Regenerasi atau Mati: Pilihan Kaderisasi Muhammadiyah
(Tulisan ke-18 dari Beberapa Tulisan Terkait Kader)
Oleh: Amrizal, S.Si., M.Pd. – Wakil Ketua MPKSDI PW. Muhammadiyah Sumut/Dosen Unimed
“Jika jantung berhenti berdetak, maka tubuh akan mati. Jika kaderisasi berhenti berjalan, maka Muhammadiyah akan kehilangan masa depan.”
Apa jadinya tubuh tanpa jantung? Ia akan kehilangan hidupnya, sekuat apa pun otot dan tulangnya. Begitu pula Muhammadiyah tanpa kaderisasi. Tidak peduli sebesar apa amal usaha, sebanyak apa jamaah, dan sehebat apa program yang dijalankan—semua akan kehilangan denyut
jika kaderisasi berhenti berdetak. Sejarah panjang Muhammadiyah lebih dari satu abad bukanlah kebetulan. Ia bertahan karena selalu ada generasi baru yang lahir, tumbuh, dan melanjutkan estafet perjuangan. Kaderisasi adalah denyut kehidupan, darah yang mengalir di nadi persyarikatan, sekaligus energi yang menghidupkan dakwah Islam berkemajuan.
Kaderisasi dalam Sejarah Muhammadiyah
KH. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah bukan untuk dirinya sendiri, tetapi untuk melahirkan murid-murid, penggerak, dan pelanjut dakwah. Pengajian kecil di rumahnya bukan hanya mengajarkan Al-Qur’an, tetapi juga menanamkan semangat perubahan. Dari situlah muncul tokoh-tokoh muda yang menjadi mata rantai awal kaderisasi Muhammadiyah. Seiring perjalanan, lahirlah jalur kaderisasi formal: Ikatan Remaja Muhammadiyah (IRM), Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM), Pemuda Muhammadiyah, Nasyiyatul Aisyiyah, Tapak Suci Putra Muhammadiyah, Hizbul Wathan hingga berbagai lembaga pendidikan. Semua menjadi kawah candradimuka yang menempa generasi penerus. Dari ranting hingga wilayah,
kaderisasi terbukti menjadi sistem regenerasi yang menjaga keutuhan gerakan.
Sejarah membuktikan: Muhammadiyah tidak pernah kekurangan pemimpin. Dari satu generasi ke generasi lain, selalu lahir kader-kader yang siap mengemban amanah. Itulah kekuatan sejati kaderisasi.
Mengapa Kaderisasi Disebut Jantung Gerakan
Mengapa kaderisasi begitu penting? Karena ia adalah jantung organisasi. Tanpa kaderisasi, Muhammadiyah hanya akan menjadi institusi yang besar di atas kertas, namun rapuh di dalam. Kaderisasi bukan sekadar agenda formal di kalender organisasi. Ia adalah proses membentuk jiwa, menanamkan ideologi, melatih kepemimpinan, dan membangun komitmen dakwah. Kaderisasi menjaga kesinambungan: dari remaja yang baru belajar mengaji, mahasiswa yang bersemangat berdiskusi, hingga aktivis muda yang berani mengambil tanggung jawab kepemimpinan.
Seperti jantung yang memompa darah ke seluruh tubuh, kaderisasi memompa energi ideologis ke seluruh struktur Muhammadiyah. Dari ranting hingga pusat, denyut itu harus terus dijaga.
Tantangan Kaderisasi di Era Kini
Namun, menjaga jantung agar tetap sehat bukanlah perkara mudah. Ada banyak tantangan kaderisasi hari ini:
1. Formalitas – Banyak kegiatan kaderisasi berhenti pada acara seremonial. Ada pelatihan, ada sertifikat, tapi tidak ada kelanjutan. Ruh kaderisasi hilang.
2. Kurangnya perhatian pimpinan – Tidak sedikit pimpinan sibuk mengurus program amal usaha, tapi lupa memastikan kaderisasi berjalan di basis.
3. Pragmatisme politik dan ekonomi – Sebagian kader tergoda pada kepentingan sesaat, hingga melupakan idealisme dan perjuangan dakwah.
4. Era digital – Anak muda lebih banyak menghabiskan waktu di media sosial. Forum-forum kaderisasi sering kalah menarik dibanding layar gawai.
Semua ini adalah ujian. Jika kita abai, jantung itu bisa melemah. Tapi jika kita tangani dengan serius, tantangan ini justru akan membuat kaderisasi semakin kreatif dan relevan dengan zaman.
Best Practice: Menyalakan Bara di Sumatera Utara
Izinkan saya berbagi pengalaman. Saat dipercaya memimpin Pemuda Muhammadiyah di Sumatera Utara, saya menaruh fokus utama pada kaderisasi. Target saya sederhana: jangan ada ranting dan cabang yang mati tanpa kader. Bersama instruktur yang militan, kami bergerak ke basis. Kami melaksanakan Baitul Arqam, dan pembinaan berjenjang. Kami tidak sekadar mengumpulkan peserta, tapi menanamkan kesadaran
ideologis: mengapa menjadi kader Muhammadiyah itu penting, dan bagaimana mereka harus bergerak setelah pelatihan.
Hasilnya? Lebih dari seribu kader baru lahir. Mereka bukan sekadar angka, tetapi manusia-manusia muda yang siap menggerakkan amal usaha, memimpin ranting dan cabang, bahkan memikul amanah di tingkat daerah dan wilayah. Itulah bukti nyata bahwa kaderisasi bisa digerakkan, asal ada komitmen dan keseriusan.
Refleksi dan Pesan Motivasi
Kaderisasi bukan milik instruktur saja, bukan hanya program Ortom, melainkan napas seluruh Muhammadiyah. Jika kita ingin Muhammadiyah terus tumbuh, maka setiap kita harus menjadi penggerak kaderisasi.
Bagi kader muda: jangan menunggu dipanggil. Jemputlah tanggung jawab. Jadilah kader yang tidak hanya hadir dalam forum, tapi juga berbuat di lapangan. Jadilah mata rantai sejarah, bukan penonton sejarah. Bagi pimpinan: jangan puas dengan banyaknya amal usaha atau ramainya jamaah. Investasi terbesar adalah kader. Seorang pemimpin yang bijak adalah yang melahirkan pemimpin baru, bukan yang takut digantikan.
Jika jantung berhenti berdetak, maka tubuh akan mati. Jika kaderisasi berhenti berjalan, maka Muhammadiyah akan kehilangan masa depan. Mari kita jaga jantung gerakan ini. Mari kita hidupkan kaderisasi dengan semangat yang menyala, dengan program yang membumi, dan dengan cinta yang tulus pada persyarikatan. Karena hanya dengan kaderisasi yang kuat, Muhammadiyah akan terus berdenyut, melangkah, dan memberi cahaya bagi umat dan bangsa. Wallahu a’lam bish shawab (***)

