Sambas, InfoMu.co – Secara geografis, Sambas merupakan kabupaten yang terletak paling ujung barat laut di Provinsi Kalimantan Barat. Daerah ini berbatasan langsung dengan Negeri Jiran dan Laut Natuna di sebelah utara. Posisi ini menjadikan Sambas sebagai salah satu daerah paling ujung di bagian utara Indonesia.
Meski demikian, sejak tahun 1965 Muhammadiyah telah hadir di Sambas. Terbukti dengan dibangunnya Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah Semantir yang terletak di Desa Mekar Sekuntum Kecamatan Teluk Keramat. Banyak pihak menilai, MI Muhammadiyah Semantir termasuk sekolah tingkat dasar tertua di Kabupaten Sambas.
Setelah itu, banyak amal usaha Muhammadiyah yang dibangun. Salah duanya SMK Labschool UAD dan SMP Muhammadiyah Boarding School Sambas. Alumni Pendidikan Ulama Tarjih Muhammadiyah Doni Romdoni sejak tahun 2020 dikirim ke Sambas tepatnya di lingkungan dua sekolah Muhammadiyah tersebut guna menjadi tenaga pengajar sekaligus mengembangkan dakwah Islam Berkemajuan di bumi Kalimantan Barat.
Meski baru menginjak satu tahun di sana Doni, mengaku suasana keberagamaan di Sambas termasuk kondusif. Banyak terjadi kontak pertemuan etnis, budaya, dan agama, namun masyarakat Sambas secara umum tetap hidup rukun. Perbedaan tidak membuat mereka saling berselisih. Banyak kisah-kisah keberagaman yang terjadi di Sambas terekam dalam memori kolektif masyarakatnya yang bertujuan untuk menyatukan individu-individu yang ada.
“Suasana kebergamaan di Kabupaten Sambas termasuk kondusif, tidak jauh berbeda dengan mayoritas kota atau kabupaten lain di daerah Kalbar secara Umum. Dengan tingkat heterogenitas yang tinggi, masyarakat Sambas terbiasa dengan perbedaan,” ujar Doni.
Doni juga menyampaikan pengalaman menariknya di Sambas. Tantangan dakwah di Pulau Kalimantan ini tidak mudah. Sebagian besar masyarakat Sambas telah beragam Islam. Jadi, tantangannya bukan berasal dari penduduk setempat, melainkan akses transportasi yang terbilang sulit. Belum adanya jembatan yang memadai untuk menghubungkan daerah-daerah kecil di Sambas, Doni harus menaiki perahu hingga berjam-jam untuk sampai di lokasi pengajian.
“Naik perahu sebagai contohnya, karena sebagian akses jembatan atau jalan ke pulau sebrang dan daerah terpencil belum terbangun, maka menggunakan perahu merupakan hal yang biasa bagi masyarakat Sambas. Dari mulai speed boot sampai oto tambang (sebutan masyarakat sambas untuk perahu) hilir mudik menghiasi dermaga-dermaga kecil sungai Sambas,” ujar Doni.
Selain naik perahu, akses jalan di Sambas juga masih tergolong sulit dilalui kendaraan bermotor. Sebagian jalan raya masih berupa tanah yang mengeras atau batu-batu kerikil. Belum lagi jarak yang begitu jauh dan waktu yang ditempuh bisa sampai semalaman untuk bisa sampai di lokasi pengajian. Tidak jarang Doni menyempatkan menginap terlebih dahulu di rumah warga untuk sekadar istirahat sebelum melanjutkan perjalanan menuju ladang dakwahnya.
Kesulitan lainnya di sebagian wilayah Sambas adalah sinyal. Apalagi di masa pandemi, sinyal online begitu diperlukan sebagai proses belajar-mengajar. Beberapa daerah bahkan bukan hanya sinyal internet, tapi juga belum tersentuh listrik. Walaupun sebagian besar lokasi di Sambas telah tersentuh listrik, terkadang hanya hidup pada jam-jam tertentu.
Meski banyak keterbatasan yang mungkin datang dari bias diri pribadi, Doni berharap pengabdiannya di Sambas menjadi catatan amal kebaikan baik untuk pribadi maupun persyarikatan. Untuk itu, dirinya berpesan agar persyarikatan dapat mengirim lebih banyak Anak Panah Muhammadiyah lintas bidang ke daerah-daerah yang belum tersentuh. Keberadaan Anak Panah Muhammadiyah diperlukan selain melebarkan sayap dakwah Islam Berkemajuan, juga membantu penyediaan akses pendidikan dan kesehatan.
“Karena tugas diperbatasan ini banyak, perlu koordinasi yang berkesinambungan dari berbagai majelis dan stakeholder di PP Muhammadiyah,” pungkas alumni SMA Trensains Muhammadiyah Sragen ini. (muhammadiyah.id)

