• Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
Infomu
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
Infomu
No Result
View All Result
Menyusuri Jejak Perjalanan Kreatif Penyair Idris Siregar

Menyusuri Jejak Perjalanan Kreatif Penyair Idris Siregar

Syaiful Hadi by Syaiful Hadi
12 Juli 2021
in Literasi, Puisi, Seni dan Budaya
86

Menyusuri Jejak Perjalanan Kreatif Penyair Idris Siregar

Oleh. S. Ratman Suras

Idris Siregar adalah penyair Indinesia yang lahir di Medan, Sumatera-Utara, yang dari kemunculannya sudah mapan. Mapan karir dan mapan dalam dunia kreatif kepenyairanya. Ketika rekan-rekan seangkatannya, masih bergelut dengan takdir yang agak gelap dan  sulit terbaca, Idris sudah bekerja sebagai aparat sipil negara di sebuah Instasi pemerintahan. Saat teman-teman sesama penyair sibuk pindah-pindah sewa rumah ia sudah bisa tinggal di sebuah komplek perumahan yang cukup elit pada zamannya di daerah Tanjungmorawa. Artinya problem kebutuhan primer sebagai manusia telah teratasi bagi pribadi dan keluarganya.

Saya mengenal penyair Idris Seregar sudah cukup lama, sejak 1995 di Medan. Dua tahun kemudian (1997) kami berdua menggagas Sanggar Kedai Sastra Kecil Sanggar KSK,  sebuah komunitas sastra yang membangun kreatifitas, tak hanya sastra thok, tapi juga bergerak pada seni lain, teater dan film. Sanggar ini bergerak di pusatkan di Jl. Perintis Kemerdekaan no. 154 Tanjung Morawa, Deli Serdang, Sumatera Utara. Ada beberapa karya kreatif yang dilahirkan dari sanggar ini, di antaranya,  antologi puisi, Gugur Gunung, Tarian Musim, (1997) dan Perjalanan Yang Belum Terungkap (1999) yang terakhir ini kumpulan Cerpen, Idris Siregar dan S. Ratman Suras.

Awalnya sanggar ini aktif bergerak, ada penerbitan, pertunjukan sastra, hingga lomba cipta puisi, baca puisi, dan cipta cerpen. Namun karena kesibukan kami masing-masing, sanggar ini pun meredup. Ada sebuah “prestasi” yang menggembirakan, walau nampak kecil dan seadanya, yaitu kedua antologi puisi tunggal kami berdua, Gugur Gunung dan Tarian Musim, sempat diikut sertakan pada lomba buku puisi terbaik pada ajang bergengsi Temu Sastrawan Nusantara. Di Kayutanam, Padang Sumatera Barat.(1997) Walau tak menang, kedua buku itu, nasib baiknya ada, saya taruh di bazar di tempat agenda berlangsung, ada juga yang berminat membelinya. Maklum penyair kampung Medan, bukunya ada yang mau membaca di gelaran sastra Akbar, tentu jadi pemicu semangat untuk berkarya. Terlepas dibaca atau tidak karya itu. Yang kedua semangat kami lebih menggelegak lagi ketika, buku antologi kami yang bersama penyair Medan, Sumatera-Utara, Dalam Kecamuk Hujan (1997) , kami kirimkan kepada Korie Layon Rampan, salah satu tokoh kritikus sastra yang namanya kala itu sedang berkibar-kibar, dan sambutanya pun, beliau akan mengupas dan mengapresiasi isi puisi-puisi yang ada di buku tersebut. Meskipun belum sempat diapresiasi beliau di koran, namun beliau sempat mebalas lewat kartu pos. Alangkah merdekanya kala menerima balasan itu, paling tidak seorang Korie sudah membaca karya-karya penyair muda Medan terkini, waktu itu.

Kembali ke niat awal saya, ingin menyusuri jejak-jejak -perjalanan kreatif penyair Idris Siregar yang memang sudah bergelut cukup lama di dunia sastra wabil khusus puisi ini. Kita simak puisinya di bawah ini.

GERIMIS

jatuhlah gerimis di kota tipis
ini membuat kau mulai menangis
bertubi-tubi rindukan zaman manis
tetapi yang dihadapi kini
tiada lain kota yang telah diiris-iris
oleh peradaban miris

Lubuk Pakam, 1997

Nampaknya dalam puisi ini, Idris Siregar berhasil memotret fenomena alam teraplikasi kan pada kehidupan. Terutama pada manusia yang hidup pada zaman kekinian. Hanya gerimis, bisa menangis tak bisa meraih zaman manis, dan kota mereka sudah teriris-iris. Sebuah puisi pendek yang manis, mengangkat pola ucap pantun yang berhasil dalam kesederhanaan kata-kata, dengan idiom gerimis, yang membuat orang miris. Sebab gejala gerimis biasanya akan menderas menjadi hujan?
Hujan sebentar saja, kota akan banjir?
Bencana alam mengiris warga kota.
Puisi Gerimis ini saya ambil dari antologi Tarian Musim (1997) hal 23.  Coba kita simak sepuluh tahun kemudian.

KURSI

hanya kursi
diduduki berhari pun berulang kali
letih menunggu saatnya lapuk
lalu tersungkur di sudut ruangan bertumpuk
atau bisa jadi berkarib dengan api
menjadi abu menjadilah
namun selalu ada kursi
yang dikejar-kejar dan direbut bertubi-tubi
meski berhadapan dengan nurani

Lubuk Pakam

Puisi ini saya kutip dari antologi tunggalnya, Pengakuan (2007) Penerbit Laboratorium Sastra Medan, hal  43. Memang puisi Kursi, tak bertitimangsa, cuma hanya Lubuk Pakan, sebuah kota ibukota kabupaten Deli Serdang. Dilihat dari tahun terbitnya, dengan Tarian Musim, telah  selisih sepuluh tahun. Idris masih suka dan terungkap pada puisi-puisi yang lain, potret-potret alit, atau sketsa-sketsa problem manusia modern, urban dengan segala problematiknya. Pada puisi Kursi penyair sepertinya ingin memotret pilkada dengan dinamikanya. Perebutan elit politik dengan satu kursi kekuasaan yang usang, dan lapuk, tapi tetap mempesona dan selalu menimbulkan gairah yang membakar dada para pemburunya. Bahkan di beberapa tempat Pilkada ada yang memakan banyak korban, baik harta-benda sampai nyawa. Pilkada bukan memotret demokrasi yang daulat rakyat malah ternoda oleh sekelompok elit politik yang memaksakan kehendak, tanpa sekata dengan hakekat nurani manusia.

TUBUH BERAROMA MALAM

tubuh yang beraroma malam
kala jam memadat di sudut matamu
mendetailkan kenangan kelam
kamar menjelma nyata
meski lampu telah sembunyikan sinarnya
lalu jemari terlingkari hasrat membara
ketika pagi terbaca lagi
perasaan pun seperti usang
bertubi-tubi

Puisi ini saya petik dari antologi tunggalnya, Hingga Di Ujung Waktu. Partama Mitra Sari (2014) hal. 34. Masih ada warna dan tema tentang kota. Murung, kelam, dihantam berbagai hal, tentang kota. Pengangguran, macet, kesibukan, kaum terpinggirkan, menjadi ciri khas puisi-puisi Idris Siregar. Dengan ungkapan-ungkapan, idiom-idiom yang juga terang, justru menjadikan kerja kreatif penyair ini telah mencapai pada tataran mapan. Mapan secara kreatif memang tak ada batasnya. Akan selalu bergejolak dalam memotret, menulis,suatu kejadian yang terus berubah di lingkungan sekitar hidupnya. Penyair akan selalu risau dan kacau batinnya, jika menyaksikan ketimpangan-ketimpangan yang terjadi di  alam sekitarnya. Kota dengan segala dinamika keriuhanya berhasil diangkat ke dalam puisi-puisinya.

INI RUMAH KITA

terjal, menikung dan mendaki
kanannya jurang kirinya lembah
dengan bergelombang bertubi-tubi
menyusuri ya
dengan perjuangan dan pengorbanan
ribuan purnama mereka lalui
demi mendirikan rumah ini
yang kini tempat kita mengisinya
dalam ragam kerja, dalam aneka karya
pun doa-doa mendalam
inilah rumah kita
Indonesia

Dari antologi bersama Rumah Tak Biasa, Forum Sastrawan Deliserdang (Fosad, 2019) hal. 26.
Rasa nasionalisme penyair terhadap bangsanya tak perlu diragukan lagi. Walau negeri ini didirikan oleh berbagai macam suku, ras, golongan, dengan tegas bersama menjunjung rasa persatuan kesatuan, bangsa ini hingga saat ini masih berlanjut sebagai bangsa yang besar dan hidup dalam alam  bertoleransi tinggi terhadap sesama elemen bangsa. Ini terekam jelas pada puisi di atas. Dan untuk merengkuh semua itu taklah muda. Perlu pengorbanan dan juga melalui jalan yang tidak mudah. Berkelok, terjal, menikung, untuk menemukan jalan lurus membangun cita-cita luhur sesama anak  bangsa.

PERTARUHAN

Hidup yang kau tawarkan dalam hatiku
telah bertubi-tubi membangun kecemasan
di mana pun aku menghitung nafsu. pun
menyeberangi lamunan ke kota-kota
penasaran, sehingga kita bertaruh baru
demi dunia yang berwarna sebelum penaburan
kembang-kembang berhamburan rubrik
iklan
di koran-koran, sebelum aku pastikan apa bedanya
kecemasan dengan hidup yang kau tawarkan ketika
kita masih bertaruh baru demi dunia yang berwarna

Medan, 23 Januari 1995

Hampir separo usianya, penyair Idris Siregar berpuisi. Ada yang tetap konsisten dengan kata ulang bertubi-tubi. Coba baca lagi lima puisinya di atas. Selalu dihadirkan kata itu. Bertubi-tubi sepertinya telah merasuk dada sang penyair. Bukan kebetulan ke lima puisi saya baca ulang kembali. Kiranya kelima karya Idris Siregar ini telah mewakili goresan dan sengatan kerja kreatifnya selama ini. Semua seperti telah tergores kan pada Pertaruhan yang saya comot dari antologi bersama, Bumi, Studi Seni Indonesia dan Forum Kreasi Sastra (1996) 18 penyair Sumatera Utara, hal, 28

Penyair Idris Siregar, di lahirlah di Medan pada 2 Januari 1968. Menyelesaikan kuliah pada Fakultas Hukum USU (1991) dan  menulis di media cetak sejak (1986) berupa, puisi, cerpen, cerbung, artikel,  dan masih belajar dalam menulis naskah drama, teater, skrip skenario film. Puisi-puisi tersebar di Analisa, Jurnal Medan, Garuda Minggu, Sumatera, Andalas, Mimbar Umum, Medan Bisnis, Taruna Baru, Sinar Pembangunan, SIB, Suara Pembaruan, Majalah Sastra Dewan Malaysia, Bahana Brunai Darussalam, Hai, Bisnis Indonesia, dan Radio Jerman DW. Puisi-puisi nya juga dimuat antologi bersama, Dalam Kecamuk Hujan,  KSK (1997)  kumpulan Cerpen Perjalanan Yang Belum Terungkap, sanggar KSK (1999) Puisi Indonesia. Angkasa Bandung (1997)  Teluk Persalaman , Dialog Teluk Sabah, Malaysia (2001) Kumpulan Puisi Terbaik Lomba Puisi, Indonesia- Tionghoa/Inti, Jakarta (1997)  Muara Tiga, Dialog Utara, Indonesia- Malaysia, (2001) Akulah Musi, Temu Penyair Nusantara, Palembang (2011) Tuah Tara No Are, Temu Sastrawan Indonesia Ternate ( 2011) Narasi Tembuni, Komunitas Jakarta (2012) Daun Seloko , Pertemuan Penyair Nusantara Jambi (2012)  Rumah Tak Biasa , Fosad (2019)  Antologi puisi tunggalnya, Tarian Musim, Sanggar KSK (1996) Pengakuan, Labsas (2007) Hingga Di Ujung Waktu, Partama Mitra Sari (2014) Mengenangmu Di Jalan Penuh Warna (2017) Novel Habisi Dia, Kini Ia aktif di Komunitas Seni Rumah Kata, Deliserdang. Sumatera-Utara.

Penulis, S. Ratman Suras, Sastrawan Sumatera Utara 

Bagikan ini:

  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
  • Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru) Surat elektronik
  • Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
  • Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak
Tags: fksidris siregars. ratman suras
Previous Post

Aceh Alami Cuaca Ekstrim, Aceh Jaya Banjir

Next Post

Kasus Baru Covid-19 Nasional 36.197 Orang, Aceh 67 Orang

Next Post
Covid19 di Aceh, ada Lima Kasus Kematian

Kasus Baru Covid-19 Nasional 36.197 Orang, Aceh 67 Orang

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Beranda
  • Kabar
  • Literasi
  • Kolom
  • Kesehatan
  • Muktamar
  • Pendidikan
  • Redaksi
Call us: +1 234 JEG THEME

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.