Memuhammadiyahkan Orang Muhammadiyah
(Tulisan ke-22 dari Beberaa Tulisan Terkait Kader)
Oleh : Amrizal, S.Si., M.Pd – Wakil Ketua MPKSDI PWM Sumut / Dosen Unimed
Apakah cukup menjadi Muhammadiyah hanya dengan memegang kartu anggota, atau rajin hadir dalam rapat-rapat organisasi? Pertanyaan ini seringkali muncul ketika kita melihat realita sehari-hari. Ada yang bangga menyebut dirinya Muhammadiyah, tapi perilaku kesehariannya jauh dari akhlak Islam berkemajuan. Ada pula yang aktif dalam struktur, tetapi kurang memberi teladan di masyarakat. Inilah yang menjadi tantangan kita hari ini: bagaimana memuhammadiyahkan orang Muhammadiyah.
Istilah ini sederhana, tetapi maknanya dalam. Menjadi “orang Muhammadiyah” bisa sekadar identitas, tetapi dimuhammadiyahkan berarti proses pembentukan jiwa dan perilaku sesuai nilai-nilai Muhammadiyah. KH. Ahmad Dahlan pernah menekankan, inti dari ber-uhammadiyah adalah AMAL NYATA: mendidik, menolong sesama, menegakkan tauhid, dan membawa Islam sebagai rahmat. Jadi, “memuhammadiyahkan” adalah upaya agar setiap kader tidak hanya berorganisasi, tetapi benar-benar menjalani nilai itu dalam kehidupan sehari-hari.
Di setiap perhelatan musyawarah Muhammadiyah kita kerap menyaksikan fenomena yang menggelisahkan: banyak yang dengan lantang menyatakan siap menjadi pimpinan—dari ranting, cabang, daerah hingga wilayah—namun setelah terpilih, jangankan melaksanakan program yang diamanahkan, sekadar hadir dalam pengajian ranting atau cabang pun terasa berat, bahkan setahun sekali pun payah. Apalagi terlibat aktif dalam kegiatan-kegiatan nyata. Fakta ini terjadi hampir di semua level pimpinan Muhammadiyah. Secara identitas mereka memang orang Muhammadiyah, bahkan pimpinan dan kader, tetapi cerminan sikapnya jauh dari nilai-nilai ber-Muhammadiyah yang ikhlas, telaten, dan berjiwa pengabdian. Fenomena ini seharusnya menjadi cermin bagi kita semua untuk kembali menata niat dan membenahi diri agar kepemimpinan di Muhammadiyah bukan sekadar posisi, tetapi amanah yang hidup dengan nilai dan teladan.
Fenomena lain yang kini muncul di sebagian Angkatan Muda Muhammadiyah patut menjadi renungan kita bersama. Orientasi menjadi kader sering kali bergeser, bukan lagi untuk menghidupi cita-cita Muhammadiyah, melainkan untuk meraih jabatan di pemerintahan. Segala
cara, bahkan yang tidak Islami, ditempuh demi ambisi pribadi. Padahal mereka adalah pimpinan ortom yang secara struktural mumpuni dan telah kenyang pengkaderan, tetapi miskin nilai keislaman dan kemuhammadiyahan. Rasa ikhlas menipis, yang tumbuh justru budaya hedonis dan ketakutan akan kemiskinan. Inilah alarm bagi kita semua: generasi penerus Muhammadiyah tengah tercabut dari akar idealisme pendiri gerakan. Mereka harus disadarkan, dibina, dan diajak kembali pada ruh kemuhammadiyahan—agar kader muda tidak berhenti pada gelar dan jabatan, tetapi menjelma menjadi insan pengabdi yang menyalakan semangat pencerahan, sebagaimana diwariskan KH. Ahmad Dahlan.
Realita kita cukup beragam. Ada kader yang luar biasa, aktif di sekolah, kampus, masjid, bahkan di lingkungannya, menjadi contoh nyata akhlak Islami. Namun, tak sedikit pula yang menjadikan Muhammadiyah sebatas simbol: hadir saat Musyawarah, absen dalam dakwah keseharian. Padahal, organisasi ini hanya akan kuat bila nilai-nilai itu hidup dalam diri setiap anggotanya, bukan hanya dalam AD/ART.
Mari kita tengok contoh nyata. Seorang guru Muhammadiyah di sebuah sekolah pelosok Kalimantan, dengan fasilitas terbatas, tetap setia mendidik anak-anaknya. Ia tidak hanya mengajarkan matematika, tetapi juga menghidupkan semangat Islam berkemajuan dengan mengajarkan disiplin, kebersihan, dan kepedulian sosial. Ada pula seorang dokter di rumah sakit Muhammadiyah yang dikenal tidak pernah membeda-bedakan pasien—apakah mereka kaya atau miskin. Ia mempraktikkan nilai dakwah bil hal dengan melayani sepenuh hati, menjadikan profesinya sebagai ladang ibadah. Atau seorang aktivis sosial muda Muhammadiyah yang menginisiasi gerakan lingkungan di kampungnya, mengajak warga menanam pohon dan mengelola sampah. Mereka adalah wajah nyata dari orang Muhammadiyah yang benar-benar dimuhammadiyahkan.
Mengapa proses ini penting? Karena berorganisasi tanpa nilai hanya akan melahirkan rutinitas kosong. Muhammadiyah bukan sekadar struktur besar dengan jutaan anggota, tetapi sebuah gerakan dakwah yang seharusnya hadir di setiap sudut kehidupan. Jika orang Muhammadiyah tidak dimuhammadiyahkan, maka kita berisiko kehilangan ruh gerakan—tinggal nama tanpa daya ubah.
Lalu bagaimana langkah konkret untuk memuhammadiyahkan orang Muhammadiyah?
Pertama, dengan keteladanan pimpinan—uswah hasanah. Kader muda akan belajar lebih banyak dari sikap seorang pemimpin dibanding seribu ceramah.
Kedua, dengan perkaderan yang tidak hanya administratif, tetapi menanamkan nilai dan spiritualitas.
Ketiga, dengan menghidupkan dakwah bil hal: menjadi guru yang ikhlas, dokter yang jujur, pengusaha yang amanah, aktivis sosial yang tulus.
Keempat, dengan membangun budaya reflektif: tidak hanya sibuk agenda organisasi, tetapi juga muhasabah diri.
Akhirnya, menjadi Muhammadiyah bukan sekadar soal struktur atau posisi. Ia adalah soal laku hidup sehari-hari: bagaimana kita beribadah, bekerja, bermasyarakat, dan memberi manfaat.
Memuhammadiyahkan orang Muhammadiyah berarti memastikan setiap kita benar-benar menghidupkan nilai Islam berkemajuan dalam diri. KH. Ahmad Dahlan berpesan, “Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah.” Pesan ini tetap relevan
hingga kini—bahwa Muhammadiyah hanya akan hidup bila setiap warganya benar-benar dimuhammadiyahkan.
Wallahu a’lam Bish Shawab (***)