Sekolah Paralegal Muhammadiyah jadi Bentuk Aktualisasi Amal Salih
INFOMU.CO | Yogyakarta – Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Busyro Muqoddas menegaskan, pelaksanaan kegiatan “Sekolah Paralegal Muhammadiyah” merupakan wujud nyata dari tradisi amal saleh Muhammadiyah yang berakar pada ilmu, iman, dan kerja-kerja kemanusiaan.
Hal tersebut disampaikan Busyro dalam Pembukaan Sekolah Paralegal yang diprakarsai oleh Majelis Hukum dan HAM (MHH) bersama Majelis Pemberdayaan Masyarakat (MPM) Pimpinan Pusat Muhammadiyah, di Lampung pada Senin (15/12).
Menurut Busyro, Muhammadiyah memiliki pola gerakan yang mapan dan konsisten sejak awal berdirinya, yakni amal saleh yang berorientasi pada penguatan keilmuan dan keimanan, serta diwujudkan dalam kerja-kerja amaliyyah yang berdampak langsung bagi masyarakat.
“Di Muhammadiyah, amal salih tidak berhenti pada wacana. Ia harus berorientasi pada ilmu dan iman, lalu diwujudkan dalam tindakan nyata,” tegasnya.
Busyro menyampaikan apresiasi kepada seluruh pihak yang terlibat dalam penyelenggaraan Sekolah Paralegal ini, kegiatan tersebut bukanlah agenda seremonial semata, melainkan bagian dari rangkaian kerja berkelanjutan Muhammadiyah.
Ia menegaskan akan adanya rencana tindak lanjut (RTL) sebagai bentuk keseriusan organisasi dalam membangun kader hukum yang berorientasi pada keadilan sosial. Busyro juga menekankan, orientasi gerakan Muhammadiyah tidak bergantung pada perintah atau tekanan eksternal.
Busyro menyebut, kerja-kerja kemanusiaan, kebangsaan, dan keagamaan yang telah dirumuskan dalam Muktamar Muhammadiyah di Solo merupakan satu kesatuan yang integratif, dan Sekolah Paralegal menjadi salah satu bentuk aktualisasinya di bidang hukum dan HAM.
“Diperintah atau tidak, Muhammadiyah akan selalu bergerak dalam semangat fastabiqul khairat,” ujarnya.
Paralegal Muhammadiyah Berpijak pada Perspektif Islam
Busyro menekankan bahwa hakikat hukum tidak dapat dipisahkan dari nilai-nilai hak asasi manusia. Dalam perspektif Islam, lanjutnya, ajaran tentang hak asasi telah hadir jauh sebelum konsep modern HAM berkembang. Namun, ia mengingatkan bahwa hak selalu beriringan dengan kewajiban.
“Tidak ada orang yang menuntut haknya jika kewajiban tidak dilakukan. Ini prinsip etik yang sangat fundamental dalam ajaran Islam,” tegasnya.
Para narasumber yang dihadirkan dalam Sekolah Paralegal bukan semata akademisi teoritik, melainkan sosok-sosok yang memiliki pengalaman nyata di lapangan. Menurut Busyro, krisis hukum di Indonesia kerap disebabkan oleh dominasi klarifikasi tanpa aktualisasi.
“Jika ilmu tidak diaktualisasikan, maka yang terjadi adalah halusinasi intelektual,” kritiknya.
Lebih lanjut, Busyro menegaskan pentingnya peran paralegal sebagai jembatan keadilan bagi masyarakat akar rumput. Paralegal, menurutnya, harus bersifat proaktif dan jemput bola, hadir di tengah masyarakat yang kerap terpinggirkan dari akses hukum.
Lebih dari itu, Sekolah Paralegal Muhammadiyah merupakan bagian dari ikhtiar agar hukum benar-benar menjadi alat pembebasan, bukan sekadar instrumen kekuasaan.
Mengulas sejarah, Busyro mengingatkan bahwa Muhammadiyah yang didirikan 113 tahun lalu oleh KH. Ahmad Dahlan bersama para sahabatnya, sejak awal dimaksudkan untuk memberi manfaat seluas-luasnya bagi umat manusia. Karena itu, kerja-kerja paralegal tidak mungkin dijalankan Muhammadiyah seorang diri.
Busyro juga menyinggung peran historis Muhammadiyah dalam proses perintisan negara Indonesia, termasuk kontribusi tokoh-tokohnya dalam perumusan dasar negara. Ia menyebut Ki Bagus Hadikusumo, Abdul Kahar Muzakkir, hingga Jaksa Agung pertama RI, Kasman Singodimedjo, sebagai bukti bahwa Islam, kebangsaan, dan hukum telah lama terjalin erat dalam perjalanan republik.
Menutup sambutannya, Busyro menegaskan bahwa Sekolah Paralegal Muhammadiyah bukan sekadar program pendidikan, melainkan bagian dari tanggung jawab moral dan konstitusional Muhammadiyah untuk membela martabat manusia, menegakkan keadilan, dan menghadirkan hukum yang berpihak pada kaum lemah sejalan dengan misi Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

