Banda Aceh, infoMu.co – Dewan Perwakilan Rakyat Aceh resmi menggunakan hak interpelasi kepada Plt Gubernur Aceh Nova Iriansyah. Hak interpelasi ini dilakukan oleh 58 orang anggota DPRA yang berasal dari enam Fraksi. Hak interpelasi meminta keterangan terhadap PLT Gubernur atas beberapa kebijakan pemerintah Aceh yang strategis dan berdampak luas pada kehidupan masyarakat.
Salah satu kebijakan yang dipertanyakan DPRA adalah kebijakan Gubernur atas dana refocusing anggaran APBA tahun 2020 sebesar Rp 1,7 triliun terkait penanganan Covid19.
Awalnya. hak interpelasi itu dilakukan oleh 15 anggota dewan dan lebih satu fraksi. Usulan itu kemudian harus disetujui oleh setengah dari jumlah anggota DPRA yang hadir.

Hak Interpelasi Dewan
Seperti apa hak interpelasi ini sesungguhnhya ? Seorang pengamat politik dan kebijakan publik Aceh Dr. Taufiq Abdul Rahim kepada Jurnalis infoMu.co menjelakan, bahwa hak interpelasi yang diajukan oleh 58 orang anggota legislatif atau Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh, ini sifatnya normatif, diatur oleh undang-undang/aturan sebagai hak pengawasan legislatif terhadap kinerja eksekutif (Plt. Gubernur) Aceh, maka jangan diterjemahkan sebagai adanya kisruh, sehingga diperlukan islah terhadap kedua lembaga dan institusi politik elite Aceh tersebut.
Jelas Taufiq, hak interpelasi DPRA terhadap kinerja Pemerintah Aceh, ini secara akademis dan praktik politik dan aturan dibenarkan. Perkara ini jangan digiring kearah yang semakin kacau, seolah-olah terjadi kekisruhan, kegaduhan dan kekacauan sehingga diperlukan islah. Ini berhubungan dengan perjalanan politik kinerja eksekutif karena ada masalah yang harus dijawab pemegang mandat kinerja dan kebijakan politik dan publik yaitu Plt. Gubernur. ” Jadi ada hak tanya serta hak jawab dari lebih 30 pertanyaan DPRA yang diajukan melalui sidang paripurna resmi pada tanggal 10 September 2020,” jelas dosen di Unmuha Aceh itu.
Oleh karena itu, terhadap berbagai perkara serta kesalahan kebijakan politik dan publik yang perlu kejelasan, ataupun yang menyalahi prosedur jika itu berhubungan dengan kebijakan publik dan kepentingan sekitar lebih 5.380.000 rakyat Aceh. Sehingga benar-benar permasalahan beban hidup rakyat yang luar biasa berat saat ini, apalagi ditengah terpaan pademi Corona Virus Disease-2019 (Covid-19) dapat diselesaikan secara bersama-sama.
Untuk itu diingatkan Taufiq, jadi persoalan hak interpelasi yang digulirkan 58 anggota DPRA itu bukan permasalahan mendahulukan kepentingan elite Aceh (DPRA dan Plt. Gubernur) yang dipertontonkan secara tarik-menarik kepentingan politik (vested interest) semakin tidak menarik serta “membosankan/memuakkan).
Hal ini yang ditunggu rakyat secara benar dan normatif. Sehingga semua jelas serta kebenarannya juga sah dalam sidang paripurna yang dijawab secara elegan, berwibawa, bermartabat serta dapat dipertanggungjawabkan. Maka, jangan ditarik-tarik seolah-olah kitakharmonisan ini karena kisruh dan gaduh besar, akan tetapi ini masalah wewenang kerja politik antara DPRA dan Plt. Gubernur Aceh.
Taufiq mengingatkan, jangan sampai dalam proses interpelasi ini, ada yang mengambil kesempatan mengail diair keruh, seolah-olah mau mendamaikan persoalan. Hak interpelasi normatif dan konstitusional dibenarkan dalam praktik politik serta banyak dilakukan kajian secara akademik, hal ini secara empirik ada dalam praktik politik. Persoalan tanya-jawab praktik politik, bukan kisruh politik. Rakyat juga ingin tahu kebenaran sesungguhnya terhadap apa yang berlaku terhadap elite Aceh saat ini berkaitan dengan kinerja mengurus Aceh, serta untuk perubahan kehidupan sesungguhnya untuk rakyat Aceh. (Syaifulh)

