Naskah “Mas’alah al-Qiblah fī al-Batāwy” Karya Syaikh Muhammad Arsyad Banjar (w. 1227 H/1812 M)
Oleh: Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar – Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Naskah “Mas’alah al-Qiblah fi al-Batawy” ditulis dalam bahasa Arab, terdiri dari 63 halaman. Naskah ini selesai ditulis pada hari Kamis, 23 Syakban tahun 1186 H. Naskah ini merupakan koleksi Ms. Or. 7091, Leiden University Libraries, Universiteit Leiden. Latarbelakang ditulisnya naskah ini adalah tatkala muncul banyak pertanyaan terkait arah kiblat di tengah masyarakat, diantaranya datang dari Syaikh Abdullah bin Abdul Qahar asy-Syafi’i, yang mana sang syaikh ini meminta kepada Syaikh Muhammad Arsyad Banjar untuk menjawab berbagai gejolak dan persoalan arah kiblat waktu itu. Maka hal ini mendorong Syaikh Muhammad Arsyad Banjar menulis kitab ini.

Lembar judul naskah “Mas’alah al-Qiblah fi al-Batawy”
karya Syaikh Muhammad Arsyad Banjar (w. 1227 H/1812 M)

Lembar akhir (kolofon) naskah “Mas’alah al-Qiblah fi al-Batawy”
karya Syaikh Muhammad Arsyad Banjar (w. 1227 H/1812 M)
Adapun redaksi awal naskah “Mas’alah al-Qiblah fi al-Batawy” adalah sebagai berikut,
الحمد لله الذي جعل الكعبة المشرفة قبلة المسلمين وأوجب عليهم استقبال عينها في صلاتهم يقينا مع
القرب وطنا مع البعد باتفاق المتأخرين ورفع الحرج عن الأمة باكتفاء الظن عند البعد لتعذر العلم
واليقين وذلك الطن هو ما إفادة الإجتهاد المستند بالأدلة الدالة على العين . والصلاة والسلام على من
فضل على جميع الأنام وأنزل عليه في المدينة فول وجهك سطر المسجد الحرام فأوجب الله تعالى عليه
وعلى أمته التحول من استقبال بيت المقدس إلى استقبال عين الكعبة البيت الحرام فهو خطاب خاص
بالمصطفى صلى الله عليه وسلم لكن حكمه عام كما وردت بذلك الأخبار وصرح به أهل التفسير الكرام
“Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan Kakbah mulia sebagai kiblat umat Islam, dan mewajibkan mereka untuk menghadapnya tatkala salat secara yakin, baik dalam posisi dekat maupun jauh dengan kesepakatan muta’akhirin, serta mengangkat kesulitan dari tengah umat dengan serta merta zan tatkala jauh, karena uzur ilmu dan yakin. Zhan itu adalah yang meniscayakan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang menunjukkan arah fisik Kakbah.
Selawat dan salam kepada orang yang memiliki kemuliaan atas semua makhluk, yang telah diturunkan kepadanya di kota Madinah ayat “maka palingkanlah wajahmu kearah Masjidil Haram”, maka Allah mewajibkan kepadanya dan umatnya untuk beralih dari menghadap baitul maqdis kepada menghadap Kakbah rumah mulia. Ini adalah titah khusus kepada Nabi Muhammad Saw, namun hikmahnya bersifat umum, sebagaimana telah ada riwayat tentangnya, demikian lagi telah dijelaskan oleh para ahli tafsir”.
Sedangkan redaksi akhir naskah “Mas’alah al-Qiblah fi al-Batawy”sebagai berikut,
غفر الله لنا ولكم وللمسلمين والحاج وموسى المطارمي والحاج عبد المجيد ومن عند هما يسلمون
عليكم وعلى من عندكم وسلموا لنا على من عندكم من الطلبة وجميع من عندنا يخصونكم بجزيل السلام
“Semoga Allah mengampuni kami, kamu, semua umat Islam, Haji Musa al-Matharamy, Haji Abdul Majid, dan siapa yang bersama keduanya, dan seluruhnya dari kalangan pelajar, serta seluruhnya, dikhususkan kepada mereka kiranya balasan keselamatan”.
Seperti dijelaskan Syaikh Muhammad Arsyad Banjar di bagian mukadimah, naskah ini lebih merupakan jawaban atas sejumlah pertanyaan terkait kiblat sebagaimana berkembang di tengah masyarakat. Di bagian awal diantaranya dijelaskan tentang masjid-masjid yang dibangun dengan pondasi takwa, dimana ada pendapat yang menyatakan bahwa yang dimaksud adalah Masjid Quba dan dan Masjid Nabawi, keduanya di kota Madinah.
Diantara tokoh yang berpendapat demikian adalah Kadi Al-Baidhawi dalam tafsirnya.
Pandangan ini muncul setelah dijelaskan makna firman Allah “lamasjidun ussisa ‘ala at-taqwa” (sesungguhnya masjid itu dibangun atas pndasi takwa.
Dalam naskah ini juga Syaikh Muhammad Arsyad Banjar menyoroti secara khusus masjid-masjid di Betawi yang tidak persis menghadap kiblat serta fenomena yang berkembang ketika itu. Dalam konteks ini Syaikh Muhammad Arsyad Banjar menyatakan bahwa kebanyakan masjid di Betawi tidak mengarah kearah yang seharusnya.
Berikut pernyataan Syaikh Muhammad Arsyad Banjar,
وغالب محاريب البطاوي لا ينحرف عن الخط بل يكون على الخط ومقدار العرضين متساو ومن غير
تفاوت في درجة وإن حصل التفاوت في الدقائق فالمخالفة بين محققة
“Kebanyakan mihrab di Betawi tidak bergeser dari garis (timur-barat), namun searah garis lurus dua kali memanjang tanpa ada jarak sederajatpun, dan jika selisih didapat dalam orde detik maka ia berbeda diantara yang telah terakurasi”.
Di bagian lain, Syaikh Muhammad Arsyad Banjar menegaskan bahwa bahwa mihrab-mihrab yang dibangun para wali tidak menghalangi untuk diijtihadi. Pembahasan ini cukup dinamis dan panjang. Pembahasan dan perdebatan masalah ini antara lain terjadi antara Syaikh Muhammad Arsyad Banjar dengan seorang ulama sufi terkenal yaitu Syaikh Abdullah bin Abdul Qahhar al-Bantani (w. 1183 H/1769 M). Hanya saja sejauh ini informasi mengenai sosok Syaikh Abdullah bin Abdul Qahhar Banten ini terhitung amat minim, namun yang jelas Syaikh Abdullah bin Abdul Qahhar Banten adalah seorang ulama besar Banten yang masih merupakan keluarga kerabat kerajaan, sekaligus keluarga kerabat bangsawan Sunda-Cianjur.
Karena sosok dan kepopulerannya itu pula tampak ia tidak canggung untuk berdialektika masalah arah kiblat dengan Syaikh Muhammad Arsyad Banjar, yang mana debat dan dinamika keduanya menjadi kearifan akademik bagi generasi yang datang sesudahnya (lihat: Ahmad Ginanjar Sya’ban, , https://pesantren.id/manuskrip-kitab-fath-al-muluk-karya-syaikh- abdullah-b-abdul-qahhar-banten-bertahun-1183-h-1769-m-6255/ (akses: 20 September 2022 jam 16:02 WIB)
Dalam naskah “Maslah al-Qiblah fi al-Batawy” ini juga diuraikan aspek sosial fenomena arah kiblat di tengah masyarakat diantaranya posisi wali (auliya). Dalam segenap uraiannya juga Syaikh Muhammad Arsyad Banjar banyak menukil pandangan para ulama dalam karya-karya mereka, baik terkait arah kiblat maupun terkait fenomena yang terkait dan terjadi di tengah masyarakat. Hal ini menunjukkan wawasan luas seorang Syaikh Muhammad Arsyad Banjar.
Selain itu juga terdapat pembahasan tentang masjid yang dilakukan shalat atasnya oleh sahabat sekalipun dapat diijtihadi jika terbukti kemudian arah kiblatnya keliru. Hal ini berangkat dari pemahaman karena ia bukan mihrabnya Nabi Saw. Dengan demikian, maka masjid-masjid yang dibangun oleh bukan selain sahabat, diantaranya masjid di Betawi, tentu lebih boleh lagi untuk diijtihadi. Dari uraian ini tampak bahwa persoalan arah kiblat merupakan persoalan yang dinamis dan terus berkembang di tengah masyarakat. Syaikh Muhammad Arsyad Banjar sebagai salah satu tokoh fikih dan falak di Nusantara telah memainkan peran pentingnya di bidang ini yaitu dengan menulis sebuah risalah tentang arah kiblat berjudul “Mas’alah al-Qiblah fi al-Batawy”.
Wallahu a’lam[]

