Sejarah dan Masa Depan Kaderisasi Muhammadiyah
(Tulisan ketujuh dari beberapa tulisan)
Oleh: Amrizal, S.Si., M.Pd – (Wakil Ketua MPK SDI PW.Muhammadiyah Sumatera Utara / Dosen Unimed)
Ada satu pertanyaan penting yang terus relevan di tengah dinamika gerakan Muhammadiyah: Siapakah yang akan melanjutkan perjuangan ini? Pertanyaan itu menjadi dasar lahirnya semangat kaderisasi, sebuah proses panjang dan terus-menerus dalam menyiapkan manusia yang akan menjadi pelanjut, penggerak, dan pelindung
nilai-nilai dakwah Islam berkemajuan. Dalam Muhammadiyah, kader bukan sekadar anggota. Kader adalah jantung organisasi.
Darul Arqam: Titik Awal yang Menyalakan Api
Pada Muktamar Muhammadiyah ke-37 tahun 1968 di Yogyakarta, Muhammadiyah mengambil langkah monumental: membentuk Badan Pendidikan Kader (BPK). Dari sinilah, untuk pertama kalinya muncul nama yang kelak menjadi ikon kaderisasi Muhammadiyah: Darul Arqam. Darul Arqam menjadi ruang suci pembentukan kader ideologis, bukan hanya yang paham struktur, tapi yang hidup dengan nilai, berjuang dengan visi, dan berpikir jauh melampaui zamannya.
Seiring waktu, buku Sistem Perkaderan Muhammadiyah (SPM) pertama kali diterbitkan tahun 1989 oleh BPK PPM (periode 1985–1990), sebagai landasan pembinaan yang sistematis dan terstruktur. Kemudian, sistem ini terus berkembang dan direvisi: 1997, oleh BPKPAMM hasil Muktamar ke-43 di Aceh. hasil Muktamar ke-43 di Aceh
melahirkan pembaruan signifikan melalui Badan Pembinaan Kader dan Pengembangan Angkatan Muda Muhammadiyah (BPKPAMM). Revisi ini memperluas cakupan perkaderan tidak hanya untuk internal persyarikatan, tetapi juga menyasar generasi muda Muhammadiyah lintas ortom, dengan pendekatan yang lebih kontekstual dan menyentuh dimensi sosial-keumatan.
2000, Nomenklatur lembaga kaderisasi berubah menjadi Majelis Pengembangan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI). Perubahan ini bukan sekadar administratif, tetapi menandai pergeseran paradigma bahwa pengembangan kader tidak cukup hanya dari sisi ideologi dan organisasi, tetapi juga harus mencakup aspek sumber daya manusia secara menyeluruh.
2001, istilah “perkaderan” menjadi “pengkaderan”. Muhammadiyah juga menegaskan perubahan terminologi dari “perkaderan” menjadi “pengkaderan”. Meskipun secara makna tidak jauh berbeda, perubahan ini mencerminkan penyelarasan bahasa yang lebih komunikatif dan edukatif dalam konteks pembelajaran serta manajemen SDM modern.
2007, dilakukan revisi ketiga. yang memperdalam substansi dan metodologi, diiringi dengan pemantapan tahapan kaderisasi yang lebih terukur dan berbasis evaluasi kinerja. 2015, revisi keempat sebagai amanah Muktamar ke-46 di Yogyakarta. Revisi ini menjadi respons Muhammadiyah terhadap tantangan era globalisasi, digitalisasi, dan pluralisme yang kian kompleks. Pengkaderan dituntut tidak hanya melahirkan organisatoris, tetapi juga pemimpin-pemimpin visioner yang mampu menjawab problematika umat dan bangsa dengan pendekatan holistik.
2022, Muktamar ke-48 di Solo, nomenklatur berubah menjadi Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI). Perubahan istilah dari “pengembangan” menjadi “pembinaan” mengandung makna peneguhan, bahwa proses kaderisasi bukan sekadar pembentukan kemampuan, tetapi pendalaman nilai dan pembentukan karakter. Semua ini menandakan bahwa kaderisasi adalah sistem yang terus disempurnakan, karena Muhammadiyah memahami bahwa membina manusia adalah pekerjaan lintas zaman.
Kondisi Riil Kaderisasi: Antara Nyala dan Redup
Di banyak tempat, kita menyaksikan kaderisasi yang luar biasa. Sekolah-sekolah Muhammadiyah menjadi ladang subur kader. Darul Arqam digelar rutin. Ortom menggeliat. Pelatihan ideologi mulai menyasar amal usaha. Kader-kader muda tampil percaya diri memimpin, menulis, dan berdakwah. Namun, kita juga harus jujur. Tidak sedikit cabang dan ranting yang mengalami kemandekan kaderisasi. Banyak pimpinan yang belum menjadikan kaderisasi sebagai agenda utama. Sering kali, pelatihan dilakukan sekadar menggugurkqn kewajiban.
Kader administratif melimpah, namun kader ideologis menipis.
Tantangan lain adalah belum meratanya distribusi kader pelatih (Instruktur), lemahnya integrasi antara Ortom dan persyarikatan, serta kurangnya sinergi kaderisasi lintas sektor: amal usaha, pimpinan, dan masyarakat umum.
Nafas Panjang Peradaban
Al-Qur’an mengajarkan pentingnya menyiapkan generasi pelanjut. Dalam QS. Ali Imran ayat 104, Allah berfirman:
“Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; merekalah orang-orang yang beruntung.” Inilah landasan spiritual dari kaderisasi: membentuk segolongan umat yang mampu menjadi penggerak kebaikan. Begitu pula dalam QS. Al-Mujadilah: 11, Allah menjanjikan derajat tinggi bagi orang-orang berilmu: “Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat.”
Kaderisasi bukan hanya mempersiapkan tenaga organisasi. Ia adalah ikhtiar membangun manusia unggul, pelaku perubahan, dan penyambung estafet dakwah Islam.
Tentang Arti Sejati Seorang Kader
Para tokoh Muhammadiyah sejak dulu meletakkan perhatian besar pada kaderisasi. KH Ahmad Dahlan mengajarkan bahwa kader bukan sekadar pengikut, tapi pelopor. Beliau berpesan: “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Sementara itu, Buya Syafii Maarif memberikan peringatan tajam: “Tanpa kaderisasi yang sehat, Muhammadiyah akan kehilangan energi ideologis dan moralnya.”
Dan Prof. Haedar Nashir, Ketua Umum PP Muhammadiyah, dalam banyak kesempatan menegaskan bahwa:
“Kader Muhammadiyah harus berpikir luas, berpijak pada nilai, dan bergerak membawa perubahan.” Artinya, kader adalah manusia utuh: berpikir, bergerak, dan berjuang dengan visi tajdid dan etos keikhlasan.
Masa Depan: Dari Sekadar Program ke Gerakan Kaderisasi
Hari ini, Majelis Pembinaan Kader dan SDI sedang membangun langkah-langkah strategis:
Menguatkan kurikulum kaderisasi berbasis jenjang dan kebutuhan zaman.
Mendorong pelatihan kader berbasis amal usaha.
Mengembangkan e-kaderisasi dan pelatihan digital.
Meningkatkan sinergi antar-Ortom dan antar-majelis.
Langkah ini bukan hanya administratif. Ini adalah langkah ideologis untuk memastikan Muhammadiyah tetap berumur panjang, bukan hanya secara institusi, tetapi secara nilai dan misi dakwah.
Menyalakan Terus Api Kaderisasi
Muhammadiyah tidak akan pernah kehilangan arah selama api kaderisasi terus dijaga. Ia bukan sekadar warisan sejarah, melainkan kompas masa depan. Kini saatnya semua elemen persyarikatan, dari pusat hingga ranting, dari amal usaha hingga Ortom, mengembalikan kaderisasi sebagai poros utama gerakan. Karena sesungguhnya, dalam setiap kader yang ikhlas berjuang, di situlah nyawa Muhammadiyah terus hidup. “Muhammadiyah tidak kekurangan orang, tapi kadang kekurangan kader. Maka jangan hanya hadir sebagai anggota, tetapi hiduplah sebagai kader.”
Majelis Pembinaan Kader dan Sumber Daya Insani (MPKSDI) adalah jantung strategis Muhammadiyah. Dari rahim majelis inilah lahir kader-kader ideologis, organisatoris, dan visioner yang menjadi motor penggerak dakwah dan amal usaha. Namun ironisnya, MPKSDI kerap dijuluki “Majelis Air Mata”. Bukan karena tidak kuat, tetapi karena kuat menanggung beban tanpa cukup dukungan. Instruktur harus merogoh kocek sendiri untuk menjalankan
pelatihan, membagi waktu di tengah padatnya amanah lain, bahkan mengelola kaderisasi tanpa anggaran yang memadai. Ini adalah pengorbanan sunyi yang nyaris tak terdengar, padahal dampaknya menghidupkan nadi organisasi.
Kaderisasi bukan sekadar agenda teknis, tetapi investasi strategis jangka panjang. Organisasi tanpa kader ibarat bangunan tanpa fondasi, tampak megah di luar, tapi rapuh di dalam. Maka, sudah saatnya pimpinan persyarikatan dan pengelola Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) menempatkan kaderisasi sebagai prioritas, bukan pelengkap.
Dukung kaderisasi bukan hanya dengan pujian, tapi dengan kebijakan, anggaran, dan penghargaan. Karena sesungguhnya, kemajuan Muhammadiyah di masa depan sangat ditentukan oleh kesungguhan kita merawat para pengembannya hari ini.
Wallahu a’lam bish shawab