Sami‘nā wa Aṭa‘nā: Menyemai Ketaatan, Menuai Kejayaan Jamaah
(Tulisan ke delapan dari Beberapa Tulisan)
Oleh : Amrizal., S.Si., M.Pd – (Wakil Ketua MPK SDI PWM Sumut/Dosen Unimed)
” Sami‘nā wa aṭa‘nā. Ghufrānaka rabbana wa ilaikal mashīr.” ” Kami dengar dan kami taat. Ampunilah kami, ya Tuhan kami. Kepada-Mu-lah kami kembali.” (QS. Al-Baqarah: 285)
Ketaatan; Nilai yang Mulai Tergerus
Dalam tubuh Muhammadiyah, nilai "sami‘nā wa aṭa‘nā" seharusnya menjadi fondasi moral dan ideologis yang tak tergantikan. Namun hari ini, kita melihat gejala yang mengkhawatirkan. Banyak kader bahkan pimpinan yang abai, tidak patuh, atau bahkan menentang keputusan persyarikatan. Sebagai contoh, dalam proses politik seperti pencalonan DPD RI, ketika Muhammadiyah mengeluarkan rekomendasi kepada kader terbaiknya, bukannya diikuti, justru muncul kandidat-kandidat lain dari kalangan internal sendiri, yang didorong oleh kader-kader Muhammadiyah.
Suara warga Muhammadiyah pun terpecah. Hal serupa terjadi dalam penetapan Hari Raya. Masih ada kader yang lebih mengikuti keputusan lain, bukan hisab hakiki wujudul hilal yang menjadi ciri khas tarjih Muhammadiyah. Saat ini kader, pimpinan dan anggota Muhammadiyah lagi diuji kepatuhannya dengan Kalender Hijriyah Global Tunggal (KHGT).
Mengapa Ini Bisa Terjadi?
Ada beberapa sebab utama yang perlu direnungkan:
Kuatnya Ego Personal. Ambisi pribadi seringkali lebih dominan daripada loyalitas pada keputusan kolektif. Ini menjadi penghalang terbesar dalam membangun kesatuan langkah.
Lemahnya Tarbiyah Ideologis. Tarbiyah bukan sekadar pengajian rutin, tapi harus mengakar pada pemahaman manhaj dan visi gerakan. Tanpa ini, kader mudah goyah.
Minimnya Keteladanan Pimpinan. Jika pimpinan sendiri tidak menunjukkan sikap taat, bagaimana mungkin kader bisa loyal? Kepemimpinan bukan soal otoritas, tapi keteladanan.
Rapuhnya Budaya Musyawarah. Ketika musyawarah hanya formalitas dan tidak jujur, kepercayaan kader pada hasilnya menjadi luntur.
Taat Bukan Tunduk Buta
Muhammadiyah tidak pernah mengajarkan ketaatan yang membabi buta. Kritik tetap penting. Tapi kritik harus disampaikan dengan adab dan pada saluran yang tepat. Ketidaksetujuan bukanlah alasan untuk memecah barisan. Kita boleh berbeda pendapat sebelum keputusan diambil, tetapi setelahnya, mari bersatu. “Sami‘nā wa aṭa‘nā adalah tanda kekokohan, bukan kelemahan. Ia adalah buah kedewasaan berorganisasi, bukan fanatisme kosong.”
Meneladani Sahabat Nabi
Para sahabat Nabi menunjukkan ketaatan luar biasa. Ketika perintah jihad datang dalam kondisi sulit, mereka menjawab: “Sami‘nā wa aṭa‘nā.” Ketika keputusan musyawarah telah diambil, meski berat, mereka patuh. Inilah ruh kolektif yang harus dihidupkan kembali oleh kader dan pimpinan Muhammadiyah. Taat bukan berarti tidak berpikir, tapi menunjukkan kedewasaan dalam berorganisasi dan berjuang secara berjamaah.
Membangun Budaya Taat dengan Cinta
Ketaatan sejati tidak lahir dari rasa takut, melainkan dari cinta terhadap persyarikatan. Dari keyakinan bahwa keputusan yang diambil oleh Muhammadiyah telah melalui proses ijtihad kolektif yang panjang, penuh pertimbangan ilmiah, maslahat, dan tanggung jawab. Pimpinan harus menjadi garda terdepan dalam membangun budaya taat ini. Mulailah dengan keteladanan. Tunjukkan bahwa keputusan organisasi lebih tinggi daripada kepentingan pribadi atau kelompok.
Mari Kita Kembali pada Spirit Jamaah
Jika Muhammadiyah ingin terus menjadi kekuatan moral bangsa, maka seluruh kader dan pimpinan harus bersatu dalam satu suara, satu barisan, dan satu langkah. Tidak akan ada kemenangan tanpa kesatuan. Dan tidak akan ada kesatuan tanpa ketaatan. “Barang siapa taat kepada pemimpin dalam kebaikan, maka ia menjaga bangunan besar bernama persyarikatan. Siapa yang enggan, ia tengah meretakkan fondasinya.”
Kembalilah kepada semangat “sami‘nā wa aṭa‘nā” ;. Mulailah dari diri kita. Jadikan ketaatan sebagai amal, bukan beban. Maka insyaAllah, Muhammadiyah akan terus menjadi pelita di tengah gelapnya zaman. “Ketaatan bukan berarti kita tidak berpikir, tapi itulah tanda kedewasaan dalam berorganisasi.” “Setelah musyawarah diputuskan, maka bersatulah. Di situlah kemuliaan gerakan kita.”
Jika ingin melihat Muhammadiyah sebagai kekuatan moral yang besar, maka kuncinya ada pada soliditas jamaah. Dan soliditas hanya akan lahir jika seluruh elemen, dari pimpinan pusat hingga ranting, menjadikan “sami‘nā wa aṭa‘nā” sebagai prinsip dasar berorganisasi. Jangan biarkan perbedaan dan ego memecah kekuatan. Mari kita kembali merajut kesatuan langkah dan visi. “Barang siapa yang taat kepada pimpinan dalam kebaikan, maka sesungguhnya ia tengah menjaga bangunan besar yang bernama persyarikatan. Dan barang siapa yang menolak, ia sedang meretakkan pondasi perjuangan ummat.”
Kita tidak bisa menuntut orang lain untuk taat, jika kita sendiri abai terhadap keputusan organisasi. Taatlah meski tidak setuju. Tunduklah meski berat. Karena dalam ketaatan itulah kemuliaan dan keberkahan gerakan akan Allah anugerahkan. Sudah saatnya kita tidak hanya mengucap “sami‘nā wa aṭa‘nā”, tapi juga menghidupkannya dalam sikap nyata. Wallahu a’lam Bish-shawab.

