Perlukah Prabowo Membalas Perang Tarif Impor Trump?
Oleh : Dr. Salman Nasution
Selamat atas pelantikan kepala negara Indonesia Prabowo Subianto dan negara Amerika Serika (AS) Donald Trump beberapa bulan yang lalu dengan menyampaikan sumpah, dan satu diantaranya adalah kesejahteraan rakyat. Penulis sangat jeli ditambah dengan rasa bangga memiliki pemimpin negara yang cinta akan rakyatnya Prabowo dan Trump, kedua tokoh pemimpin yang memiliki persamaan visi dan misi pemerintahannya, bahkan kedua hampir sama dalam memperebut kursi presiden, Trump dikalahkan dengan Joe Biden dan terpilih kembali yang sempat memimpin AS ke 45, dan Prabowo mengalami kekalahan dua kali yang sempat berpasangan (calon wakil presiden) dengan Hatta Rajasa dan Sandiaga Salahudin Uno.
Mengawali dimasa-masa kepemimpinannya, Trump langsung bersikap membatasi atau menyatakan perang dengan negara yang sangat diuntungkan oleh kerjasama bersama AS selama ini, yang dianggap oleh Trump merugikan negaranya dan Trump menyebutnya reciprocal tariffs. Dan tepat pada tanggal 3 April 2025, beberapa negara termasuk Indonesia menjadi daftar negara dengan tarif impor sebesar 32% dan beda tipis dengan China yang dianggap musuh dagang AS hanya sebesar 34% (penulis pikir antara 50%-100%). Jika mengacu pada persentase tarif impor, sepertinya tidak ada istilah kawan atau lawan, karena semuanya diluar dari estimasi, misalnya Rusia dengan ideologi negaranya Rusisme, Rashisme, dan Fasisme tidak sama sekali tidak mendapatkan sanksi tarif impor, padahal catatan historis Amerika Serikat selalu berlawanan dalam hal pengaruh dunia termasuk dengan Uni Soviet dengan komunismenya.
Hal lainnya dengan Taiwan sebagai negara sahabat di wilayah timur yang berdekatan dengan Korea Utara dan musuh ideologi Republik Rakyat Tiongkok mendapatkan kebijakan tarif AS yang sama dengan Indonesia yaitu 32%. Kebijakan ini akan berlaku pada hari Sabtu, 5 April 2025, apakah pemerintah Indonesia siap? Sampai saat ini, belum ada negara bangkrut dari kebijakan AS tapi banyak negara bangkrut karena utang, mungkin hanya pusing kepala dari beberapa pembisnis terhadap kebijakan tarif impor karena memerlukan adanya pendekatan baru kepada pemerintah Trump atau mencari dan memulai kerjasama di luar AS. Apakah AS adalah satu-satunya negara yang menguntungkan bagi pembisnis?
Jika penulis menjawabnya, tentu benar jika dilihat dari aspek mata uang, keamanan ekonomi, ekonomi kreatif dan inovatif, ilmu pengetahuan dan teknologi, dan jejaring pembisnis AS di dalam dan luar negeri yang sangat kuat. Perlu dipahami oleh masyarakat dunia termasuk Indonesia, dalam beberapa industri doktrinisasi, termasuk ekonomi, Indonesia banyak mengadopsi ilmu-ilmu ekonomi AS. Walaupun bapak ekonomi kapitalisme (ekonomi modern) diberikan gelar kepada Adam Smith yang lahir di Skotlandia, namun AS mengambil sistemnya untuk menyejahterakan negara dengan konsep The Wealth of Nation.
Konsep ini menggagalkan pandangan orang pada masa lalu yaitu emas dan logam mulia yang menjadi sumber kekayaan suatu negara. Tetapi kekayaan suatu negara ditentukan oleh jumlah seluruh nilai produksi barang dan jasa yang dapat diperjual-belikan. Artinya dengan memiliki sedikit emas tetapi sangat produktif adalah negara yang lebih kaya dalam jangka panjang daripada negara yang punya banyak emas tetapi tidak produktif. Teori ini dikenal dengan memberikan sekecil-kecil nya untuk memperoleh sebesar-besarnya. Tidak sedikit negara kolonialisme memanfaatkan atau menjalankan konsep ini dengan memperkerjakan buruh dengan upah minimum.
Banyak produktivitas rakyat AS yang berkompetisi bahkan menang dalam setiap kompetisi yang saat ini mereka-mereka berada pada puncak orang terkaya di dunia pada versi majalah Forbes dengan urutan pertama Elon Musk dengan total kekayaan $340,4 miliar dengan Tesla nya, yang juga pendukung utama Donald Trump pada kemenangan Pemilu baru-baru ini. Jika kita perhatikan perbedaan dengan Republik Rakyat Tiongkok, rakyat China menyebar dipenjuru dunia (termasuk di Indonesia dan AS), namun produk AS menyebar di penjuru dunia. Termasuk juga bantuan-bantuan AS dengan USAID nya dengan uang miliaran dolar.
Kebijakan Trump mengharuskan USAID ditutup dengan berbagai alasan, termasuk menyejahterakan rakyatnya baru orang lain. Belum ada sikap Prabowo terhadap kebijakan Trump, namun yang pasti, Prabowo sedang memikirkan produksi dalam negeri agar bisa diterima oleh rakyat AS dengan harga tinggi setelah mendapatkan ketetapan tarif impor. Sebagaimana diketahui harga jual dapat dihitung dengan menjumlahkan biaya produksi, biaya non produksi (tarif impor), dan laba yang diinginkan. Apakah rakyat AS masih berkeinginan dengan produk-produk dalam negeri Indonesia? Apakah dianggap mahal bagi warga AS yang kuat membeli produk luar negeri setelah tarif impor?
Hanya berasumsi penulis, jika kebijakan Trump untuk menyejahterakan rakyat AS dengan memperkuat pendapatan rakyat, memastikan pekerjaan warga AS, stabilisasi ekonomi AS tentunya membeli produk luar AS (produk Indonesia) tidak masalah karena AS sangat kuat karena sudah menguatkan dirinya. Kekhawatiran terhadap produk tidak laku perlu ditahan dulu, karena ada teori dan konsep pendapatan, yaitu seperti David Ricardo teori keunggulan komparatif, artinya produk dalam negeri harus lebih hebat, karena negara maju seperti AS akan membeli produk unggulan. Ada juga beberapa teori yang tidak mempermasalahkan tarif impor seperti Teori Permintaan Impor, Hukum Thirlwall (Thirlwall's Law), Teori Siklus Hidup Produk (Product Life-Cycle Theory).
Bagi Prabowo, menyikapi tarif impor bukan akhir dari kehidupan ekonomi, artinya Prabowo siap, mengingatkan kembali pesan-pesan Prabowo Subianto dalam Paradoks Indonesia memberikan semangat menjayakan kembali Indonesia yang pernah raya dengan kekuatan masing-masing daerah dalam keunggulan produksi dan ekonomi untuk keutuhan dan persatuan. Prabowo banyak menceritakan potensi negara nya ke dalam dan luar negeri. Fokus pada produksi pangan menjadi prioritas hampir semua negara termasuk AS sendiri. Disamping tingginya bencana alam dan sosial maka peran pangan sangat membantu dalam menguatkan ekonomi nasional. Menguatkan pangan akan mengurangi kebutuhan akan impor yang dianggap sebagai pelemah produk dalam negeri.
Barang impor yang menjadi makanan kebijakan pemerintah Indonesia beberapa periode yang lalu saatnya dikikis perlahan dan atau zero tolerant policy untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang riil. Jujur, sebagai negara yang masih membutuhkan negara lainnya seperti AS, Indonesia harus memiliki beberapa pendekatan untuk memaksimalkan kerjasama yang telah dibangun semenjak kemerdekaan. Tanpa AS, Indonesia belum tentu merdeka karena bom atom Hirosima dan Nagasaki melemahkan kolonialisasi Jepang di wilayah jajahannya. Dengan latar belakang pembisnis, orang dekatnya pembisnis (Elon Musk), tentunya pendekatan juga dilakukan orang terbaik Indonesia dalam berbisnis untuk menyampaikan lobi bisnis. Jangan buat Trump benci kepada Indonesia, gotong royong, saling membantu, menghormati adalah nilai-nilai leluhur nenek moyang nusantara yang harus tetap dimiliki oleh warga negara Indonesia, sehingga menarik simpatik asing kepada Indonesia.
Trump masih manusia yang ingin adanya kerjasama yang baik antar kedua belah pihak. Tidak sedikit warga negara Indonesia memiliki hubungan ekonomi dengan Trump seperti Hary Tanoesoedibjo. Saya pikir Prabowo cerdas dalam menyikapi kebijakan tarif impor Trump. Bukan sekali kalah harus mundur, namun berkali-kali untuk menang. Bagi penulis menang bagi Prabowo adalah mengembalikan Indonesia sebagaimana yang dimaksud oleh founding father yang tertera dalam UUD 1945. Adapun kerjasama luar negeri diatur dalam Pasal 11, yang menegaskan bahwa Presiden, dengan persetujuan DPR, dapat membuat perjanjian dengan negara lain, dan politik luar negeri Indonesia menganut prinsip bebas-aktif. (***)
*** Penulis, Dr. Salman Nasution, Dosen UMSU

