Oleh : S. Ratman Suras
Kriapur adalah akronim dari nama sebenarnya, Kristianto Agus Purnomo, salah seorang penyair kuat negeri ini. Beliau dilahirkan di Solo, 6 Agustus 1959, dan meninggal di Batang, pada 17 Pebruari 1987, dalam usia yang masih muda, 28 tahun. Nama Kriapur di blantika sastra Indonesia mulai dikenal sejak karya puisi-puisinya sering muncul di majalah sastra Horison pada awal dekade -80an. Hampir bersamaan dengan kemunculan penyair Afrizal Malna.
Membaca kembali, 20 puisi-puisi pilihan Kriapur, dalam antologi tipis, Tiang Hitam Belukar Malam, penyunting Afrizal Makna yang diterbitkan Forum Sastra Bandung (1996) saya merasakan berada pada dunia kelam, sunyi, hitam penuh misteri. Ke-20 puisi-puisi itu bercerita tentang maut. Memang, mati itu pasti. Setiap mahluk yang bernafas pasti akan mengalami mati. Mati adalah nasehat yang diam. Suka atau tidak, dalam keadaan sakit atau sehat. Sedang sempat atau tengah sibuk. Usia tua atau muda, balita atau bayi sekali pun, jika takdirnya sudah habis hidup, pasti maut merenggut. Yang jadi tanda tanya adalah ketika seorang penyair dengan sadar menulis puisi tema kematiannya sendiri.
Penyair Kriapur termasuk salah satunya yang bisa memprediksi akan kematiannya. Mari kita simak puisinya.
AKU INGIN MENJADI BATU DI DASAR KALI
Aku ingin menjadi batu di dasar kali
bebas dari pukulan angin dan keruntuhan
Sementara biar orang-orang bersibuk diri
Dalam desau rumput atau pohonan
Jangan aku memandang keluasan langit
tiada tara
Seperti padang-padang tengah
Atau gunung-gunung menjulang
Tapi aku ingin menjadi sekedar bagian
Dari kediaman
Aku sudah tak tahan lagi melihat burung-burung pindahan
Yang kau bunuh dengan keangkuhanmu.
Yang mati terkapar
di sangkar-sangkar pedih waktu
O, aku ingin jadi batu di dasar kali
Menanti datang saat abadi
Solo 1981
Kehidupan yang hiruk pikuk, penuh intrik kepalsuan, hati sang penyair ingin menjadi batu di dasar kali bening. Tanpa konflik, penuh kedamaian sambil menanti
masa keabadian. Pada puisi-puisi yang lain, walau almarhum banyak menulis tentang kota, laut, sungai, gunung. Namun semua berujung pada murung, hitam, dan maut. Dengan bahasa yang biasa tapi jadi luar biasa. Kematian diekspresikan tanpa gentar. Mati yang pasti itu, jadi semacam janji yang tak lama lagi. Mistisme maut selalu digali dalam kesadaran tinggi. Orag Jawa bilang weruh sedurunge winarah (tahu sebelum kejadian) waktu yang akan dilalui. Mati tinggal menunggu wangsit yang dibawa malaikat maut utusanTuhan.
SOLO
gerimis menyeret bulan
menghamburkan cahaya
dekat-dekat pohon bengawan
tengah malam dingin
gairah kehidupan tak undur
manusia seperti patung-patung
kantuk di kedalaman bunyi gamelan
Solo, 1987
Bayangkan kota kelahirannya yang begitu hingar-bingar, kota wisata batik, dan kuliner yang tak pernah tidur pun, terpotret dalam frasa, manusia seperti patung, kehidupan tak undur, kantuk di kedalaman bunyi gamelan. Ada kontradiksi riuh dan patung. Diam tak bergerak seperti, mati dalam hidup. Kian muram dan bisu. Rasa kesunyian itu sudah terasa begitu baca baris pertama
hingga baris terakhir.
Kematian sudah pasti. Hanya waktu dan tempat, misteri bagi yang masih hidup. Begitu pun jika kita dengar kabar tentang matinya seseorang, keluarga, teman, rekan kerja, teman seperjuangan, pasti tetap terkejut. Terlebih jika yang pergi tak kembali lagi itu, orang yang tercinta. Butuh waktu lama buat melupakannya. Dari 20 puisi Kriapur, hampir semua puisi mengangkat tentang mati. Reqium senen, bumi murung, berrpikir tentang maut, memasuki sunyi, pelayaran tiada, pesta para malam, para pembakar, kalah, adalah beberapa judul puisi-puisinya. Dan yang paling fenomenal adalah puisi yang satu ini.
KUPAHAT MAYATKU DI AIR
kupahat mayatku di air
namaku mengalir
pada batu dasar kali kuberi wajahku
pucat dan beku
dimana-mana ada tanah
ada darah
mataku berjalan di tengah-tengah
mencari mayatku sendiri
yang mengalir
namaku sampai di pantai
ombak membawa namaku
laut menyimpan namaku
semua ada di air
Solo, 1981
Puisi-puisi yang ada di antologi ini bertiti mangsa dari tahun 1980 sampai tahun 1987. Kupahat mayatku di air, ditulis pada tahun 1981. Mungkin memang sudah garis takdir hidupnya, penyair Kriapur, mengalami kecelakaan lalu-lin tas, di daerah Batang, pada tanggal 17 Pebruari 1987, mobil yang dinaiki bersama ayahnya masuk sungai tertindih truk pengangkut semen. Pada waktu itu, banyak yang menulis berita sedih di media massa surat kabar. Rekan-rekan penyair banyak yang menghubungkan kematian itu dengan puisi-puisi Kriapur yang kebanyakan bertema maut. Mistifikasi ini wajar. Dan kita percaya. Takdir memang telah bicara. Selama hayatnya, Kriapur yang alumni Fakultas Sastra Universitas Sebelas Maret ini, pada tahun 1983 mengikuti Pertemuan Penyair Indonesia, Dewan Kesenian Jakarta. Selain aktif sebagai staf pengajar di IKIP Veteran Sukoharjo.
Semoga almarhum Kriapur tetap damai di alam kelanggengan. (*)

