Perkembangan Pemikiran Hukum di Muhammadiyah
Oleh: Fauzan Anwar Sandiah
Tantangan paling awal untuk menganalisa perkembangan pemikiran hukum di Muhammadiyah adalah pada makna “hukum” (law) itu sendiri. Sebagai organisasi yang memang menekankan pada pengkajian hukum Islam secara rasional dan berdampak pada transformasi sosial, maka diskursus “hukum” sudah pasti sangat lazim di Muhammadiyah.
Akan tetapi, jika pengertian “hukum” yang dimaksud mengacu pada perangkat aturan terkait tata kelola kehidupan personal dan kolektif yang diselenggarakan oleh otoritas dan kekuasaan politik untuk mensirkulasi kepentingan yang dengan atas sejumlah alasan memiliki legitimasi, maka hal ini menjadi topik khusus tersendiri bagi Muhammadiyah. Maka, perlu ada upaya untuk memulai penelusuran rintisan untuk mengetahuinya.
Dengan demikian, perkembangan diskursus “hukum Islam” bukan subjek utama yang akan diulas di sini. Melainkan diskursus “hukum” sebagai produk diskursif yang berkembang dalam peradaban tata kelola kekuasaan, yang menjadi kerangka dalam hubungan-hubungan kompleks antara aktor/aparatus, kuasa, sumber-daya, dan kapasitas-kapasitas yang diperlukan untuk melangsungkan kepengaturan (governmentality). Meski begitu, dalam konteks Muhammadiyah, pembedaan perkembangan diskursus pemikiran “hukum Islam” dan hukum negara bukanlah hal yang mudah.
Mempelajari perkembangan pemikiran hukum di Muhammadiyah adalah cara terbaik untuk melihat pola interaksi antara organisasi ini dan otoritas kekuasaan modern seperti negara. Hal ini penting untuk mengetahui kontribusi Muhammadiyah sendiri dalam memodernisasi gerakan Islam di dunia.
Sebagaimana disebut oleh Syamsul Anwar, guru besar hukum Islam UIN Sunan Kalijaga, bahwa KH. Ahmad Dahlan adalah fuqoha pertama di dunia muslim yang berhasil mengubah doktrin keagamaan menjadi sumber tata kelola organisasi modern.
Artinya, Muhammadiyah adalah contoh penting organisasi Islam di dunia muslim yang tidak saja mereformasi model pengkajian dan penerapan hukum Islam. Melainkan juga menjaga relevansi sumber-sumber hukum Islam itu dalam konstelasi hukum modern yang “sekular” sehingga dapat menciptakan apa yang disebut oleh Muhammadiyah sebagai “pranata sosial berkemajuan”.
Keberhasilan Muhammadiyah dalam mengintrodusir sumber-sumber hukum Islam dalam dunia modern di awal abad ke-20 adalah sebuah perjuangan membentuk epistemologi hukum modern bagi masyarakat nusantara. Keberhasilan itu di antaranya berlangsung melalui peran-peran pimpinan dan anggota Muhammadiyah yang dijalankan atas dasar politik kewargaan yang konstruktif.
Pemikiran Hukum, Kasus-Kasus Awal
Cara menelusuri jejak perkembangan diskursus pemikiran hukum di Muhammadiyah adalah dengan meninjau persoalan publik yang mendapat perhatian khusus pimpinan Persyarikatan. Persoalan publik itu dapat menjadi titik pertama dalam membaca perkembangan pemikiran hukum di Muhammadiyah. Contoh pertama adalah kritik Muhammadiyah terhadap kebijakan Guru Ordonansi yang dikeluarkan Pemerintah Hindia-Belanda.
Kebijakan Guru Ordonansi mewajibkan setiap guru agama memiliki izin khusus dari Pemerintah dan melaporkan materi-materi pembelajarannya. Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengamati dan mengawasi para guru agama Islam yang dicurigai mengancam keberlangsungan pemerintah Hindia-Belanda. Sampai pada Congres Muhammadiyah tahun 1930, Persyarikatan konsisten melakukan kritik konstruktif terhadap kebijakan tersebut.
Bagi pemerintah Hindia-Belanda, guru-guru agama merupakan aktor yang perlu diwaspadai. Belajar dari gerakan perlawanan kolonialisme di berbagai tempat misalnya di Sumatera Barat, peran guru-guru agama Islam ini tidak dapat dianggap sepele. Selain terdidik dan cerdas, guru-guru agama Islam juga dikenal dapat mengkonsolidasikan gerakan anti-kolonialisme di Indonesia era kolonial Belanda.
Selain kebijakan Guru Ordonansi, ada pula kebijakan slachtbelasting terkait pajak pemotongan hewan kurban. Peraturan ini menurut Muhammadiyah merupakan kelanjutan dari pola kontrol tata peribadatan masyarakat muslim. Maka, pada Congres Muhammadiyah ke-42 tanggal 15-22 Juli 1935 di Banjarmasin disebutkan bahwa Persyarikatan meminta pemerintah untuk menghapus kebijakan slachtbelasting tersebut.
Mengembangkan Dakwah Advokatif
Sebagaimana dapat dicermati melalui contoh persoalan publik pada masa Pemerintah Hindia-Belanda seperti Guru Ordonansi dan slachtbelasting, karakter advokatif memang merupakan upaya perluasan definisi gerakan dakwah di Muhammadiyah dalam mengimplementasikan amar ma’ruf nahi munkar.
Meski bukan satu-satunya, karena ada Sarekat Islam (SI) dan Boedi Oetomo yang juga mempraktikkan pembelaan terhadap hak-hak dan kesetaraan manusia, patut dicatat bahwa Muhammadiyah adalah yang dapat mengelola karakter advokatif secara berkelanjutan dan berkesinambungan.
Muhammadiyah adalah satu-satunya gerakan Islam yang aktif mempromosikan dakwah advokatif yang dapat bertahan hingga berusia 111 tahun. Hal ini tentu menjadi pertanyaan penting mengingat banyak gerakan Islam berkarakter advokatif lainnya yang berkembang sejak periode kolonial Belanda tak bisa bertahan lama.
Setelah kekuasaan kolonial Belanda runtuh, Muhammadiyah konsisten menjaga kontribusinya melalui dakwah advokatif yang efektif, efisien, dan berdampak.
Politik Kewargaan dan Rule of Law ala Muhammadiyah
Muhammadiyah sejak awal didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan dengan
sokongan para santrinya telah menjadi contoh politik kewargaan muslim. Tidak banyak yang menyadari bahwa pendirian Muhammadiyah juga adalah sebuah wujud politik kewargaan yang pada masanya belum lazim dikenal. Partisipasi Muhammadiyah dalam membuka akses terhadap pendidikan, kesehatan, dan layanan sosial, yang diimbangi dengan dakwah advokatif pembelaan mustadh’afin adalah wujud telak sebuah politik kewargaan paling penting di dunia muslim dan masyarakat beragama secara global.
Politik kewargaan adalah akar dan titik genealogis yang melatari kontribusi pengembangan diskursus rule of law di Muhammadiyah dalam berbagai setting kepemerintahan yang berlangsung. Mulai dari masa Kolonial Belanda, Jepang, Era Soekarno (1945-1965), Soeharto (1965-1998), Reformasi (mulai 1998), dan sampai saat ini.
Sejarah kontribusi Muhammadiyah dalam perwujudan rule of law di antaranya dapat dicermati pada Muktamar ke-33 pada tanggal 24-29 Juli 1956 di Palembang, yakni berupa keputusan untuk: “mendesak kepada Pemerintah agar dengan tindakan yang nyata serta dalam waktu yang selekas mungkin membersihkan orang- orang yang melanggar hukum, baik yang bersifat sipil maupun kriminil, baik dari warga negara umumnya dan terutama dari orang-orang yang bekerja dalam kalangan pemerintah.”
Tampak dengan jelas bahwa konsepsi kesetaraan posisi di hadapan hukum sudah merupakan wawasan yang mewarnai rumusan-rumusan pembelaan kepentingan publik oleh Muhammadiyah.
Kemudian, pada Muktamar ke-35 tanggal 21-25 November tahun 1962 di Jakarta memutuskan “Mengharapkan atas kebijaksanaan Lembaga Hukum Nasional untuk memasukkan Hukum Islam ke dalam Hukum Nasional.” Keputusan Muktamar ini merupakan salah satu contoh bentuk introduksi hukum Islam ke dalam hukum negara.
Upaya introduksi hukum Islam ke dalam hukum negara berlangsung dua arah, dialogis, dan konstruktif. Rumusan Kepribadian Muhammadiyah terkait Sifat Muhammadiyah Nomor 5 yang dihasilkan dalam Sidang Tanwir tanggal 25-28 Desember 1962, menyatakan: “Mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan-peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah.”
Hal ini menunjukkan bahwa meski Muhammadiyah kerap melontarkan kritik terhadap sejumlah kebijakan pemerintah yang dinilai bertentangan dengan kepentingan publik dan prinsip keadilan, tapi tetap diiringi oleh semangat kewargaan yang konstruktif dari Muhammadiyah. Ini adalah suatu perwujudan politik tingkat tinggi (high order politics) yang dicapai Muhammadiyah.
Hukum dan Kewargaan Muslim
Sebagaimana telah disampaikan sebelumnya, satu hal paling penting yang tidak dapat diabaikan dalam menelusuri perkembangan diskursus hukum di Muhammadiyah adalah semangat kewargaan muslim. Muhammadiyah sangat konsisten dalam mempraktikkan politik kewargaan yang kerap dibaca sebagai perilaku akomodatif, negosiatif, dan adaptif Muhammadiyah terhadap rezim politik yang berkuasa tanpa harus kehilangan fungsinya dalam mewujudkan rule of law.
Maka, Muhammadiyah tidak pernah pesimis dengan cita-cita luhur hukum. Bahkan bagi Muhammadiyah, hukum merupakan instrumen penting dalam memastikan kehadiran keadilan bagi semua orang. Hukum juga merupakan cara untuk menjaga kepentingan spesifik masyarakat muslim dalam mengelola kehidupan beragamanya.
Salah satu contoh misalnya terkait instruksi kewajiban zakat yang muncul pada Muktamar ke-38 tahun 1971. Untuk menguatkan Program Khusus Peningkatan Amalan Zakat, Muhammadiyah menegaskan bahwa sumber-sumber hukum kewajiban zakat bagi kaum muslimin tidak saja al-Qur’an, Sunnah Rasulullah, Ijma’, dan Qiyas. Namun juga adalah UUD 1945 pasal 29 terkait negara menjamin kebebasan warga negara untuk menjalankan ibadah menurut agamanya masing- masing.
Contoh lain adalah dorongan Muhammadiyah supaya pemerintah mengesahkan Kompilasi Hukum Islam sehubungan dengan telah diundangkannya UU Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama. hal ini disampaikan pada Muktamar ke-42 tahun 1990.
Dengan demikian, bagi Muhammadiyah, hukum adalah perangkat penting dalam mendorong tata kelola kehidupan beragama yang berkemajuan dan berkeadaban.
Muhammadiyah mengandalkan hukum untuk menciptakan pranata sosial berkemajuan. Sehingga, tidak mengherankan bahwa kosakata “hukum”, “perundang-undangan”, dan “peraturan yang berlaku” dapat ditemukan dalam berbagai rumusan program-program Muhammadiyah. Sangat tampak misalnya pada pengembangan Program Muhammadiyah tahun 1974-1977 yang dibahas dalam Muktamar ke-39 tahun 1975.
Penegakan Rule of Law
Selain kosakata “hukum”, “perundang-undangan”, dan “peraturan yang berlaku” yang menjadi aspek normatif landasan program, perkembangan pemikiran hukum di Muhammadiyah juga dapat dilacak pada keseriusan Muhammadiyah menyuarakan penegakan prinsip rule of law. Terutama dalam mendorong negara untuk berlaku adil terhadap warga negara.
Hal ini misalnya berlangsung pada pembahasan dalam Muktamar ke-40 tahun 1978. Ada dua rumusan yang merupakan wujud penegakan rule of law, yakni: (1) “meningkatkan usaha guna pembebasan/ penyelesaian menurut hukum bagi tokoh- tokoh Islam, pemuda dan mahasiswa yang masih ditahan, serta menyantuni keluarga mereka” dan (2) “Muktamar hendaknya mengirimkan kawat kepada Kaskopkamtib dan Jaksa Agung R.I. yang berisi: ‘Muktamar Muhammadiyah ke-40 di Surabaya mengharapkan kebijaksanaan agar para tahanan sehubungan Sidang Umum MPR yang lalu memperoleh penyelesaian dalam waktu singkat dan menurut hukum yang berlaku.”
Begitu pula pada Muktamar ke-42 tahun 1990 ketika Muhammadiyah mendorong negara memberikan perlindungan hukum terhadap kelompok pengusaha menengah, kecil, dan koperasi. Kemudian berlanjut pada Muktamar ke- 43 tahun 1995 berupa desakan untuk mendirikan Lembaga Keadilan Hukum Muhammadiyah.
Peran Muhammadiyah dalam menegakkan rule of law secara resmi sangat jelas tertera pada keputusan Muktamar ke-43 tahun 1995 terkait problem nasional yang dihadapi Indonesia, yakni sebagai berikut:
- (1) “Demokratisasimeerupakanproseskuncibagiusahapenegakannegara hukum yang berkedaulatan rakyat yang dalam aktualisasinya selain menuntut kesamaan persepsi dalam tataran kehidupan kebangsaan juga melahirkan berbagai ragam kepentingan antar kelompok dan kekuatan bangsa. Tuntutan akan demokratisasi bersamaan dengan tuntutan- tuntutan lainnya yang dipandang fundamental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yakni hak-hak asasi manusia, kepastian hukum, keadilan sosial, kehidupan beragama dan lain sebagainya.”
- (2) “Masalahdomestiklainyangpadamasaakandatangdidugamasih merupakan agenda nasional adalah masalah rule of law yang berkaitan dengan kehidupan politik dan ekonomi. Kepastian hukum diharapkan dapat semakin diciptakan dalam menegakkan kedaulatan rakyat. Selain itu, rule of law juga diharapkan semakin dikembangkan untuk menciptakan pemerataan ekonomi, memecahkan masalah kesenjangan sosial ekonomi, dan perlindungan hak-hak rakyat dan pencari keadilan. sesuai dengan asas negara hukum diharapkan bahwa jaminan kepastian hukum dalam segala aspek kehidupan dapat tercipta dengan baik.”
Catatan Penutup
Perjalanan Muhammadiyah dalam mengembangkan diskursus pemikiran hukum di Indonesia sejak era Kolonial menunjukkan tiga hal penting berikut. Pertama, politik kewargaan merupakan titik pijak yang melahirkan diskursus pemikiran hukum di Muhammadiyah.
Kedua, Muhammadiyah merupakan organisasi Islam yang melihat hukum sebagai perangkat penting untuk menciptakan “pranata sosial berkemajuan”. Ketiga, selalu ada dorongan natural di kalangan pimpinan dan anggota Muhammadiyah untuk memperjuangkan rule of law dengan corak, model, dan pendekatan yang disesuaikan perkembangan zaman. (muhammadiyah.or.id)