Perkembangan Tafsir At-Tanwir, Ditargetkan Selesai 30 Juz Tahun 2027
INFOMU.CO | Yoqyakarta – Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Ustadi Hamsah, memaparkan perkembangan penyusunan Tafsir At-Tanwir dalam acara yang diselenggarakan Masjid Islamic Center Universitas Ahmad Dahlan (UAD), Jumat (05/09).
Dalam pemaparannya, Ustadi menjelaskan bahwa Tafsir At-Tanwir merupakan amanah Muktamar Muhammadiyah sekitar tahun 2010 agar persyarikatan memiliki tafsir resmi.
Sebelumnya, tokoh-tokoh Muhammadiyah memang telah menulis tafsir, seperti Tafsir Al-Azhar karya Hamka atau Tafsir An-Nur, tetapi masih atas nama pribadi, bukan organisasi.
“Baru kemudian diinisiasi agar lahir tafsir di bawah nama Muhammadiyah, dan Majelis Tarjih diberi amanah untuk melaksanakannya,” ungkap Ustadi. Sejak itu, Divisi Kajian Al-Qur’an dan Hadis Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah menjadi koordinator penyusunan.
Menurutnya, hingga kini penyusunan sudah mencapai sekitar 70–80 persen. Sepuluh juz pertama rampung sepenuhnya, sementara juz 11–20 hampir selesai.
Adapun juz 21–30 masih dalam tahap penyusunan, namun beberapa bagian telah dipresentasikan dalam Konferensi Mufasir di Kulon Progo. Sebagian tafsir juga telah terbit secara berkala di Majalah Suara Muhammadiyah.
Ustadi menegaskan, target besarnya adalah pada tahun 2027. Tahun ini bertepatan dengan satu abad Majelis Tarjih sehingga akan dimaksimalkan agar Tafsir At-Tanwir dapat diterbitkan lengkap 30 juz sebagai persembahan Muhammadiyah untuk umat Islam.
Nama At-Tanwir sendiri dipilih karena sejalan dengan semangat Muhammadiyah sebagai gerakan pencerahan.
“Tanwir berarti memberi cahaya, penerangan, pencerahan. Harapannya tafsir ini bisa mencerahkan pemikiran umat Islam dalam merespons problem kehidupan dan perkembangan zaman,” jelas Ustadi.
Ia menyebut ada tiga spirit utama yang menjadi ruh tafsir ini.
Pertama, responsif, yaitu mampu menjawab tantangan zaman, termasuk isu-isu kontemporer seperti aqua farming, teknologi, hingga kecerdasan buatan.
Kedua, inspiratif, yakni memberi dorongan moral dan gagasan segar dalam menghadapi persoalan. Sebagai contoh, kisah sihir Nabi Musa ditafsirkan secara antropologis sebagai bentuk “melenakan”, lalu dikaitkan dengan praktik manipulasi politik masa kini.
“Ilmu itu satu, tidak ada dikotomi agama dan umum. Semua ilmu adalah milik Allah, dan semua kerja bisa bernilai ibadah,” tegas Ustadi.
Dengan demikian, Tafsir At-Tanwir bukan hanya menjadi karya tafsir Al-Qur’an yang komprehensif, tetapi juga diharapkan menjadi pedoman pencerahan dan kemajuan umat, sejalan dengan cita-cita Muhammadiyah untuk mewujudkan al-falah—kejayaan, kesejahteraan, dan kemakmuran umat manusia. (muhammadiyah.or.id)