Menjaga Kesucian Musyawarah Antara Amanah Jamaah dan Godaan Transaksional
(Tulisan ke sembilan dari Beberapa Tulisan)
Oleh : Amrizal, S.Si., M.Pd – (Wakil Ketua MPK SDI PWM Sumut/Ketua PCM Percut Sei Tuan/Dosen Unimed)
“Sesungguhnya Allah memerintahkan kamu untuk menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia, hendaklah kamu menetapkannya dengan adil…” (QS. An-Nisa: 58). Musyawarah adalah ruh demokrasi Islam yang hidup dalam setiap denyut Muhammadiyah. Di sanalah nilai syura, tanggung jawab kolektif, dan amanah jamaah dihidupkan. Setiap periodisasi dalam Muhammadiyah, baik di tingkat pusat maupun ranting, dari ortom hingga persyarikatan, selalu dimulai dengan musyawarah, bukan hanya sebagai forum pengambilan keputusan, tapi juga arena penyucian niat, regenerasi kepemimpinan, dan konsolidasi ideologi. Namun hari ini, kita harus jujur dan berani mengakui: ruh suci musyawarah itu sedang terancam.
Realitas Baru yang Menyedihkan
Dulu, musyawarah Muhammadiyah terkenal dengan ketenangan, tanpa hiruk pikuk politik uang, tanpa rebutan kekuasaan, dan jauh dari intrik-intrik transaksional. Tapi sekarang, kita menyaksikan mulai masuknya praktik-praktik pragmatis yang menyimpang: janji jabatan, politik uang, blok-blokan dukungan, dan strategi ala partai politik yang jauh dari etika Islam. Ironisnya, fenomena ini tidak hanya terjadi di ortom seperti Pemuda Muhammadiyah, IMM, atau IPM. Tapi juga mulai menyusup ke struktur persyarikatan sendiri.
Realita Musyawarah Wilayah Muhammadiyah XIII 17-19 Februari 2023 di Kota Padang Sidempuan Sumatera Utara baru-baru ini mencoreng nilai-nilai luhur persyarikatan akibat terjadinya praktik politik uang yang terang-terangan. Proses yang seharusnya menjadi wadah permusyawaratan yang jujur, adil, dan bermartabat justru berubah menjadi ajang transaksional demi memenangkan kelompok tertentu. Sejumlah oknum terlibat dalam praktik pembelian suara terhadap daerah dan cabang, bahkan dengan melibatkan tokoh-tokoh politik di luar
Muhammadiyah, yang semakin memperkeruh suasana. Musyawarah pun kehilangan makna substansialnya dari memilih yang terbaik menjadi proses saling menyingkirkan calon. Namun, pasca musyawarah, sejumlah daerah dan cabang menunjukkan integritas dengan mengembalikan uang yang diterima dan melaporkan kejadian ini kepada Pimpinan Pusat Muhammadiyah.
Berdasarkan laporan dan bukti yang ada, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengambil langkah tegas dengan memberhentikan dua orang Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara yang terbukti melakukan politik uang. Keputusan ini adalah bentuk nyata komitmen Muhammadiyah dalam menjaga kemurnian nilai organisasi dan marwah musyawarah. Peristiwa ini menjadi catatan kelam dan menyedihkan dalam sejarah persyarikatan, namun juga harus menjadi pelajaran penting bagi seluruh pimpinan Muhammadiyah di semua tingkatan. Ke depan, musyawarah harus kembali ditegakkan sebagai forum suci yang dilandasi keikhlasan, kejujuran, dan tanggung jawab moral demi menjaga kehormatan dan masa depan Muhammadiyah. “Yang diperebutkan bukan lagi amanah perjuangan, tapi posisi, jabatan, dan fasilitas.”
Musyawarah yang seharusnya menjadi medan pemurnian visi, kini berubah menjadi ajang kompetisi kekuasaan. Akibatnya, kader-kader idealis terpinggirkan, sementara kader pragmatis yang pandai lobi-lobi justru naik ke tampuk kepemimpinan.
Mengapa Ini Terjadi?
Ada beberapa akar masalah yang menyebabkan gejala ini tumbuh:
1. Krisis Ideologi Gerakan
Banyak kader ortom yang tidak lagi memahami dan menghayati ideologi Muhammadiyah secara utuh. Mereka aktif karena ingin “posisi”, bukan karena dorongan iman, ilmu, dan amal. Tarbiyah tidak lagi menanamkan misi dakwah, tapi sekadar aktivitas teknis belaka.
2. Pengaruh Budaya Politik Praktis
Budaya politik nasional yang penuh transaksionalisme ikut menyusup ke dalam ruang-ruang musyawarah Muhammadiyah. Banyak kader yang aktif di dua kaki, satu di Muhammadiyah, satu di partai. Akhirnya, nilai-nilai pragmatis merasuki proses kaderisasi.
3. Kurangnya Ketegasan Sistem
Tidak ada aturan tegas untuk mencegah kecurangan, lobi uang, atau kampanye yang menyimpang. Musyawarah pun menjadi ajang kompromi gelap di balik layar. Akuntabilitas nyaris hilang.
4. Lemahnya Keteladanan
Ketika para senior atau pimpinan ortom sendiri terlibat dalam politik transaksional, maka wajar jika kader muda meniru. Pendidikan karakter tidak bisa hanya dari ceramah, tapi dari keteladanan nyata.
Bahaya Jangka Panjang. Jika budaya ini dibiarkan, maka:
Muhammadiyah akan kehilangan jati diri sebagai gerakan moral.
Kepemimpinan akan diisi oleh orang yang tidak punya ghirah dakwah, tapi sekadar ambisi kekuasaan.
Muncul kader-kader “opportunis” yang siap menjual Muhammadiyah untuk kepentingan pribadi atau partai politik. “Kepemimpinan yang lahir dari transaksi akan berakhir pada pengkhianatan.”
Solusi: Kembali pada Nilai, Tegas pada Sistem
1. Revitalisasi Ideologi dan Tarbiyah
Kaderisasi harus kembali menanamkan nilai-nilai tauhid, tajdid, amanah, dan keikhlasan. Harus ada pembinaan ideologis intensif sebelum kader masuk ke struktur kepemimpinan. Jadikan musyawarah sebagai proses spiritual, bukan sekadar formalitas administratif.
2. Perbaiki Sistem Musyawarah
Muhammadiyah harus mulai merancang sistem musyawarah yang fair, transparan, dan terjaga dari intervensi eksternal. Termasuk sistem penjaringan dan seleksi yang berbasis kompetensi, bukan lobi.
3. Bentuk Etik Dewan Musyawarah
Perlu ada Dewan Etik Musyawarah di setiap level yang bisa memantau, menegur, dan jika perlu mendiskualifikasi calon yang terbukti melakukan transaksi. Ini penting untuk menjaga marwah musyawarah.
4. Hapuskan Budaya “Jabatan Sebagai Tujuan”
Jabatan harus dilihat sebagai beban amanah, bukan prestasi. Budaya mentalitas “naik struktur” harus dikikis. Bangun budaya kader yang fokus pada kontribusi, bukan posisi.
5. Kuatkan Integritas Pimpinan
Pimpinan di semua level harus menunjukkan teladan, menolak praktik kotor, dan berani menegur kader yang menyimpang. Keteladanan adalah benteng paling kuat melawan kerusakan nilai. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati amanah Allah dan Rasul (Muhammad) dan juga jangan (mengkhianati) amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (QS. Al-Anfal: 27).
KH AR Fachruddin pernah mengingatkan: “Kepemimpinan di Muhammadiyah bukan tempat untuk mencari kehormatan, tapi tempat untuk melayani.”
Menjaga Marwah, Menjaga Amanah
Musyawarah adalah jantung regenerasi Muhammadiyah. Ketika prosesnya dikotori oleh praktik pragmatis dan transaksional, maka yang rusak bukan hanya hasilnya, tapi juga masa depan gerakan ini. Jangan biarkan api perjuangan KH Ahmad Dahlan padam karena kerakusan generasi sesudahnya. Mari kita jaga kesucian musyawarah. Mari kita isi kepemimpinan Muhammadiyah dengan mereka yang jujur, bersih, amanah, dan siap berkorban. Bukan yang lihai berpolitik, tapi yang kuat berkomitmen. “Tolak politik uang, lawan transaksionalisme, dan tegakkan musyawarah yang memuliakan!”
Wallahu a’lam bish-shawab

