Merawat Kebersamaan Kader : Menyongsong Muktamar Muhammadiyah di Sumatera Utara
(Tulisan ke-20 dari Beberapa Tulisan Terkait Kader)
Oleh : Amrizal, S.Si., M.Pd – Wakil Ketua MPKSDI PWM Sumatera Utara/Dosen Unimed
Ada satu hal yang sering membuat hati saya bergetar menjelang Muktamar Muhammadiyah di Sumatera Utara: bukan soal tempat, bukan pula soal teknis persiapan, melainkan soal sikap manusianya. Saya menyadari, Muktamar bukanlah sekadar agenda organisasi lima tahunan yang monumental, melainkan ruang pengabdian, momentum sejarah, sekaligus cermin budaya kita dalam mengelola perbedaan.
Di tanah kelahiran saya ini, Sumatera Utara, ada kultur khas yang bisa menjadi kekuatan, tetapi sekaligus bisa berubah menjadi kelemahan bila tidak dikelola dengan bijak. Kultur yang saya maksud adalah kecenderungan sebagian kita untuk sulit ikhlas ketika orang lain diberi kesempatan tampil atau ditokohkan. Ada yang secara lahiriah ikut mendukung, tetapi diam-diam menggunting dari dalam. Ada yang enggan memberi jalan, padahal yang tampil sejatinya sedang membawa nama besar Persyarikatan. Inilah yang membuat saya khawatir: jika sikap ini dibiarkan, Muktamar yang sudah kita nantikan selama 88 tahun lamanya bisa meninggalkan luka yang dalam.
Belajar dari Tanah Jawa
Saya teringat ketika mengikuti Muktamar di tanah Jawa. Ada suasana yang menyejukkan dan penuh kearifan. Ketika seseorang ditunjuk, diberi amanah, atau ditokohkan, maka kultur yang berkembang adalah sami‘na wa atha‘na—manut, menerima, dan memberi energi positif agar perjalanan organisasi tetap terarah. Meski ada perbedaan selera, bahkan mungkin ada rasa tidak suka, semua pihak tahu kapan harus menundukkan ego. Yang muncul adalah kebersamaan: bahu membahu agar perahu besar bernama Muhammadiyah tetap melaju tanpa retak di tengah gelombang.
Saya masih ingat ungkapan almarhum Buya Syafii Maarif tentang Muktamar Muhammadiyah: “Muktamar bukan ajang siapa menang siapa kalah, tetapi ajang untuk menunjukkan kualitas jiwa seorang kader Muhammadiyah: siapapun yang terpilih, kita dukung dengan ikhlas.” Ungkapan sederhana ini sesungguhnya telah menjadi resep keberhasilan Muktamar-Muktamar Muhammadiyah sebelumnya.
Muktamar, Pesta Milik Semua
Muktamar bukanlah milik panitia semata. Muktamar adalah pesta besar seluruh warga Muhammadiyah. Karena itu, semangat kebersamaan harus kita rajut sejak dari ranting, cabang, hingga daerah. Jangan ada yang merasa di luar lingkaran hanya karena namanya tidak tercatat dalam struktur kepanitiaan. Sejatinya, semua kita adalah panitia. Mari kita bayangkan, ratusan ribu bahkan jutaan penggembira akan datang dari seluruh penjuru negeri dan dunia. Mereka bukan sekadar tamu, melainkan saudara seiman dan seperjuangan. Menyambut mereka berarti menyambut berkah, menyambut ridha Allah. Dalam sebuah hadis, Rasulullah ﷺ bersabda: “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia memuliakan tamunya.” (HR. Bukhari-Muslim). Maka, menyambut penggembira Muktamar adalah bagian dari iman kita.
Ranting, Cabang, Daerah: Mari Bahu-Membahu
Inilah saatnya ranting, cabang, dan daerah menunjukkan peran terbaiknya. Jika tidak tercatat sebagai panitia resmi, jangan kecil hati. Kita tetap bisa mengambil bagian. Bukalah masjid-masjid kita untuk penggembira beristirahat. Bukalah rumah-rumah warga persyarikatan untuk mereka singgah. Siapkan sekolah-sekolah dan amal usaha kita sebagai tempat tinggal sementara. Jadikan Sumatera Utara rumah kedua bagi saudara-saudara kita. Ingatlah, penggembira datang dengan membawa semangat dan cinta kepada Muhammadiyah. Jangan biarkan mereka pulang dengan membawa cerita tentang konflik, sikap dingin, atau kultur Sumut yang keras. Biarlah mereka pulang dengan kisah manis tentang hangatnya sambutan warga sumut, tentang masjid-masjid yang terbuka, rumah-rumah yang ramah, dan wajah-wajah yang tulus menyapa.
Kini, giliran kita. Warga Sumatera Utara harus menunjukkan spirit fastabiqul khairat—berlomba-lomba dalam kebaikan. Jangan bertanya: “Siapa panitianya?” atau “Apa untungnya bagi saya?”. Tetapi tanyakan: “Apa yang bisa saya berikan untuk muktamar ini?”. Karena setiap pengorbanan yang kita lakukan—entah itu membuka rumah, menyediakan makanan, atau sekadar menyambut dengan senyum—akan tercatat sebagai amal jariyah. Bahkan
meski nama kita tidak ada dalam SK panitia, di hadapan Allah kita semua adalah panitia yang bekerja untuk dakwah.
Inspirasi dari Muktamar Terdahulu
Mari kita sejenak membuka lembaran sejarah. Pada Muktamar Muhammadiyah ke-45 di Malang (2005), atmosfer persaudaraan begitu terasa. Meski ada dinamika pemilihan, yang ditonjolkan bukan perebutan posisi, melainkan semangat menjaga martabat organisasi. Di Muktamar Makassar (2015), dengan jumlah peserta ribuan orang dan tensi yang cukup tinggi, suasana tetap terjaga karena adanya kedewasaan dalam menerima keputusan. Bahkan di Muktamar Surakarta (2022), ketika pandemi baru mereda, kerinduan yang besar untuk bertemu dan kebersamaan warga Muhammadiyah membuat perhelatan besar itu tetap sukses dengan tertib dan khidmat.
Jutaan warga Muhammadiyah dan masyarakat tumpah disolo. Muktamar Muhammadiyah di Solo menghadirkan potret indah kebersamaan: warga dan peserta bahu-membahu menjaga kebersihan, saling menyambut dengan hangat, dan menjadikan kota Solo sebagai ruang persaudaraan yang rapi, tertib, dan penuh semangat Islam berkemajuan. Apa yang menjadi kuncinya? Ikhlas, legowo, dan berjiwa besar. Nilai inilah yang harus kita bawa ke Sumatera Utara.
Kultur Sumatera Utara: Antara Tantangan dan Harapan
Sumatera Utara memiliki karakter masyarakat yang keras, lugas, dan berani bersuara. Karakter ini bisa menjadi energi positif bila diarahkan pada kerja sama dan militansi dalam berjuang. Namun, karakter ini juga bisa berubah menjadi bara yang membakar dari dalam jika tidak diimbangi dengan kerendahan hati dan semangat ukhuwah. Muktamar di Sumut akan menjadi ujian, apakah kita mampu menundukkan ego pribadi demi
kebesaran organisasi. Apakah kita rela memberi jalan kepada yang dipilih, meski bukan orang yang kita sukai. Apakah kita siap mendukung, meski bukan kelompok kita yang diunggulkan. Semua ini menjadi cermin kedewasaan ber-Muhammadiyah.
Jika pimpinan di ranting, cabang, daerah, hingga wilayah tidak menahan diri dan tidak membiasakan diri untuk sami‘na wa atha‘na, maka muktamar ini bisa menorehkan luka sejarah. Tetapi sebaliknya, jika kita bisa mengelola kultur ini dengan bijak, Sumatera Utara akan tercatat dalam tinta emas sebagai tuan rumah yang sukses, membanggakan, dan dikenang sepanjang masa.
Refleksi Tokoh dan Spirit Kaderisasi
KH Ahmad Dahlan pernah menekankan bahwa Muhammadiyah adalah gerakan dakwah, bukan arena perebutan kuasa. Kaderisasi adalah ruh yang memastikan Muhammadiyah tetap hidup lintas generasi. Jika kaderisasi berhenti karena terhimpit ego pribadi dan konflik kepemimpinan, maka sejatinya Muhammadiyah sedang berjalan menuju kemunduran.
Ungkapan sederhana bisa menjadi cermin kita: “Jika jantung berhenti berdetak, maka tubuh akan mati. Jika kaderisasi berhenti berjalan, maka Muhammadiyah akan kehilangan masa depan.” Jantung Persyarikatan itu adalah kaderisasi, dan darah yang mengalirinya adalah keikhlasan para kader. Maka, siapapun yang diberi kesempatan tampil, sejatinya ia hanya sedang menjadi salah satu sel darah yang dipompa untuk menghidupi tubuh besar bernama Muhammadiyah.
Menyulam Kebersamaan
Kini, di hadapan kita terbentang peluang sejarah. Setelah 88 tahun menanti, Sumatera Utara mendapat kehormatan menjadi tuan rumah Muktamar Muhammadiyah. Jangan sampai momen besar ini ternodai oleh perselisihan internal. Jangan sampai jejak sejarah yang kita tinggalkan adalah luka, bukan kebanggaan. Muktamar bukan panggung individu. Muktamar adalah panggung kolektif umat. Di sanalah kita diuji: apakah Muhammadiyah benar-benar milik bersama, atau hanya alat untuk memperjuangkan ego pribadi.
Mari kita belajar merelakan bila yang tampil bukan diri kita. Mari kita dukung dengan ikhlas, meski bukan kelompok kita yang unggul. Mari kita jadikan Muktamar ini sebagai bukti bahwa Sumatera Utara bukan hanya bisa menyelenggarakan acara besar, tetapi juga bisa menghadirkan keteladanan kebersamaan bagi seluruh umat.
Sejarah akan mencatat Muktamar Muhammadiyah di Sumatera Utara bukan hanya dari megahnya acara, tetapi juga dari JIWA BESAR PARA KADERNYA. Jika kita mampu menahan ego, menumbuhkan soliditas, dan berjiwa besar, maka Muktamar ini akan dikenang sebagai momentum kebangkitan kultur baru di Sumut: kultur kebersamaan yang berlandaskan ikhlas.
Dan jika itu terjadi, kita bukan hanya sukses menjadi tuan rumah, tetapi juga berhasil mewariskan satu pesan abadi: bahwa Muhammadiyah di Sumatera Utara mampu membuktikan diri sebagai rumah besar yang menampung semua, menghidupi semua, dan memajukan semua.
Wallahu a’lam Bish Shawab