Home / Opini / Realitas Post Activism Syndrome

Realitas Post Activism Syndrome

Adam Chairivo

REALITAS POST ACTIVISM SYNDROME

Oleh : Adam Chairivo

Setelah bertahun – tahun terlibat dalam aksi sosial, kampanye, dan pergerakan kemahasiswaan, ada satu fase yang sering kali luput dari pembicaraan yaitu : Post Activism Syndrome. Sebuah fase di mana seorang aktivis mulai belajar tanpa adanya “gerakan perjuangan” yang dulu menjadi bagian dari aktivitas keseharian. Kita yang terbiasa hidup dalam ruang diskusi jalanan, membawa poster perubahan, mengepalkan tangan tanda perlawanan, dan meneriakan slogan anti penindasan, suatu saat akan menghadapi keheningan yang benar – benar terasa asing. Seolah baru saja keluar dari konser yang bising tiba – tiba menjadi dunia yang sangat sunyi. Itulah Post Activism Syndrome.

Menjadi aktivis semasa kuliah seringkali terasa menyenangkan dan penuh dengan ruang untuk belajar, penuh dengan semangat, dan memberi penuh dengan rasa solidaritas perjuangan yang penuh dengan makna. Kita selalu membahas terkait kenegaraan, politik, sosial, pendidikan hingga sejarah. Namun, ketika masa kampus usai dan mandat organisasi sudah tidak lagi di tangan, banyak dari kita mulai kehilangan arah. Kekosangan itu datang perlahan yang menyebabkan idealisme terasa memudar, kepercayaan diri goyah, dan dunia nyata menampar dengan kenyataan bahwa hidup tidak bisa dijalani hanya dengan idealisme. Politik yang kita yakini bersih ternyata tidak selalu membawa masa depan yang pasti.

Pada titik itu, banyak mantan aktivis terjebak dalam dilema. Apakah harus tetap berpegang pada idealisme dan bertahan dalam kegetiran, atau menyesuaikan diri dengan sistem yang dulu kita lawan? Kita dihadapkan pada pilihan yaitu : meminum air sumur yang sudah
pernah kita ludahi, atau meninggalkan medan perjuangan dan menempuh jalan baru sebagai praktisi di dunia professional. Bagi sebagian orang, ini terasa seperti menghianati diri sendiri.

Kehampaan muncul setalah tak lagi “bergerak” seringkali lebih menyakitkan dari tekanan rezim yang dulu dilawan. Kita yang terbiasa memimpin rapat, menggagas aksi, dan menjadi pelopor perubahan tiba – tiba kehilangan panggung. Banyak yang pada akhirnya hidup
dalam ketidakpastian, mengandalkan koneksi senior, atau sekadar berharap belas kasihan pada relasi lama. Dan ironisnya, sebagian memilih kembali ke lingkaran semu menjadi bagian dari apa yang dulu mereka benci.

Post Activism Syndrome sering membawa kita pada ketidaktahuan tentang masa yang akan datang. Banyak dari kita yang berjuang di jalanan tanpa memikirkan kesesuaian dengan bidang pendidikan yang ditempuh. Akibatnya, setelah lulus, muncul rasa teringgal, gagal,
dan kehilangan arah. Nalar kritis dan jejaring luas memang berharga, tapi tanpa kecakapan nyata, kita sering kali tak punya nilai jual di dunia kerja. Jika selama ini hanya pandai beretorika tanpa keahlian yang konkret, kita akan tersesat di huatan realitas tanpa adanya Kompas.

Karena itu, penting bagi setiap aktivis untuk memiliki keahlian lain yang bisa menjadi pikiran hidup. Idealisme memanglah sesuatu yang mulia, tapi ia tak bisa menggantikan kemampuan. Dunia tidak akan memberi tempat hanya karena kita kritis. Nilai sejati lahir ketika kita mampu untuk menggabungkan kepedulian sosial dan kecakapan professional. Kita perlu sadar bahwa diskusi dan rapat tidak akan membuat perut kenyang, kecuali kita memang dilahirkan dari keberuntungan. “Kita semua”, pernah atau akan berhadapan dengan fase Post Activism Syndrome.

Kekosongan itu nyata, tapi bisa diisi dengan arah baru yang lebih produktif. Ketika masa kuliah berakhir dan dunia professional menanti, kita harus bisa menjadi mutiara di laut dalam yang bersinar karena kemampuan, bukan karena nostalgia pergerakan. Menjadi kritis dan peduli adalah hal yang luar biasa. Tapi, jika tidak dibarengi dengan keahlian nyata, idealisme hanya akan menjadi beban romantis di masa lalu. Dunia tidak butuh pahlawan yang lapar, tapi dunia membutuhkan manusia yang mampu menyalurkan idealismennya dalam bentuk karya nyata. (*)

*** Penulis, Adam Chairivo, Alumni FEB UMSU kini tinggal di Jakart

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *