Stunting Ideologi Kader Muhammadiyah: Menemukan Kembali Ruh Gerakan
(Tulisan Seputar ke-12 dari Beberapa Tulisan Seputar Kader)
Oleh: Amrizal, S.Si., M.Pd – (Wakil Ketua MPKSDI PWM Sumut / Dosen UNIMED & UMSU)
Di tengah gemuruh perubahan zaman dan derasnya arus digitalisasi, Muhammadiyah menghadapi tantangan besar yang tidak terlihat secara kasat mata namun berdampak luar biasa dalam jangka panjang. Bukan soal berkurangnya jumlah amal usaha, bukan juga minimnya pengikut. Tapi justru pada satu krisis mendasar: stunting ideologi kader Muhammadiyah.
Apa Itu Stunting Ideologi?
Istilah stunting dalam dunia kesehatan merujuk pada kondisi gagal tumbuh akibat kekurangan gizi kronis, terutama dalam 1000 hari pertama kehidupan. Anak yang mengalami stunting tampak normal, namun sesungguhnya mengalami hambatan serius dalam perkembangan otaknya, daya tahan tubuh, bahkan potensi masa depannya.
Stunting ideologi juga serupa. Kader Muhammadiyah yang tampak aktif dalam kegiatan, mengikuti pengkaderan, bahkan memegang jabatan, tapi mengalami kekerdilan dalam memahami ideologi, nilai, dan visi besar Muhammadiyah. Mereka aktif secara struktural, tetapi tumpul secara ideologis. Terlibat secara formal, tapi hampa secara ruhaniyah dan perjuangan.
Tanda-Tanda Stunting Ideologi
Beberapa gejala stunting ideologis di tubuh kader Muhammadiyah dapat dikenali, antara lain:
1. Tidak tahu arah gerakan Muhammadiyah. Banyak kader yang terlibat dalam kegiatan rutin, namun tidak memahami misi tajdid, gerakan pencerahan, dan nilai keislaman berkemajuan yang menjadi identitas Muhammadiyah.
2. Miskin literasi Muhammadiyah. Tidak kenal Khittah, tidak paham Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), bahkan tidak pernah membaca pemikiran tokoh-tokoh seperti KH Ahmad Dahlan, Buya Syafi’i Ma’arif, atau Prof. Haedar Nashir.
3. Menjadikan Muhammadiyah sebagai kendaraan sosial, bukan ladang perjuangan. Jabatan dicari demi pengaruh, bukan untuk berkhidmat. Kegiatan dicatat demi prestise, bukan kontribusi.
4. Kaku dalam gerakan, kering dalam dakwah. Tidak mampu mengaitkan Islam dengan realitas sosial. Dakwah menjadi normatif, struktural, bahkan teralienasi dari umat.
Mengapa Ini Terjadi?
1. Perkaderan yang Seremonial
Banyak pengkaderan yang berhenti pada tataran teknis: materi disampaikan, sertifikat diberikan, lalu selesai. Tidak ada proses lanjutan, pendampingan, atau follow-up yang sistematis.
2. Krisis Teladan Ideologis di Pimpinan
Kader muda melihat pimpinan yang lebih sibuk mengatur struktur ketimbang membina ruh gerakan. Ketika keteladanan luntur, maka nilai pun mudah pupus.
3. Ketergantungan pada Amal Usaha
Amal usaha memang kekuatan Muhammadiyah, tapi ketika hanya menjadi tempat mencari nafkah tanpa pembinaan ideologis, maka ia justru melahirkan “Karyawan Muhammadiyah” bukan “Kader Muhammadiyah”.
4. Minimnya Narasi dan Ekspresi Ideologi di Era Digital
Media sosial Muhammadiyah sering hanya berisi laporan kegiatan. Ruang refleksi ideologis, gagasan Islam progresif, atau narasi nilai Islam yang membebaskan sangat terbatas.
Ketika Kader Menjadi “Struktur”, Bukan “Jiwa”
Rasulullah SAW bersabda: “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim). Banyak kader hari ini terjebak pada rutinitas administratif. Mereka lupa bahwa Muhammadiyah bukan hanya organisasi, tapi juga gerakan dakwah dan tajdid. Bukan hanya mengisi formulir kegiatan, tapi membangun peradaban. Ketika niat mulai berubah dari perjuangan menjadi pencitraan, dari pengabdian menjadi ambisi, maka ruh itu perlahan hilang.
Jalan Keluar: Menumbuhkan Kembali Kader Ideologis
Agar kader Muhammadiyah tidak terjebak dalam stunting ideologi, perlu langkah nyata:
1. Perkaderan yang Membentuk Karakter, Bukan Hanya Pengetahuan Gunakan metode pembinaan berkelanjutan: mentoring, halaqah ideologis, forum intelektual, diskusi buku tokoh Muhammadiyah.
2. Digitalisasi Narasi Ideologis
Gunakan media sosial untuk membangun pemahaman kader. Sebarkan kutipan tokoh, tafsir progresif, dan nilai-nilai Islam berkemajuan dalam bahasa yang segar dan membumi.
3. Pimpinan Harus Menjadi Figur yang Mendidik, Bukan Sekadar Mengatur
Kader butuh teladan, bukan hanya pemimpin struktural. Jadilah figur yang tidak hanya memberi instruksi, tapi juga inspirasi.
4. Baitul Arqam Harus Diperkuat dan Diperluas
Jadikan Baitul Arqam sebagai ruang transformasi ideologis, bukan hanya agenda seremonial. Harus ada follow-up pasca pelatihan: tugas ideologis, pembimbingan lapangan, dan evaluasi kontribusi kader.
5. Ciptakan Budaya “Membaca” dan “Membahas” Pemikiran Muhammadiyah
Setiap ortom dan cabang harus punya budaya literasi: membaca MKCH, Khittah, dan pemikiran tokoh. Diskusi itu membentuk jati diri seperti melaksanakan program Tadarus Ideologi Muhammadiyah.
Dari Kader Biasa Menjadi Pejuang Bermakna
Kita tidak butuh kader yang sekadar memenuhi struktur. Kita butuh pejuang yang paham ruh gerakan, siap bergerak dalam sunyi, dan tak tergoda pujian. Muhammadiyah bukan tempat menumpuk jabatan, tapi menanam amal. Bukan jalan pintas menuju karier, tapi jalan panjang menuju surga.
“Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berjuang di jalan-Nya dalam barisan yang teratur, seakan-akan mereka seperti bangunan yang kokoh tersusun.” (QS. As-Saff: 4).
Mari bersama menumbuhkan kader ideologis. Kader yang memahami bahwa menjadi bagian dari Muhammadiyah berarti siap menyalakan cahaya dalam gelap, bukan sekadar menikmati cahaya yang telah dinyalakan orang lain. Karena Muhammadiyah akan terus hidup, sejauh kadernya tak mengalami stunting ruh perjuangan.
Wallahu a’lam bish shawab.

