Puncak Haji Armuzna (Arafah, Muzdalifah dan Mina)
Oleh : Oman Fathurahman
Dulu, pergerakan jemaah haji dari Mekah menuju wukuf di Arafah dilakukan dengan berjalan kaki. “Jarak Mekah-Arafah hanya 26 km. Dengan mobil k.l. 1 jam, berjalan kaki k.l. 6 jam. Tiap-tiap orang wajib melepaskan pakaian biasa. Raja melepaskan pakaian kerajaannya, saudagar membuka baju sutranya”, K.H. Abdussamad bercerita saat berhaji pada tahun 1948 (HCL, Naik Haji di Masa Silam II, 2019: 729).
Untuk menyesuaikan waktu tempuh, jemaah sudah meninggalkan Mekah sejak 6 Zulhijah, “Ummat manusia bergerak berhimpun ke padang Arafah. Tanggal 8 Zulhijah Mekah kosong, boleh kata hanya lalat yang ada”, lanjut Kiai asal Kalimantan Selatan itu.
Kini, tahun 2025, jelas tidak mungkin jemaah haji ke Arafah berjalan kaki, apalagi di tengah terik matahari. Negara, melalui Kementerian Agama, telah hadir memfasilitasi. Jemaah haji Indonesia akan mulai diberangkatkan ke Arafah pada tanggal 8 Zulhijah jam 7 pagi, dijemput di hotel masing-masing menggunakan coach bus berkapasitas 47 orang.
Jemaah haji masa kini diminta untuk membawa perbekalan ala kadarnya saja, tidak perlu membawa banyak-banyak bekal makanan, pakaian, apalagi karpet segala, semua akan disediakan oleh penyelenggara, yaitu syarikah yang disewa oleh Kementerian Agama.
Dulu, jemaah haji harus mengurus diri sendiri, dibantu syekh masing-masing. Selesai wukuf, K.H. Abdussamad misalnya, harus melipat kemah, menggulung tikar sendiri. “Kemah digulung dipindahkan ke Muna dan ummat Islam wajib menginap di Muzdalifah hingga lewat pukul 12 tengah malam”.
Bagaimana dengan makanan? Saat itu orang berjualan masih diperbolehkan. Di Mina, pada 1948, ada restoran Indonesia, “…sang Merah Putih berkibar di depannya. Gambar Bung Karno yang besar digantung di dinding…Sate Padang gado-gado Jakarta, Soto Banjar” (h. 731) tersedia.
Kini, segalanya sudah berubah. Jumlah jemaah pun berlipat ganda, total lebih dari 3 juta, yang harus dikedepankan adalah menjaga nyawa. Itu mengapa Petugas Haji selalu siap siaga.
Sekira 67.000 jemaah kategori lansia, risiko tinggi, penyandang disabilitas, pengguna kursi roda beserta pendampingnya, dan semua mereka yang rentan tidak akan ikut berdesak-desakan memungut batu kerikil di Muzdalifah. Mereka akan diperjalankan melewatinya (murur) dan tetap berada di dalam bus, langsung menuju tempat mabit di Mina.
Jemaah tidak perlu khawatir, para ahli agama dan ahli pikir sudah merumuskan keabsahan hukumnya menggunakan pendekatan fikih taysir (memudahkan).
Mina akan menjadi tempat kumpul semua jemaah. Kekuatan pasukan Petugas Haji dikerahkan. Arafah dan Muzdalifah dikosongkan. Mina akan penuh sesak, semua bersiap melempar jumrah, simbol mengusir syetan dan kejahatan. Bismillahi Allahu akbar!
Demi mengurangi ketidaknyamanan di Mina dan juga untuk keselamatan jiwa, atas fatwa ahli agama, sekira 37.000 jemaah haji Indonesia tahun ini diberi pilihan untuk tidak mabit di Mina, melainkan kembali ke hotel (tanazul) setelah melempar Aqobah pada 10 Zulhijah.
Begitulah, jemaah haji tinggal menuntaskan semua rukun dan wajib haji lainnya. Jika sempurna tahallul tsani, sahlah ia menyandang Haji! Hamka pernah mengungkapkan isi hatinya, sesaat setelah selesai mengikuti rangkaian haji,
“Lapanglah dada. Rasanya sudahlah segala rukun dan syarat dan kewajiban kami penuhi. Payah badan ditimpa panas, kemudiannya diurus oleh hujan es. Payah badan bersempit-sempit berdebu tiga hari di Mina. Tetapi di hati di dalam rasanya puas…” (h. 824).
Jelang puncak haji, jemaah haji dan juga para petugas perlu untuk menjaga stamina dan kesehatan mengingat haji adalah ibadah fisik (badaniyah), selain ibadah harta (maliyah) dan ibadah spiritual (ruhiyah).. Semoga para jemaah haji Indonesia merasa aman, nyaman, dan mabrur sepanjang umur.
اللهم اجعله حجا مبرورا وسعيا مشكورا وذنبا مغفورا وعملا مقبولا وتجارة لن تبور
*** Penulis, Oman Fathurahman (Ketua Mustasyar Diniy PPIH Arab Saudi 2025, Pengasuh Pesantren Al-Hamidiyah Depok, Pengampu Ngaji Manuskrip Nusantara)