Peran Muhammadiyah untuk Kemerdekaan Indonesia
Hubungan Muhammadiyah dengan kemerdekaan Republik Indonesia jelang tahun 40an menunjukkan bahwa organisasi ini memiliki dinamika yang tinggi dalam sebuah gerakan Islam.
Hal tersebut menunjukkan besarnya Peran Muhammadiyah untuk Kemerdekaan Indonesia seperti yang diungkapkan oleh Hajriyanto Y Thohari dalam kajian rutin PP Muhammadiyah, Jumat (14/8/2020).
“Perkembangan nasional sangat cepat terutama setelah Muhammadiyah masuk dan diterima di Sumbar, dari Minangkabau, Muhammadiyah berkembang pesat melesat di seluruh persada tanah air,”ujar dia
Muhammadiyah menjadi sangat diperhitungkan di tahun 40-an ketika Jepang berhasil kalahkan sekutu dalam front dan medan peperangan menguasai kawasan nusantara.
Ada organisasi yang nyaring di atas tapi tidak nyaring di bawah, Muhammadiyah menjadi gerakan yang nyaring dari atas hingga ke akar. Jepang kemudian segera mengetahui hal itu.
Sehingga terbentuklah empat serangkai sebagai jembatan penghubung antara penguasa Jepang yang di nusantara dengan rakyat Indonesia. Diwakili oleh KH Mas Mansyur telah nampak betapa Muhammadiyah salah satu representasi kekuatan real bangsa Indonesia. Karena elemen Islam terwakili oleh beliau.
Setelah KH Mas Mansyur terpilih kepemimpinan Muhammadiyah beralih kepada Ki Bagus Hadikusumo. Kemudian Ki Bagus bersama Soekarno diminta datang ke Jepang untuk membicarakan kemerdekaan Indonesia.
Ki Bagus kemudian mengusulkan satu orang lagi yakni M. Hatta. Ini diceritakan Hatta dalam Memoirnya. Kemudian peranan tokoh Muhammadiyah juga ada dalam PPUPKI dan BPUPKI, termasuk Ki Bagus di dalamnya dan tokoh Aisyiyah pun masuk di dalamnya.
“Tidak berlebihan jika saya menyebutnya sejarah Pancasila adalah sejarah Muhammadiyah,”ujar dia.
Peran Muhammadiyah untuk Kemerdekaan Indonesia
Tokoh -tokoh Muhammadiyah lain yang juga berpengaruh dalam kemerdekaan diantaranya Ir Djuanda, Radjiman Wedyodiningrat, Teuku Muhammad Hasan yang berkiprah di Aceh dalam memajukan pendidikan, dan Menag pertama Prof Rosyidi, putra Kotagede lulusan Prancis.
Selain itu Abdul kahar Muzakir, Agus Salim, Abi koesno, Wahid Hasyim para utusan golongan Islam merumuskan dasar negara dengan ide terkenalnya yaitu piagam Jakarta. Maka pada tanggal 22 Juni 1945 rumusan itu terbentuk dengan kalimat “Ketuhanan dengan menjalankan syariat Islam bagi para pemeluk-pemeluknya.”
Akan tetapi konsep piagam Jakarta tidak berlangsung lama karena ada pertentangan dari Indonesia Timur dan kalangan nasionalis. Bila tetap piagam Jakarta di berlakukan akan memisahkan diri dari Indonesia. Untuk itu inisiatif Moh Hatta mengajak tokoh Islam seperti Ki Bagus Hadikusumo (tokoh Muhammadiyah), Wahid Hasyim (Tokoh NU) untuk merelakan menghilangkan Syariat Islam di ganti dengan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Ki Bagus Hadikusumo dibujuk oleh Teman kolega di Muhammadiyah yang bernama Kasman Singodimejo akhirnya mau dan legowo untuk menghilangkan kalimat Syariat Islam bagi pemeluknya demi kepentingan lebih luas yaitu akan kebhinekaan, keberagaman demi Kesatuan Negara Republik Indonesia.
Berarti bahwa umat Islam dan khususnya Muhammadiyah sangat demokratis dalam membangun peradaban bangsa Indonesia pada proses perumusan dasar negara.

