YS RAT, SANG PERKUTUT URAKAN
Oleh: S. Ratman Suras
Di usianya menginjak 58 tahun lelaki ganteng berpostur sedang ini, tetap eksis menggeluti dunia seni, terlebih teater dan puisi. Saya menyebutnya dunia sunyi. Dunia di mana orang jarang menyentuhnya. Apalagi menggelutinya.
Saya biasa memanggilnya Mas Rat. Sudah cukup lama kami saling kenal. Ya ngobrol lintas meja kantin Taman Budaya Sumatera-Utara (TBSU) lama. Namun sejak September 2001, agak intens untuk sebuah Antologi puisi Tengok 2, Arsas, Medan 2001. Padahal jauh sebelum itu, antologi puisi Bumi, SSI Medan 1996, dan Indonesia Berbisik, Dewan Kesenian Sumatera-Utara (DKSU) 1999, kami juga sama dalam satu antologi puisi.
Menyimak dan membaca puisi-puisi YS Rat, terasa sesak, terus menghentak-hentak dada. Ada luka. Ada pedih. Ada perih. Terasa terus menghantui batin ini. Ketimpangan, ketidakadilan, amoral, ilegal, tirani, selalu disuarakan lewat diksi-diksi yang mistis, puitis, gamblang, lantang, tak perlu kening berkerut. Tapi inilah jadi nilai lebih dari sang Perkutut Urakan. Puisi-puisinya panjang-panjang, pas untuk dipanggungkan. Hal ini barangkali tak lepas dari garis hidupnya yang memang juga seorang aktor.
YS Rat mulai mulai jatuh hati pada dunia seni sejak 1980. Karya-karyanya sudah dimuat, di media Medan, Aceh, Jakarta, tak hanya melulu puisi, tapi juga Cerpen, esai, artikel budaya dan hukum. Pernah nyantrik di teater Kartupat pimpinan Raswin Hasibuan (alm) selama kurang lebih 7 tahun. Pada 5 Juni 1991 mendirikan Teater Merdeka. Sudah banyak naskah yang dihajar, baik sebagai aktor maupun sutradara. Beberapa naskah sandiwaranya bahkan mendapat juara pertama, “Bum! Bam! Dum! Dam! Dor!” versi Dewan Kesenian Medan (DKM) 2005. Jauh sebelum itu, 1988, “Hus!” dan Cilik…Ba!” Juga dapat penghargaan dalam ajang yang sama.
Sebulan usai Orde Baru tumbang.
Sebuah keluarga berjumlah dua
Suami dan istri
Suka politik
Masuk partai yang berbeda
………
Sejumlah keluarga berjumlah ratusan juta
Bapak dan ibu
dan sekian anak
dan sekian menantu
dan sekian cucu
dan sekian cicit
dan sekian famili
dan sekian kerabat
dan sekian tentangga
dan sekian sahabat
dan sekian kenalan
Sutradara politik
Mendirikan partai masing-masingnya
Ratusan juta jumlahnya
Ratusan juta namanya
Cuma satu alasannya
Nanti kalau jadi pimpinan dewan terhormat
Atau sekedar anggota
Tak secuil pun alasan menghujah
Nepotisme
Puisi ini berjudul, Politik Menghindari Nepotisme. Sangat kontradiktif pada kala itu. Ketika reformasi hendak bergulir, kuku -kuku, Orba dan sisa-sisa rezim Pak Harto masih kuat mencengkeram segala lini kehidupan negeri ini, sang Perkutut Urakan dengan lantang menyuarakan anti KKN, lewat kekuatan goresan penanya. Puisi ini sering dibaca langsung oleh penyairya, dengan lantang dan lepas. Gaya panggungnya yang khas YS Rat, membelakangi audiens beberapa saat.
Kerja kepenyairan adalah kerja kreatif. Kerja yang tak hanya mengandalkan otot saja. Lebih dari itu. Wilayah kerjanya juga sangat luas tak terbatas.
Membaca ulang kurang lebih 20 puisi-puisi panjang YS Rat. Saya seperti menjelajah negeri luka. Sebuah wilayah tak ada hukum. Hukum hanya tercatat di buku-buku tebal. Tapi implementasi terhadap hidup dan kehidupan masih minim bahkan kosong. Bahkan pada level titik terpenting : kemanusiaan.
…….
Sebuah negeri
negeri yang diperebutkan angin
Ini yang kesekian
Mendongak pada gunung
tak lagi menghijau daunan
batu
rumput
telah tak pulang pada kepastian
hingga tak guna mengurai waktu
ratusan juta tangan
pun tak mampu menuliskan
tentang garis batas menjebak
terpaksa membiarkan sejarah
membuahkan pemasungan pikiran
……
Negeri yang diperebutkan angin. Memperjelas ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di negeri ini. Bukan hanya di ranah politik saja. Tapi sudah mengkritisi pada sosial, ekonomi, terlebih budaya. Seperti sudah terlalu akut luka-luka yang mendera, kehidupan berbangsa bernegara ini.
……….
Membaca bulan purnama dan tertutup awan
Seperti lingkaran kucing ketika lapar
Harus bersekutu pada tikus
Tak bisa lain kecuali memangsa mimpi
Kalaupun mengharap belas kasihan
Sia-sia
Pagi berlumur liur tak berkesudahan
Ada yang menghadang di setiap perbatasan
……….
Membaca penuh penghayatan luka-luka kita. Mempertegas gambaran betapa hukum masih menjadi barang mewah bagi pencari keadilan, terutama bagi si lemah. Tanpa bekal yang kuat dalam mencari rasa adil pasti akan mentok pada jalan buntu. Sebab ada yang menghadang di setiap perbatasan.
MEMBACA GELAP
Rabu, pukul tiga sore, tanggal 7 April 2021, kota Medan diguyur hujan, cukup deras. Pinggir kota pun sudah terpapar hujan. Saya memacu kreta tua menembus hujan. Langit gelap. Sesekali kilat. Petir menggemuruh. Ada peristiwa penting Gelar Baca Puisi YS Rat. Di TBSU komplek PRSU. “Membaca Gelap” Langit kota Medan nampaknya, merestui judul besar gawean ini. Walau cuaca gerimis tipis, sang Perkutut Urakan tetap tampil membacakan puisi-puisinya.
Wajah yang tersenyum. Seseorang yang membuka pintu. Sebuah negeri yang diperebutkan angin. Medan yang hilang. Empat puisi dibacakan. YS Rat mendaulat rekanya, Porman Wilson Manalu untuk turut membaca puisinya, Hujan hari ini. Terakhir saya pun dapat kehormatan membaca, Dari Perkutut Urakan.
Menjelang Maghrib. Membaca Gelap pun usai. Segelap segenap langit. Gerimis makin menambah seram dan gelap senja itu.. Sang Perkutut Urakan, telah membacakan kegelapan-kegelapan yang terjadi pada kehidupan lewat puisi-puisi nya. Tetap Semangat Mas Rat. Nampaknya dunia puisi ini bukan hanya sunyi. Tapi juga gelap.
Juga untuk para pendukung program ini, Abdul Rozak Nasution, Soekisno Dimas, Endra Mulyadi, Rudi Pama, Henri Batubara, M. Yunus Rangkuti, Ilham Maulana Bung Kamal Nasution.
S. Ratman Suras, Tanjung Anom 7421

