Penghambaan yang menjadi bias
Oleh : Jufri
Bias paling berbahaya dalam kehidupan beragama dan berbangsa bukanlah kebencian, melainkan cinta yang kehilangan kendali. Ia tidak datang sebagai penolakan, tetapi sebagai pemujaan. Tidak berisik, namun bekerja pelan-pelan menggeser arah penghambaan.
Cinta memang energi. Ia menggerakkan pengorbanan dan melahirkan loyalitas. Tapi justru karena itulah cinta harus diawasi. Tanpa nilai, cinta mudah berubah menjadi penghambaan, bukan kepada Tuhan, melainkan kepada figur, simbol, atau perasaan itu sendiri.
Al-Qur’an mengingatkan: “Di antara manusia ada yang mencintai tandingan selain Allah sebagaimana mereka mencintai Allah” (QS. Al-Baqarah: 165). Ini bukan semata soal akidah formal, melainkan soal orientasi batin. Tentang bagaimana sesuatu yang seharusnya menjadi jalan, berhenti sebagai tujuan.
Bias penghambaan tidak lahir dari niat buruk. Ia tumbuh dari pembiaran: kekaguman yang tak pernah diuji, kesetiaan yang menolak koreksi, dan emosi yang diberi panggung sementara akal disuruh diam. Perlahan, nalar menyingkir, nurani melemah.
Dalam ruang sosial-keagamaan, bias ini sering tampil rapi. Tokoh diagungkan tanpa jarak kritis. Lembaga dibela meski kehilangan kepekaan moral. Simbol dirawat, sementara tanggung jawab diabaikan. Agama berubah menjadi identitas, bukan beban etis.
Emosi kerap disalahpahami sebagai kedalaman iman. Ratapan dianggap ketulusan. Padahal emosi hanyalah reaksi, bukan kompas. Ia bisa menghangatkan, tapi juga membakar. Ketika emosi memimpin tanpa prinsip, realitas ditinggalkan, imaji dirayakan.
Pepatah Arab menyebut: ada cinta yang bisa membunuh. Yang mati bukan tubuh, melainkan kejernihan. Bukan karena cinta itu jahat, tetapi karena ia dilepaskan dari nilai. Pada titik ini, manusia tidak lagi memilih, ia hanya mengikuti dorongan.
Para ulama klasik justru menempatkan cinta dalam disiplin akal. Imam Malik mengingatkan: setiap pendapat bisa diterima dan ditolak, kecuali Rasulullah. Pesan itu sederhana, tetapi tegas, cinta yang sehat selalu memberi ruang kritik.
Bias penghambaan selalu meninggalkan pola yang sama: ketergantungan, luka, dan hilangnya kejujuran. Ia mungkin bermula kecil, sekadar slogan atau simbol. Namun jika dibiarkan, ia menguasai ruang batin, membungkam nurani, dan melumpuhkan keberanian untuk berkata tidak. Dalam konteks kebangsaan, bias semacam ini membuat warga kehilangan daya kritis dan pemimpin kehilangan pengingat moral.
Islam tidak memerintahkan manusia mematikan cinta. Yang diperintahkan adalah menata arahnya. “Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah” (QS. Al-An’am: 162). Ayat ini bukan sekadar rumusan iman personal, melainkan fondasi etika publik: agar kekuasaan tidak dipuja, tokoh tidak disakralkan, dan institusi tidak kebal dari koreksi.
Sebab penghambaan yang benar membebaskan manusia. Dan bangsa yang sehat hanya bisa berdiri di atas cinta yang tunduk pada nilai, bukan pada ilusi, figur, atau emosi sesaat. (***)

