungkin semacam program khusus. Jadi kalau sana ada Katolik, itu Muhammadiyah mengambil met de Qur’an.

Ini sesuatu yang bagi saat itu luar biasa keberanian Kiai Hisyam mengembangkan pendidikan Muhammadiyah menggunakan sistem kurikulumnya Belanda dan ini berhasil kemudian Muhammadiyah luas sekali pendidikan-pendidikannya di seluruh tanah air.

Ini kalau saya ilustrasikan ada dua gambar tentang bagaimana sistem pendidikan mulai menggunakan papan tulis dan sebagainya yang waktu-waktu dulu kalau surau tidak mungkin pakai papan tulis. Jadi dengan cara seperti ini, instrumen pendidikan meskipun kalau kita bilang sangat sederhana sudah mulai dilakukan di Muhammadiyah.

Kebijakan Pendidikan Kiai Hisyam

Seperti saya sebut, modern sekolah, kebijakan Kiai Hisyam mengarahkan pada mulai sekolah madrasah selaras dengan kemajuan pendidikan saat ini karena belajar menggunakan politik etis, memberi kesempatan pendidikan kepada rakyat Indonesia yang dulunya hanya untuk sekolah itu anak Belanda dan anak raja, mau mengembangkan rakyat umum.

Taman Siswa juga mendirikan, tapi Taman Siswa itu nonkooperatif, sangat terbatas. Muhammadiyah kooperatif bisa meluas sampai seluruh tanah air. Jadi pendidikan yang oleh pemerintah kolonial ditiru oleh Muhammadiyah.

Karena masyarakat yang ingin memasukkan putra-putrinya ke sekolah tidak perlu lagi sekolah di sekolah Belanda. Inilah salah satu cara Muhammadiyah mengembangkan pendidikan. Tidak harus kepada sekolah Belanda yang relatif bayarannya mahal, tetapi ke sekolah Muhammadiyah bayarannya lebih murah.

Karena semangat waktu itu niat mengembangkan ajaran agama, sekolah itu luar biasa. Muhammadiyah sendiri telah mendirikan sekolah-sekolah umum yang mempunyai mutu yang sama dengan sekolah pemerintah bahkan mendapatkan pelajaran agama. Ini nampaknya menjadi sangat menarik, tetapi bukan tanpa masalah.

Saya katakan tadi menimbulkan masalah. Iya, karena di internal persyarikatan mulai muncul, “Oh, lah kok semuanya kok serba Belanda gitu,” mulai muncul persoalan.

Prestasi dan Statistik Pendidikan

Muhammadiyah memiliki 103 Volkschool (sekolah rakyat), 47 Standardschool yang sudah enam tahun, 69 Bustanul Athfal. HIS itu tingkat SMP, tapi SMP zaman dulu. Jangan saudara bayangkan sekarang, SMP dulu sudah luar biasa orang tamat HIS sudah luar biasa. 25 Schakelschool, yang kemudian menyambungkan ke MULO.

MULO itu setingkat SLTP, kalau sekarang, dengan SLA-nya. Maka Mualimin itu kan enam tahun itu juga karena dulu gabungan HIS dengan MULO itu. Sehingga bagi murid Volkschool dan Standardschool kelas lima bisa nanti lanjut ke HIS, bisa lanjut ke MULO.

Sekolah-sekolah Muhammadiyah juga dipakai bahasa Belanda. Untuk apa? Agar pegawai administrasi pemerintahan bisa diisi oleh orang Muhammadiyah. Dulunya hanya anak orang-orang keturunan priyayi yang bisa memimpin urusan administrasi perkantoran.

Dengan pendidikan Muhammadiyah menggunakan bahasa Belanda, maka kemudian alumni Muhammadiyah mulai masuk ke jajaran pimpinan. Karena mau tidak mau ketika pendidikan semakin maju, maka kontak dengan dunia luar tidak bisa dihindari. Maka Muhammadiyah mendidik siswanya dengan bahasa Belanda.

Politik Kooperatif dan Kritik

Inilah politik kooperatif. Dalam memajukan pendidikan Muhammadiyah, Kiai Hisyam mau bekerja sama dengan pemerintah kolonial karena sudah terbuka. Beda dengan Kiai Ibrahim tadi yang tidak mau PPP karena swasta. Tapi kalau dari negara, seperti dulu dalam ketentuan perbankan, kalau swasta tidak boleh, kalau pemerintah boleh karena pemerintah memang mengelola dana rakyat.

Bersedia menerima bantuan keuangan dari pemerintah kolonial meskipun jumlahnya sangat sedikit, tapi itu kemudian sangat membantu karena waktu itu sekolah Kristen full mendapatkan bantuan dari pemerintah Belanda.

Inilah yang menyebabkan Kiai Hisyam kemudian mendapat kritik dari masiswa (mahasiswa?) dari nasionalis, mengatakan Muhammadiyah kooperatif. Syarikat Islam pun menilai Muhammadiyah waktu itu. Karena Syarikat Islam semangat nasionalismenya tinggi yang saat itu melaksanakan politik nonkooperatif.

Inilah dinamika di persyarikatan Muhammadiyah. Muhammadiyah melihat bahwa kerja sama dengan pemerintah Belanda menjadi perlu. Tetapi ini juga harus dilihat, kita tidak bisa melihat secara parsial. Ada orang-orang Muhammadiyah yang tetap melakukan kritik kepada pemerintah Belanda seperti Kiai Fakhruddin.

Ini indahnya di situ. Ada yang gedhe sing nyerang Belanda, aku sing tak kerja sama, istilah saya seperti itu. Tetapi sama-sama bergerak menggunakan Muhammadiyah. Ini harus dipahami. Jadi kalau dikatakan, karena kemarin saya baru seorang tokoh Muhammadiyah menjelaskan, Muhammadiyah dari dulu kooperatif, kooperatif, tetapi juga kemudian munculkan tokoh-tokoh yang kritis terhadap pemerintah Belanda.

Kemarin tokoh Muhammadiyah itu mengatakan, orasi guru Muhammadiyah tidak mau menentang, meskipun menentang, ini caranya berbeda. Nanti suatu saat mungkin Mas, saya tidak bicara tentang tokoh tapi pola-pola sejarah ketika Muhammadiyah menghadapi pemerintah Belanda nampaknya perlu kita pahami.

Karena seperti sekarang, di satu sisi Muhammadiyah harus berhubungan dengan pemerintah dalam program-programnya, tetapi sikap kritis Muhammadiyah juga tidak berhenti. Bagaimana Mas Busyro dengan lembaganya Majelis Hukum HAM dan LHKP mengkritisi kegiatan pengerukan laut misalkan, keras. Betul. Kemarin Mas berangkat ke Morowali ke Almahira melihat sistem pertambangan dan mengkritisi. Betul.

Tetapi pada sisi yang lain, pendidikan, Pak Mukti masuk di dalam kabinet, ini menjadi sejak dulu seperti itu. Yang kritis ada, yang kooperatif ada. Ini memang menjadi polisi Muhammadiyah. Pak Haidar sekarang ini mampu mengelola perbedaan pendapat internal. Bisa saja kalau di sahabat mungkin keras, tapi begitu keluar, ya, Muhammadiyah seperti itu.

Alasan Dibalik Kebijakan Kooperatif

Karena waktu itu Kiai Hisyam berpendapat subsidi pemerintah saat itu merupakan hasil pajak, seperti saya sampaikan tadi, yang diperas dari pemerintah dari masyarakat Indonesia. Kalau kita tidak mengambil dana itu, rugi. Dana itu kemudian digunakan yang lain, harus kembali kepada masyarakat melalui sistem pendidikan Muhammadiyah, terutama untuk umat Islam.

Karena pemerintah Belanda itu kemudian berbasis Nasrani. Padahal rakyat Indonesia yang bayar pajak itu umat Islam. Ya, umat Islam harus dapatkan. Dengan subsidi tersebut, Muhammadiyah bisa memanfaatkan untuk membangun kemajuan bidang pendidikan.

Muhammadiyah pada akhirnya mendidik dan mencerdaskan bangsa, menerima subsidi tersebut lebih baik daripada menolaknya. Selalu melalui pertimbangan-pertimbangan yang dalam. Karena jika subsidi tersebut ditolak, maka subsidi tersebut dialihkan pada sekolah yang didirikan pemerintah kolonial yang tidak mengajarkan agama Islam dengan baik. Kan, itu. Nah, sudah, dananya diambil, bisa mendirikan sekolah Muhammadiyah dengan lebih baik.

Pendidikan Keluarga Kiai Hisyam

Bapak-bapak, Ibu, dan Saudara sekalian. Sehingga dengan demikian maka harus kita melihat pada saat itu Kiai Hisyam tidak melupakan pendidikan keluarganya. Ada dua orang putra Kiai Hisyam yang dididik menjadi guru. Satu yang bernama Jazari menjadi guru Mualimin.

Saya itu kalau mendengar cerita dari Buya Syafi’i Maarif sangat memuji-muji Pak Jazari Hisyam ini. Fotonya yang mana ini? Pak Jazari Hisyam karena dia, beliau memimpin Mualimin juga. Yang tengah itu, Pak Jazari Hisyam itu putra Kiai Hisyam. Yang satu, Hajam Hisyam, dia mengajar pada sekolah Belanda. Kalau Jazari Hisyam sekolah Muhammadiyah.

Ini menarik. Jadi polisinya Kiai Hisyam itu sangat luar biasa. Murid-murid Kiai, Jazari Hisyam maupun murid dari, kalau Kiai Hajam, jarang, seperti Kiai Hajam. Kalau Kiai Jazari menyebut, kalau Kiai Hajam, orang menyebutnya Meneer Hajam.

Ayah saya itu kalau sudah menyebut Meneer Hajam itu, wah, pasti dengan kekaguman dan penghormatan. Kalau mengajar, mengeluarkan pulpen, itu kemudian pulpennya itu dia balik, pulpennya disampirkan pada papan tulis, cek, ke tembok, diambil lagi, buat nulis lagi, untuk menunjukkan pulpennya istimewa.

Jadi apa? Ayah saya itu begitu terkagum-kagumnya pada Pak Hajam. Dari kakak-beradik, Jazari dan Hajam Hisyam. Pak Hajam Hisyam ini kemudian menjadi menantunya Kiai Fakhruddin, menurunkan Profesor Nurrachman Jam yang kemarin di pemerintah.

Dua di antaranya menjadi guru yang saat itu disebut sebagai apa? Satu orang menamatkan studi HKS (Hoogere Kweekschool) di Purworejo. Purworejo itu kan tempat pensiunannya orang Belanda. Pendidikannya masuk di Purworejo itu waktu itu. Lalu, makanya pendidikan Purworejo sampai sekarang banyak sekolah-sekolah besar Belanda di sana itu dan satunya lagi menamatkan di Studiefonds, Europeesche Kweekschool Surabaya.

Jadi dua-duanya berpendidikan Belanda. Tetapi kemudian Kiai Jazari Hisyam mengajar di Mualimin. Kiai Pak Hajam Hisyam mengajar di sekolah umum. Dua-duanya mengembangkan pendidikan dengan luar biasa untuk mendidik menjadi guru yang berwenang mengajar sekolah HIS Negeri.

Karena Kiai bisa melihat sekolah negeri pun harus dimasuki guru-guru Muhammadiyah sehingga bisa menyisipkan pelajaran-pelajaran agama kepada murid-murid sekolah negeri, HIS negeri. Itu sudah menjadi pola pikir dari Kiai Hisyam.

Akhirnya mereka menjadi guru di HIS met de Qur’an Muhammadiyah di Kudus dan Yogyakarta itu, Kiai Jazari Hisyam. Ini saya sampaikan, kita punya satu gambaran bagaimana tokoh-tokoh Muhammadiyah waktu itu selain mendidik Muhammadiyah juga kemudian mendidik putra-putrinya, dan akhirnya Kiai mendapatkan bintang jasa dari Belanda karena nyata mengembangkan sekolah-sekolah secara umum.

Pengakuan dan Penghargaan

Sekolah-sekolah Muhammadiyah bergerak luar biasa. Seperti sekarang ini kan sekolah Muhammadiyah bisa saja menjadi lebih banyak daripada sekolah negeri. Karena kemudian Muhammadiyah dengan gerakannya yang luar biasa.

Berkat jasanya memasukkan pendidikan, mendapatkan pengakuan dari pemerintah Belanda berupa bintang jasa, yaitu Ridder in de Orde van Oranje-Nassau, namanya gimana, kurang tahu, karena berjasa besar dalam pendidikan. Muhammadiyah yang dilakukannya membantu semangat pendidikan Belanda sejak politik etis.

Jadi memang politik etis itu Belanda, tapi berkat itu Muhammadiyah mampu mengajarkan pendidikan itu. Di satu sisi mengangkat masyarakat Islam lebih pintar, pada sisi yang lain mengisi sekolah Belanda dengan pendidikan Islam, itu sesuatu yang menurut saya luar biasa, sehingga Belanda mengakui pada Kiai Hisyam Muhammadiyah.

Dinamika Internal dan Transisi Kepemimpinan

Tetapi ini menarik, pada masa akhir Kiai Hisyam didalamnya ada perbedaan paham. Ada dua hal, yang satu transisi generasi sudah mulai muncul, kayak bapak-bapak sudah sepuh, anak-anak muda kan biasanya lebih dinamis. Yang lahir tahun setelah apa? Pada masa 70-80, pada masa periode sebelum abad 19.

Jadi mereka lahir sebelum tahun 1900 dengan yang lain, dekatan 1900, itu ada gap. Jadi perbedaan faksi itu bukan sesuatu yang baru. Dulu juga sudah ada. Murid-murid Kiai Dahlan mulai menginjak dewasa. Yang murid-murid muda yang ngikuti Kiai Dahlan pas dirinya Muhammadiyah.

Siapa? Salah, Kiai Hajid. Kiai Hajid itu pulang dari pondok, ngikuti Kiai Dahlan tahun 1915 atau 1916, Muhammadiyah sudah berdiri. Kiai itu tidak ikut mendirikan Muhammadiyah, tapi dia menjadi murid Kiai juga. Tentu berbeda dengan Kiai Suja, Kiai Hisyam, Kiai Muhammad yang ikut mendirikan Muhammadiyah. Pola pikirnya berbeda.

Anak-anak muda itu kan, kalau zaman sekarang, keladuk wani kurang gedhe, semangannya, tidak dipengaruhi oleh semangat pergerakan nasional waktu itu semakin bergerak, mulai muncul ketidakpuasan di kalangan anak muda Muhammadiyah. Bayangkan tahun 1930-an sudah terjadi semacam itu. Jadi perbedaan pendapat di Muhammadiyah seperti yang biasa.

Kepimpinan Muhammadiyah terpaku pada tiga tokoh waktu itu: Kiai H. Hisyam, Kiai Sujak, Kepala Bagian PKO, dan Kiai Mukhtar, wakil ketua. Kiai Mukhtar itu dasarnya luar biasa. Kiai Mukhtar itu yang menggerakkan berdirinya Aisyiyah. Jadi Kiai Mukhtar, saya masih menangis, meninggal tahun sekitar tahun 1960-an, pakai tokoh nasional.

Kiai Sujat dengan Kiai Mukhtar sebaya, meninggalnya sekitar tahun 1960-an. Sementara Kiai Hisyam lebih dulu. Tapi ketiganya itu sering disebut triumvirat-nya Muhammadiyah level orang tua. Ini menimbulkan ketidakpuasan anak muda Muhammadiyah.

Repotnya pada kongres ke-26 tahun 1937, di ranting-ranting yang utusan kongres terbuka, dalam bahasa saya, dengan ketiga beliau sehingga beliau terpilih lagi. Saya belum mengoreksi, dulu saya mengatakan Kiai Hisyam sangat tidak… terpilih, terpilih Kiai Hisyam menimbulkan friksi.

Tapi luar biasanya, Kiai Hisyam kemudian mengundang Kiai Hajid dan teman-temannya, menyatakan mengundurkan diri meskipun terpilih. Repotnya, Kiai Hajid, Bagus, waktu masih muda tidak mau jadi ketua. Eyel-eyelan. Jadi saya katakan anak muda itu keladuk wani kurang gedhe, sudah, ulusane sing pimpin sopo? Bingung, tidak ada yang mau, jadi saling menunjuk, “Oh, mau, Bagus, jangan, aku,” saling menolak semuanya, anak-anak muda tersebut.

Sehingga kemudian Kiai Hisyam mundur tapi belum terpilih. Nanti kita lihat bagaimana terpilihnya Kiai Mas Mansur. Jadi ini terakhir dari Kiai Hisyam. Sekarang kita masuk ke Kiai Mas Mansur.

Kiprah dan Peran Kiai Mas Mansur

Kiai Mas Mansur ini lahir 1896. Kiai Mukhtar lahir 1896. Kiai Hisyam lahir tahun 1873. Berdekatan usia-usia itu. Meninggal dunia tahun 1936. Kiai Mas Mansur luar biasa, dia mengalami pendidikan politik sebelum masuk Muhammadiyah, maka warnanya juga berbeda. Kita mencoba memahami hal itu.

Keluarganya, ibunya bernama Raudhoh, wanita kaya. Sekali lagi, memang orang yang mampu, pendidikan seperti itu, orang-orang kaya di Jawa Timur. Keluarga Hasan Dipoprojo konglomerat Surabaya. Ayahnya bernama K.H. Mas Ahmad Marzuki dari keluarga pesantren. Jadi kiai yang kaya di Wonokromo, Surabaya.

Dia seorang kiai, ahli agama pada masanya. Keturunan bangsawan Asta Tinggi Madura. Jadi di Surabaya yang dihormati, dia turunan ningrat. Dia juga menjadi imam tetap di Masjid Sunan Ampel. Mungkin sudah-sudah pernah ke Masjid Ampel Surabaya. Sehingga makam Kiai Mas Mansur di komplek makam itu.

Tapi repotnya sekarang, yang ke masjid sama yang ke makam, lebih banyak yang ke makam. Saya pernah bersama rombongan takmir masjid gede ke masjid Sunan Ampel. Kita ingin belajar pengelolaannya. Oh, ternyata kita masuk ke makam Sunan Ampel antre, cepat saja, yang itu masuknya pakai jongkok, kita nekat sambil berjalan.

Di sana ada makamnya Sunan Bonang. Akhirnya Sunan Bonang itu yang menentukan arah kiblat dari masjid Jurnal dengan di, mata itu kemudian melubangi tembok sampai Mekah, katanya. Jadi di makam Sunan Bonang itu orang antri juga di makam itu. Ini sekadar gambaran. Kiai Mas Mansur lahir dari keluarga yang muslim, keluarga kaya, keluarga Hasan Dipoprojo istilahnya.

Pendidikan dan Perjalanan Intelektual

Kiai Mas Mansur nyantrinya kepada Kiai Kholil. Kiai Kholil di Bangkalan. Kiai Kholil kan, kalau sekarang, orang-orang NU itu kalau memujannya sudah sangat berlebih-lebihan, Kiai Kholil itu kalau Jumatan ke Makkah dan sebagainya, Syekh Kholil sudah luar biasa.

Masa kecilnya belajar agama pada ayah sendiri, kemudian juga belajar di pesantren punya ayahnya dengan Kiai Muhammad Thaha. Tahun 1906, ketika Mas Mansur 10 tahun, ngaji di Bangkalan bersama Kiai Kholil. Sekarang ada anaknya atau cucunya Kholil, orang ketemu antri cium tangannya.

Di sana ngaji Al-Qur’an dan kitab-kitab, kitab Al-Iqna’ bahasa syarh Matan Abi Syuja’, kepada Kiai Kholil. Selama di sana hanya dua tahun, Kiai Kholil meninggal dunia. Mas Mansur merasa kecewa, tapi kemudian ingin belajar ke Timur Tengah. Ini menjadi menarik.

Belajar di Makkah. Kiai Mas Mansur belajar di Makkah saat terjadi revolusi di Makkah. Jadi suasana itu kemudian meresap dalam pemikiran Kiai Mas Mansur. Tahun 1908 oleh orang, rupanya dikirim haji sekaligus belajar pada Kiai Mahfudz yang ada di Termas.

Kemudian empat tahun kemudian, dia di Makkah, suasana Makkah mulai terjadi revolusi dari apa, yang sampai sekarang, yang pengambilalihan kekuasaan. Di situlah Kiai Mas Mansur bingung. Kemudian pemimpin otoritas di Makkah meminta kepada para orang-orang yang berasal dari luar Makkah untuk pulang.

Tapi Mas Mansur tidak mau. Dia dari Makkah kemudian pindah ke Mesir. Image Mesir waktu itu tidak bagus sehingga ayahnya melarang, “Jangan ke Mesir.” Karena dipandang Mesir itu sekuler waktu, meskipun Islam tapi pandangannya sekuler.

Mas Mansur ngeyel, tetap ke Mesir sehingga diputus pengiriman uangnya. Maka hidup susah selama setahun, Kiai Mas Mansur belajar di Mesir. Tetapi dia beruntung, setahun kemudian ayahnya akhirnya mengirim biaya lagi.

Di Mesir saat itu tumbuh pemikiran-pemikiran baru yang menggerakkan, mulai muncul istilah pasang naik kulit berwarna. Jadi mulai Jamaluddin Al-Afghani, Rasyid Ridha, dan sebagainya sangat mempengaruhi pemikiran-pemikiran Kiai Mas Mansur.

Jadi waktu itu tidak mau, kemudian diputus, tetapi kemudian mengirim lagi dana. Saya ilustrasikan peta Mesir dan Saudi Arabia untuk menunjukkan kedekatan, lewat Laut Merah antara Saudi Arabia ke Mesir. Mesir pendidikan Al-Azhar sudah sangat kuno. Tetapi waktu itu terkesan Mesir itu sekuler.

Pengaruh Pemikiran dari Mesir

Ibu, Bapak, dan Saudara sekalian, di Mesir inilah dia kuliah di Al-Azhar pada Syekh Ahmad Maskawi. Suasana Mesir sedang gencar-gencarnya membangun dan membutuhkan semangat kebangkitan nasional. Inilah yang mempengaruhi semangat politik dari Kiai Mas Mansur.

Maka kemudian media massa, pidato-pidato di Mesir, tokoh-tokoh seringkali, sehingga Kiai Mas Mansur sangat terpukau untuk belajar tulisan-tulisan yang beredar di sana. Ia berada di Mesir kurang lebih dua tahun kemudian pulang ke tanah air. Setelah sebelumnya mampir Makkah dulu sampai tahun 1915 dia pulang ke Indonesia.

Sehingga tahun 1915 pulang ke Indonesia, persis Kiai Hajid pulang ke Yogyakarta mulai mengenal Kiai Dahlan. Kiai Hajid tahun 1915 pulang ke Kauman, ketemu Kiai Dahlan. Persis sama dengan Kiai Mas Mansur pulang, masjid tahun 1915, kok beda sekarang Islam di Indonesia waktu itu. Ini menarik.

Aktivitas di Sarekat Islam dan Jurnalisme

Semangat nasionalisme Kiai Mas Mansur sebelum kenal Muhammadiyah langsung ke SI, Syarikat Islam. Kenapa? Karena dia ingin meneruskan semangat nasionalisme memerdekakan Indonesia. Dia alami di Mesir ini. Kemudian lihat pergolakan politik di Makkah, maka muncul semangat nasionalisme. Wah, kalau Indonesia bisa bebas dari Belanda, luar biasa.

Pembaharuan pemikiran Kiai Mas Mansur semakin berkembang lagi sehingga kemudian dia masuk Syarikat Islam waktu dipimpin oleh Mas Cokroaminoto, H.O.S. Tjokroaminoto, dan terkenal gang SI yang radikal waktu itu, melawan Belanda luar biasa. Ia dipercaya sebagai penasihat pengurus besar SI.

Jadi begitu pulang dalam usia yang relatif masih muda sudah punya peran. Dia punya kelompok diskusi, Taswir al-Afkar, kelompok diskusinya bersama tokoh-tokoh NU juga di Jawa Timur, ketemu Bung Karno juga di situ. Karena Bung Karno waktu di Jawa Timur, maka kemudian bersama Cokro Aminoto, Bung Karno (Bung Karno lahir tahun 1901), jadi usia-usia sebaya waktu itu, semangatnya luar biasa.

Wahab Hasbullah, orang NU juga. Mereka kemudian membentuk sikap anti kekolotan. Waktu lihat masyarakat masih bodoh, masyarakat sulit diajak maju, bahkan mereka sulit menerima pikiran baru. Maka kelompok diskusi para ahli inilah yang menimbulkan semangat, termasuk pada Bung Karno.

Cuman karena Bung Karno kemudian lebih nasionalis daripada keislamannya. Para ahli Surabaya ini kumpul dengan semangat luar biasa, anti penjajahan semuanya. Kiai Mas Mansur juga seorang jurnalis, penulis. Banyak menghasilkan tulisan-tulisan yang berbobot, pikirannya dituangkan dalam tulisan.

Kalau saya bisa ngomong tapi tidak bisa nulis, punya kemampuan nulis buku. Majalah pertama diterbitkan Suara Santri, sebagai nama majalah, karena waktu itu santri sangat dimasyarakatkan, dimaksudkan Suara Santri. Jadi sudah mengerti segment marketing bagian masakan yang kayak di Suara Santri mendapat sukses.

Kemudian majalah kedua yang diterbitkan Mas Mansur, Majalah Umat Islam masih terbit dua kali sebulan menggunakan bahasa Jawa dan huruf Arab (Pegon). Jadi kalau Suara Santri yang pertama huruf Jawa, Surabaya menggunakan huruf Arab.

Majalah kedua tersebut memuat pikiran-pikirannya mengajak para pemuda untuk mengekspresikan pemikiran-pemikirannya. Mas Mansur melalui majalah Umat Islam meninggalkan kemusyrikan dengan kekolotan, identik dengan pemikiran Muhammadiyah.

Meskipun waktu itu Kiai Mas Mansur belum masuk Muhammadiyah, tetapi pikirannya sama dengan pikiran-pikiran perkembangan Muhammadiyah. Di samping itu, Mas Mansur juga pernah menjadi redaktur Kawan Surabaya. Jadi Kiai Mas Mansur lebih dulu ikut gerakan politik baru kemudian mengenal Muhammadiyah.

Bergabung dengan Muhammadiyah

Pada tahun 1921, Mas Mansur masuk Muhammadiyah, aktif dalam keadaan membawa angin segar, memperkukuh keberadaannya sebagai organisasi pembaharuan. Pikirannya cocok, match. Sehingga Kiai Mas Mansur menjadi konsul Muhammadiyah di Surabaya.

Dari jenjang yang dilewatinya dari mulai ketua Muhammadiyah cabang Surabaya sampai menjadi konsul Muhammadiyah Jawa Timur. Jadi berjenjang tapi terus naik. Sampai ketika Kiai Mas Mansur menjadi ketua PB (Pengurus Besar) Muhammadiyah menggantikan Kiai Hisyam.

Bagaimana terpilihnya? Seperti diceritakan, Kongres tahun 1937 deadlock karena Kiai Hisyam mundur, tidak ada yang mau jadi ketua. Dalam musyawarah, Ki Bagus, Kiai Hajid, menolak, tidak, semuanya tidak mau, bingung siapa yang harus di…

Akhirnya kemudian mengundang Kiai Mas Mansur jadi ketua PB. Awalnya Kiai Mas Mansur juga tidak mau menjadi ketua, merasa, “Aku Muhammadiyah anyaran (pendatang baru), kok jadi ketua.” Tapi orang Muhammadiyah sudah ngerti kehebatan Kiai Mas Mansur, dia menjadi konsul Jawa Timur. Kalau sekarang ketua PWM.

Pergeseran kepemimpinan dari kelompok tua ke kelompok muda mulai terjadi, dari Kiai Hisyam ke kiai-kiai usia lahir tahun 1900-an, ini kemudian membawa angin segar di Muhammadiyah tetapi kembali menggerakkan roh Muhammadiyah. Jadi meskipun modernnya jalan, tapi nilai-nilai dasar Muhammadiyah justru dihidupkan Kiai Mas Mansur.

Kepemimpinan dan Disiplin Organisasi

Menarik ketika Kiai Mas Mansur menjadi ketua Muhammadiyah, dia harus pindah ke Yogyakarta dengan keluarganya. Padahal jadi ketua tidak digaji. Bagaimana caranya? Kemudian Kiai Mas Mansur, seperti foto di situ, menjadi guru di Mualimin. Jadi diberi pekerjaan agar punya penghasilan.

Karena Kiai Mas Mansur cerdas. Apa yang dilakukan Kiai Mas Mansur? Terpilihnya Kiai Mas Mansur harus pindah Yogyakarta, mengajar di Mualimin mendapatkan penghasilan.

Pada Kiai Mas Mansur, satu hal yang menarik, kantor PP sudah ada, untuk urusan Muhammadiyah, Kiai Pak Mas Mansur tidak mau ngerembuk di rumah. Ini disiplin organisasi, ngerembuk ya di kantor. Bukan berarti Kiai Mas Mansur menolak tamu di rumahnya. Kiai Mas Mansur tidak menolak, tetapi untuk urusan organisasi di kantor.

Kenapa? Untuk mendidik pimpinan Muhammadiyah disiplin dan rajin ke kantor. Ini menjadi menarik, agar rajin ke kantor, belajar di kantor. Jadi berbeda yang sebelumnya seringkali menyelesaikan persoalan di rumahnya.

Mas Mansur selalu menekankan kebiasaan itu tidak baik di organisasi karena pengurus besar Muhammadiyah telah memiliki kantor sendiri beserta segenap karyawan dan pengeluarannya, maka urusan umatnya selesaikan di kantor. Bukan berarti menolak silaturahim, boleh silaturahim, tetapi tidak boleh mengambil keputusan.

Ini pelajaran berharga bagi persyarikatan. Jangan sampai keputusan di persyarikatan di rapat tidak diputuskan. Ketika keluar mampir warung kopi buat keputusan baru. Ini sering terjadi. Jadi kadang-kadang tidak mau berdebat ketika di rapat, tetapi nanti di luar bergosip/berbisik-bisik.

Mohon maaf saya sampaikan, karena saya juga punya pengalaman cukup panjang. Saya paling, sudah kita gebrak-gebrakan di rapat terbuka. Di luar itu silaturahim. Bayangkan seorang Pakji Oei Tjeng Hien ketika sidang-sidang konstituante gebrak-gebrakan dengan Osama Maliki, gebrak-gebrakan dengan yang dari Katolik, tapi begitu keluar akrab minum kopi bareng. Jadi berbeda.

Makanya saya katakan, ketika organisasi di kantor boleh gebrak-gebrakan, tapi keluar silaturahmi tetap jaga. Ini kita bisa belajar dari Kiai Mas Mansur.

Kontribusi Pemikiran

Dalam Kiai Mas Mansur ini dua hal. Langkah 12 merupakan garis besar haluan Muhammadiyah. Ini sesuatu yang sampai sekarang layak kita pelajari tentang Langkah 12 diam Mas Mansur. Yang kedua, Al-Masail al-Khamsah, kitab Masalah Lima yang termuat di HPT jilid 1, mulai dari mauddhi’ ad-din, mauddhi’ ad-dunya, penjelasan-penjelasan itu memahamkan kembali nilai-nilai dasar agama.

Ini perlu kita pahami betul, kalau kita mengkaji Masalah Lima, kita akan semakin mengerti bagaimana kita bermuhammadiyah.

Peran dalam Perjuangan Nasional

Tetapi seperti saya sampaikan, Kiai Mas Mansur punya naluri politik yang kuat dan kebetulan pada saat itu Jepang masuk. Ketika Jepang masuk, maka Kiai Mas Mansur dipanggil untuk menjadi empat serangkai dalam umat Islam, Mas Mansur juga banyak melakukan gebrakan.

Mas Mansur inilah yang mengawali berdirinya Masyumi melalui Majelis Islam A’la Indonesia (MIAI) yang lahirnya di Mualimin, di Madrasah Muallimin ini pernah lahir MIAI yang menjadi cikal bakal Masyumi. Kiai Mas Mansur bersama Hasyim Asy’ari mendirikan MIAI, awal gerakan Masyumi, Partai Islam.

Juga mendirikan PII (Partai Islam Indonesia) bersama Dr. Sukiman yang nanti semuanya lebur di dalam Masyumi. Kemudian juga aktif di PSII (Partai Sarekat Islam Indonesia) karena sikap nonkooperatifnya luar biasa. Di politik punya sikap nonkooperatif, tapi begitu Muhammadiyah kooperatif.

Ini orang-orang yang seperti itu ngerti Muhammadiyah memang bukan partai politik. Ketika Jepang di Indonesia, Mas Mansur termasuk empat serangkai bersama Soekarno, Hatta, Ki Hajar Dewantoro. Tetapi Mas Mansur tidak lama menjadi anggota empat serangkai, lihat kekejaman zaman Jepang, tidak tega, dia merasa hanya menjadi boneka.

Maka Mas Mansur mundur dan di Pusat Tenaga Rakyat (Putera) digantikan Ki Bagus. Mas Mansur di Surabaya. Inilah sikap prinsipnya muncul. Ketika dia Putera, bisa menyelamatkan. Tapi ketika melihat Jepang demikian kejamnya, mundur, maka digantikan oleh Ki Bagus. Sehingga Ki Bagus yang berangkat ke Jepang, ketemukan, dan dihormati di Jepang.

Ini untuk menunjukkan kegiatan politik. Kegiatan politik butuh diplomasi, tetapi ada nilai-nilai yang fundamental yang Kiai Mas Mansur tidak mau lagi. Kiai Mas Mansur meninggal dunia tahun 1946 setelah perang kemerdekaan, masuk, belum sembuh dari sakitnya.

Ia ikut berjuang memberikan semangat kepada barisan pemuda melawan kedatangan para Belanda NICA. Hari pahlawan, pertempuran Surabaya. Dia ditangkap oleh Belanda. Kalau menurut cerita, Kiai Mas Mansur dipenjara, disiksa luar biasa. Dulu orang cerita disuntik-suntikan binatang sehingga sakitnya luar biasa.

Sehingga meninggal di penjara 25 April 1946 ketika Belanda bisa menguasai lagi Jawa Timur. Maka dimakamkan di dekat Taman Makam Pahlawan. Atas jasanya, pemerintah Indonesia mengangkat Kiai Mas Mansur menjadi pahlawan nasional bersama K.H. Fakhruddin.

Penutup

Demikian cerita saya. Tiga Kiai: Kiai Ibrahim, Kiai Hisyam, Kiai Mas Mansur yang mempunyai ciri berbeda karakternya, tetapi bakti-nya di Muhammadiyah tidak diragukan. Matur nuwun. Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *