Menjemput Khittah Medan: Menyongsong Arah Baru Muhammadiyah Menuju Indonesia Sejahtera
(Tulisan ke-29 dan Beberapa Tulisan Bertema Kaderisasi)
Oleh : Amrizal, S.Si., M.Pd – Wakil Ketua MPKSDI PWM Sumatera Utara / Dosen Unimed
“Khittah bukan sekadar dokumen organisasi, melainkan peta jalan ruhani yang menuntun Muhammadiyah agar tetap tegak di atas kebenaran.”
— Haedar Nashir
Awal Sebuah Jalan: Menggurat Khittah sebagai Kompas Gerakan
Sejak KH. Ahmad Dahlan menyalakan obor pencerahan di Yogyakarta pada tahun 1912, Muhammadiyah tumbuh menjadi lebih dari sekadar organisasi keagamaan. Ia menjelma menjadi gerakan peradaban yang menyatukan nilai-nilai tauhid, ilmu, dan amal. Gerakan ini hadir untuk menjawab tantangan zaman dengan semangat tajdid — pembaruan yang berpijak pada Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Namun perjalanan panjang itu tidak selalu mulus. Setiap zaman melahirkan ujian dan pertanyaan baru: bagaimana menjaga kemurnian niat, arah perjuangan, serta relevansi dakwah di tengah perubahan sosial, politik, dan teknologi yang terus bergulir? Dalam menghadapi dinamika tersebut, Muhammadiyah senantiasa kembali menulis ulang khittah — garis perjuangan ideologis dan moral yang berfungsi sebagai kompas gerakan Islam berkemajuan.
Sepanjang sejarahnya, lahir sejumlah Khittah besar yang menandai arah gerak Muhammadiyah:
- Rumusan 12 Langkah Muhammadiyah (1938),
- Khittah Palembang (1956),
- Khittah Ponorogo (1969),
- Khittah Ujung Pandang (1971),
- Khittah Surabaya (1978), dan
- Khittah Denpasar (2002).
Kini, menjelang Muktamar Muhammadiyah ke-49 di Kota Medan tahun 2027, berbagai pihak menaruh harapan besar akan lahirnya rumusan baru yang mampu menandai arah dakwah 25 tahun ke depan — sebuah “Khittah Medan” yang menyiapkan Muhammadiyah menghadapi era digital, tantangan ekologi global, dan persoalan sosial menuju Indonesia Sejahtera 2045.
1938: Dua Belas Langkah di Tengah Kolonialisme
Yogyakarta, 1938. Dalam suasana penjajahan yang menekan, para tokoh Muhammadiyah berkumpul pada Muktamar ke-26. Dari forum itu lahir gagasan monumental: 12 Langkah Muhammadiyah, hasil pemikiran tokoh-tokoh seperti KH. Mas Mansur, KH. Hisyam, KH. Sudjak, dan H. Fachruddin.
Rumusan 12 langkah Muhammadiyah meliputi tujuh langkah penguatan individu dan lima langkah penguatan kelembagaan. Langkah-langkah tersebut adalah: memperdalam iman, memperluas paham agama, memperbuahkan budi pekerti, menuntun amalan intiqad (koreksi diri), menguatkan persatuan, menegakkan keadilan, dan melakukan kebijaksanaan (penguatan individu); serta menguatkan Majelis Tanwir, mengadakan konferensi bagian, mempermusyawarahkan putusan, mengawasi gerakan internal, dan mempersambungkan gerakan eksternal (penguatan kelembagaan).
Rumusan ini menegaskan identitas Muhammadiyah sebagai pelopor Islam modernis yang mengintegrasikan iman, ilmu, dan kerja sosial secara harmonis.
1956: Khittah Palembang — Menjaga Jarak dari Politik Praktis
Memasuki masa demokrasi parlementer, partai-partai politik tumbuh subur di Indonesia. Banyak organisasi Islam yang kemudian menjelma menjadi partai politik. Namun, dalam Muktamar ke-33 di Palembang (1956), Muhammadiyah menegaskan posisinya melalui Khittah Palembang: bahwa Muhammadiyah bukanlah partai politik, melainkan gerakan dakwah dan tajdid.
Tokoh-tokoh perumus khittah ini Adalah AR Sutan Mansur, KH. Fakih Usman, KH. Farid Makruf. Khittah Palembang (1956) menegaskan tujuh pokok langkah pembinaan gerakan Muhammadiyah, yakni menjiwai pribadi setiap anggota terutama para pimpinan dengan nilai-nilai Islam, menampilkan keteladanan melalui uswatun hasanah, memperkuat keutuhan organisasi dan menertibkan administrasi, memperbanyak serta meningkatkan mutu amal usaha, mempertinggi kualitas anggota dan menyiapkan kader yang tangguh, mempererat ukhuwah di antara sesama warga dan umat Islam, serta menuntun penghidupan anggota agar sejahtera dan berdaya dalam menjalankan dakwah.
1969: Khittah Ponorogo — Dakwah Sebagai Gerakan Sosial
Pasca peristiwa 1965, suasana politik nasional diliputi ketegangan. Dalam Tanwir Ponorogo (1969), Muhammadiyah kembali menegaskan arah perjuangannya melalui Khittah Ponorogo: dakwah bukan hanya dalam bentuk ceramah, melainkan juga melalui kerja sosial yang menyentuh kehidupan masyarakat secara langsung.
- AR Fachruddin dan KH. Djarnawi Hadikusumo menegaskan bahwa pelayanan pendidikan, penguatan ekonomi umat, dan kegiatan sosial merupakan bentuk dakwah yang paling konkret.
“Muhammadiyah bukan anti-politik, tetapi tidak boleh dijadikan alat politik,” tegas KH. AR Fachruddin.
Dari khittah inilah lahir paradigma dakwah kultural — gerakan dakwah yang diwujudkan melalui amal usaha, keteladanan, dan pelayanan sosial.
1971: Khittah Ujung Pandang — Dakwah dalam Pembangunan
Memasuki era Orde Baru, Indonesia berfokus pada pembangunan nasional. Dalam Muktamar ke-38 di Ujung Pandang (Makassar), 1971, Muhammadiyah merumuskan Khittah Ujung Pandang, yang menegaskan bahwa dakwah harus berperan aktif dalam proses pembangunan bangsa.
Amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan, kesehatan, dan ekonomi dijadikan sarana untuk mencetak manusia berilmu, berakhlak, dan mandiri.
“Jika Muhammadiyah kuat dalam amal, maka Islam akan berwibawa dalam kehidupan bangsa,” ujar KH. AR Fachruddin.
Khittah ini memperluas cakrawala dakwah Muhammadiyah: dari dakwah tabligh menjadi dakwah amal, dari mimbar menuju laboratorium dan ruang kerja kemasyarakatan.
1978: Khittah Surabaya — Kekuatan Moral Bangsa
Dalam Muktamar ke-40 di Surabaya (1978), Muhammadiyah kembali meneguhkan jati dirinya sebagai kekuatan moral bangsa. Para tokoh seperti KH. AR Fachruddin, dan Prof. Azhar Basyir menegaskan perlunya Muhammadiyah berperan sebagai pengimbang kekuasaan melalui penguatan civil society.
“Khittah Surabaya adalah kebangkitan baru Muhammadiyah sebagai kekuatan pencerahan dan masyarakat madani,”
Khittah ini menandai fase baru: Muhammadiyah tampil sebagai gerakan masyarakat sipil yang kritis terhadap kekuasaan, namun tetap berorientasi pada nilai-nilai moral dan kemanusiaan.
2002: Khittah Denpasar — Kembali ke Jantung Moral Islam
Era reformasi membuka ruang demokrasi, namun juga membawa kebingungan nilai. Dalam Tanwir Denpasar (2002), Muhammadiyah merefleksikan arah gerak dakwahnya dan menegaskan kembali bahwa dakwah harus berakar pada moralitas, kemanusiaan, dan kebudayaan.
Buya Ahmad Syafii Maarif dan Haedar Nashir menuntun Muhammadiyah untuk kembali ke jantung moral Islam — nilai-nilai kejujuran, keadilan, dan kasih sayang.
“Khittah Denpasar adalah seruan untuk menegakkan Islam sebagai kekuatan moral peradaban,” ungkap Buya Syafii.
Khittah ini menjadi penegasan bahwa Muhammadiyah bukan sekadar organisasi sosial-keagamaan, melainkan gerakan peradaban yang memuliakan kemanusiaan.
2027: Menanti Khittah Medan — Gerakan Menuju Indonesia Sejahtera
Lebih dari satu abad telah berlalu sejak obor pencerahan dinyalakan di Kauman, Yogyakarta. Kini, Muhammadiyah bersiap menyongsong Muktamar ke-49 di Kota Medan tahun 2027. Di Tanah Deli — tempat bertemunya sejarah Islam modern dan semangat kebangsaan — muncul harapan akan lahirnya Khittah Medan, yang akan menjadi arah baru gerakan dakwah 25 tahun ke depan menuju Indonesia Sejahtera 2045.
Khittah Medan diharapkan menjadi peta ideologis Muhammadiyah abad ke-21, dengan orientasi baru yang mencakup:
- Dakwah Digital Berkemajuan – menggerakkan nilai Islam di ruang siber dan teknologi kecerdasan buatan.
- Ekologi dan Keadilan Sosial – menjadikan isu lingkungan dan kemiskinan sebagai medan dakwah yang nyata.
- Kemandirian Ekonomi Umat – memperkuat jaringan bisnis dan filantropi yang berkeadilan.
- Islam Rahmatan lil ‘Alamin – meneguhkan dakwah yang damai, toleran, dan memuliakan martabat bangsa.
- Gerakan Ilmiah dan Intelektualisasi Umat – membangun budaya riset, inovasi, dan pendidikan unggul.
- Regenerasi Kepemimpinan Kader – melahirkan pemimpin muda yang kuat ideologi dan luas wawasan.
Jika Khittah Medan benar-benar terwujud, ia akan menjadi “kompas baru” Muhammadiyah dalam menghadapi perubahan global yang cepat — mengarahkan dakwah agar tetap adaptif, berkarakter, dan berorientasi masa depan.
Refleksi: Dari Yogyakarta ke Medan, dari Obor ke Lentera Abad Kedua
Dari Yogyakarta (1938) hingga Denpasar (2002), dan kini menuju Medan (2027), jejak Khittah Muhammadiyah menunjukkan satu hal yang tidak pernah berubah: semangat untuk menegakkan Islam yang mencerahkan kehidupan.
- Ahmad Dahlan pernah berpesan,
“Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.”
Pesan itu kini menemukan relevansinya kembali di tengah era digital dan krisis kemanusiaan global.
Jika Khittah Medan benar-benar lahir, ia akan menjadi penyempurna estafet sejarah—menjembatani masa lalu, masa kini, dan masa depan. Ia akan mempertegas kembali peran Muhammadiyah sebagai gerakan Islam rahmatan lil ‘alamin yang menebar ilmu, menegakkan keadilan, dan menanam benih kesejahteraan.
Penutup: Jalan Panjang Pencerahan
Lebih dari satu abad perjalanan Muhammadiyah merupakan kisah panjang keteguhan dan konsistensi. Di setiap masa, lahir tokoh, gagasan, dan khittah baru. Namun di balik semua itu, satu hal tetap abadi: ruh tajdid yang tidak pernah padam.
Muktamar Medan 2027 mungkin akan menjadi tonggak sejarah baru. Bila lahir Khittah Medan, semoga ia menjadi pelita ideologi yang menuntun langkah Muhammadiyah menuju 25 tahun ke depan—menuju Indonesia yang sejahtera, berkeadilan, dan berkeadaban.
“Muhammadiyah tidak hidup dari kekuasaan, tetapi dari keyakinan bahwa Islam harus menjadi kekuatan moral yang memajukan manusia.”
— Buya Ahmad Syafii Maarif
Dari setiap khittah yang lahir, kita belajar bahwa jalan Muhammadiyah adalah jalan pencerahan—panjang, berliku, tetapi selalu menyala.
Wallahu a’lam Bish Shawab






