Home / Opini / Menjahit Kain Organisasi: Benang Tegas dan Benang Lentur

Menjahit Kain Organisasi: Benang Tegas dan Benang Lentur

Agus Sani
Menjahit Kain Organisasi: Benang Tegas dan Benang Lentur
Oleh : Agus Sani, Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UMSU
Sebuah organisasi, sejatinya, tak ubahnya selembar kain besar yang terus dijahit dari waktu ke waktu. Di dalamnya ada benang-benang yang berbeda: ada yang kuat dan kaku untuk menjaga bentuk, ada pula yang lentur agar tidak mudah robek. Namun, terlalu banyak benang tegas bisa membuat kainnya kaku, sementara terlalu banyak benang lentur bisa membuatnya melar dan kehilangan bentuk. Di sanalah dilema klasik organisasi muncul: antara aturan yang menegaskan dan fleksibilitas yang menyesuaikan.
Dalam banyak ruang rapat, kata fleksibilitas sering digaungkan sebagai solusi universal. “Kita harus adaptif terhadap perubahan,” kata manajer modern dengan nada percaya diri. Namun sering kali, adaptif berubah menjadi alasan untuk tidak berdisiplin. Aturan dilanggar demi “kelincahan,” keputusan diubah demi “kontekstualitas,” dan prinsip dilonggarkan demi “inovasi.” Lama-kelamaan, organisasi kehilangan bentuknya sendiri, seperti kain yang ditarik ke segala arah tanpa pola yang jelas.
Di sisi lain, ada pula mereka yang menjunjung aturan setinggi langit. Setiap prosedur dianggap suci, setiap langkah harus disetujui berjenjang, dan setiap perubahan dianggap ancaman terhadap tatanan. Organisasi semacam ini memang tampak rapi dari luar, tetapi di dalamnya ide-ide baru mati sebelum sempat tumbuh. Aturan menjadi tembok, bukan pagar. Dan tembok, seperti kita tahu, lebih pandai menutup daripada melindungi.
Padahal, sebagaimana dijelaskan oleh Mintzberg dan rekan-rekannya dalam teori strategi organisasi, keberhasilan sering lahir dari perpaduan antara strategi yang direncanakan (deliberate strategy) dan strategi yang muncul secara alami (emergent strategy). Dengan kata lain, organisasi yang cerdas bukan hanya pandai menulis aturan, tapi juga pandai membaca situasi. Ia tahu kapan harus mengikuti pola jahitan, dan kapan harus menambahkan potongan baru agar kain tetap utuh.
Fleksibilitas yang sehat bukan berarti tanpa batas. Ia memerlukan nilai sebagai penuntun, arah sebagai kompas, dan struktur sebagai rangka. Begitu pula aturan, tidak seharusnya menjadi rantai yang membelenggu, tetapi kerangka yang memberi bentuk. Keduanya bukan musuh, melainkan pasangan: benang tegas yang menjaga kekuatan, dan benang lentur yang memberi ruang gerak.
Jika organisasi diibaratkan kain, maka setiap pemimpin sejatinya adalah penjahit. Ia harus tahu kapan menarik benang dengan kuat, dan kapan melonggarkannya agar kain tidak robek. Terlalu tegas, kain bisa sobek oleh tangan sendiri; terlalu lentur, kain bisa terurai di ujung waktu.
Mungkin sudah saatnya kita berhenti berdebat tentang mana yang lebih penting, aturan atau fleksibilitas, dan mulai belajar menjahit keduanya menjadi satu pola utuh. Karena organisasi yang hidup bukanlah yang paling kaku atau paling bebas, melainkan yang paling tahu kapan harus menegaskan garis, dan kapan harus memberi kelonggaran. (***)
Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *