RUU Perampasan Aset: Jalan Panjang Mewujudkan Efek Jera Koruptor
Oleh : Farid Wajdi – Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020
Pemberantasan korupsi di negeri ini selalu berada dalam persimpangan: antara niat luhur yang diumbar di ruang publik dengan realitas politik dan hukum yang kerap penuh tikungan. Rancangan Undang-Undang Perampasan Aset kembali masuk panggung wacana. Komisi III DPR menyatakan siap membahas draf baru, sebuah pernyataan yang menimbulkan harapan sekaligus keraguan. Pertanyaannya sederhana tetapi mendasar: apakah instrumen hukum ini akan benar-benar efektif merampas keuntungan haram para koruptor, ataukah sekadar menambah daftar panjang regulasi tanpa daya gigit?
Urgensi RUU ini tidak perlu diragukan. Selama bertahun-tahun, praktik korupsi di Indonesia lebih sering dihukum dengan penjara, sementara hasil jarahan masih sempat disembunyikan, dialihkan, bahkan diwariskan. Inilah lubang besar dalam sistem penegakan hukum: pelaku kehilangan kebebasannya, tetapi keluarganya masih menikmati manisnya uang haram. RUU perampasan aset hadir untuk menutup celah itu, menegaskan korupsi bukan hanya tindak pidana, melainkan pengkhianatan terhadap keadilan sosial. Tanpa pemulihan aset, hukuman terasa ompong.
Namun efektivitas undang-undang tidak pernah otomatis. Sejarah legislasi penuh contoh aturan bagus di atas kertas, tetapi keropos di lapangan. RUU ini akan efektif hanya jika dirancang dengan presisi. Perampasan aset memang bisa menjadi alat pemulihan kerugian negara, tetapi di sisi lain menyimpan risiko melanggar hak konstitusional warga bila prosedurnya kabur. Di sinilah letak ujian: bagaimana menyeimbangkan antara kebutuhan mengembalikan uang negara dengan prinsip fair trial dan asas praduga tak bersalah. Legislator dan pemerintah harus berani merumuskan mekanisme yang jelas, transparan, serta terbuka terhadap kontrol publik.
Syarat lain agar undang-undang ini tidak berakhir sebagai macan kertas adalah kapasitas aparat penegak hukum. Merampas aset hasil korupsi tidak sama dengan sekadar menyidik kasus suap. Ia memerlukan keahlian forensik keuangan, keterampilan melacak arus dana lintas negara, hingga kemampuan membaca skema pencucian uang yang kian kompleks. Tanpa sumber daya manusia yang kompeten, undang-undang secanggih apa pun akan mandek. Pertanyaan reflektifnya: sudahkah aparat kita siap, atau masih terjebak dalam pola lama yang lamban, birokratis, dan rentan kompromi?
Efek jera yang diharapkan dari RUU ini juga tidak bergantung hanya pada teks hukum. Ia akan muncul ketika publik benar-benar menyaksikan aset koruptor disita, rumah mewah disegel, rekening bank dibekukan, dan harta dikembalikan untuk kepentingan rakyat. Efek jera lahir dari konsistensi, bukan sekadar ancaman. Sebaliknya, bila hanya segelintir kasus yang disentuh, sementara tokoh berpengaruh tetap lolos dengan kekayaannya aman, maka citra hukum kembali runtuh, dan rakyat makin apatis.
Lebih jauh, ada dimensi politik yang tak bisa diabaikan. RUU perampasan aset akan menabrak kepentingan banyak elite, karena aset haram tidak hanya lahir dari birokrat kelas bawah, melainkan juga menyangkut jejaring bisnis dan politik tingkat tinggi. Resistensi wajar muncul, bahkan mungkin dibungkus dengan argumen hak asasi. Justru karena itu, keterlibatan publik sipil, media, dan akademisi harus diperkuat sebagai pengawas independen. Tanpa tekanan masyarakat, proses legislasi rawan melenceng menjadi kompromi.
Pada akhirnya, pemberantasan korupsi bukan sekadar urusan regulasi, melainkan cermin komitmen bangsa. RUU Perampasan Aset, bila benar-benar disahkan dan dijalankan dengan konsisten, bisa menjadi tonggak penting: mengembalikan uang negara, menegakkan keadilan, sekaligus menegaskan bahwa korupsi tidak lagi menguntungkan. Tetapi jika sekali lagi berhenti di retorika, publik hanya akan menyaksikan episode berulang: undang-undang hadir, korupsi tetap subur, dan rakyat tetap menanggung biaya. Inilah saatnya membuktikan hukum tidak hanya tajam ke bawah, tetapi berani menebas akar kejahatan di atas.
Farid Wajdi
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020
