Jakarta, InfoMu.co – Sejak era 1980-an, ketika modernisasi merambah berbagai aspek kehidupan di bawah rezim Orde Baru, masyarakat Indonesia mulai merasakan kebutuhan yang mendesak akan spiritualitas. Kalangan menengah ke atas, khususnya, mencari kedalaman spiritual di tengah kehidupan yang semakin materialistis.
Di tengah gelombang perubahan ini, Djarnawi Hadikusomo mengungkapkan kekhawatirannya mengenai spiritualitas dalam tubuh Muhammadiyah. Dalam Suara Muhammadiyah edisi Maret 1980, ia menggarisbawahi fenomena menipisnya jiwa keagamaan dalam amal usaha Muhammadiyah, hilangnya kesadaran spiritual, dan godaan duniawi yang semakin menguat.
Menanggapi tantangan ini, Wakil Ketua Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah, Sopa, mengatakan bahwa Muhammadiyah lantas mengadakan Musyawarah Nasional Tarjih ke-25 di Jakarta pada tahun 2000. Musyawarah ini menghasilkan penyempurnaan dalam rumusan berijtihad, dengan mengadopsi pendekatan bayani, burhani, dan irfani.
“Ketiga pendekatan ini dirancang untuk melengkapi dan memperkuat satu sama lain, memberikan landasan kokoh bagi Muhammadiyah dalam menghadapi persoalan-persoalan kontemporer,” ucap Sopa dalam Pengajian Tarjih pada Rabu (24/07).
Sopa menerangkan bahwa pendekatan Bayani menitikberatkan pada nash-nash syariah, baik dari al-Qur’an maupun al-Sunnah, dalam merespons permasalahan. Pendekatan ini lazim digunakan dalam masalah ibadah mahdhah, di mana asas hukum syariah menegaskan bahwa ibadah harus dilakukan sesuai dengan apa yang telah disyariatkan. Dalam konteks ini, teks menjadi panduan utama dalam mencari solusi.
Pendekatan Burhani, di sisi lain, kata Sopa, mengedepankan penggunaan ilmu pengetahuan umum yang berkembang untuk menjawab berbagai permasalahan. Misalnya, dalam menentukan awal bulan Qomariyah untuk puasa, hari raya, atau ibadah haji, serta waktu-waktu salat. Pemahaman akan perkembangan konteks ini diintegrasikan dengan maqashid al-syariah, memastikan bahwa keputusan yang diambil sejalan dengan tujuan syariah itu sendiri.
Sedangkan pendekatan Irfani menurut Sopa lebih menekankan pentingnya kepekaan nurani dan ketajaman intuisi batin. Melalui pembersihan jiwa, diharapkan bahwa keputusan tidak hanya berdasarkan kecerdasan intelektual semata, tetapi juga dipandu oleh kepekaan spiritual dan petunjuk Tuhan Yang Maha Tinggi, hasil dari kedekatan dengan-Nya.
Menurut Sopa, Muhammadiyah tidak menggunakan ketiga pendekatan ini secara terpisah atau bergantian. Sebaliknya, pendekatan-pendekatan ini digunakan secara sirkular dan saling melengkapi. Dalam situasi di mana satu atau dua pendekatan sudah cukup, maka yang lain bisa tidak digunakan. Namun, apabila diperlukan, ketiganya dapat digunakan bersamaan untuk mencapai keputusan yang paling bijaksana.
Mengintegrasikan ketiga pendekatan ini berarti Muhammadiyah berusaha menjaga keseimbangan antara teks, konteks, dan spiritualitas. Hal ini memungkinkan Muhammadiyah untuk tetap relevan dan responsif terhadap tantangan zaman, tanpa kehilangan jati diri sebagai gerakan Islam yang berkomitmen pada nilai-nilai keagamaan dan kemanusiaan. Dalam dunia yang semakin kompleks ini, ketiga pendekatan ini menjadi pilar yang menopang Muhammadiyah dalam menjalankan misi dakwah dan tajdidnya. (muhammadiyah.or.id)