Medan Krisis Akut: Parkir Liar, Rayap Besi, dan Negara yang Abai
Kota Medan tengah diguncang krisis ketertiban yang makin sulit disembunyikan. Di balik jargon “kota modern dan tertib”, realitas lapangan memperlihatkan wajah sebaliknya: praktik parkir liar, pungutan liar (pungli), dan pencurian fasilitas umum kian marak. Dari pusat kota hingga gang-gang sempit, rayap besi, sebutan bagi pencuri penutup drainase, pagar, dan rambu jalan, bergerak bebas, merampas keamanan warga dan menelanjangi kelemahan sistem pengawasan pemerintah.
Sayangnya, Pemerintah Kota dan DPRD Medan tampak gagal membaca kedaruratan situasi ini. Alih-alih menghadirkan solusi konkret, yang tampak justru kebijakan tambal sulam dan reaktif. Pencabutan aturan parkir berlangganan, misalnya, memperlihatkan kebingungan antara orientasi pelayanan publik dan kepentingan politik. DPRD seolah lebih sibuk berdebat soal retribusi ketimbang menata sistem parkir yang adil dan transparan. Sementara pemerintah kota terus menggembar-gemborkan digitalisasi e-parking, tapi gagal memastikan aparat di lapangan bekerja tanpa kompromi dengan para “penguasa” parkir liar.
Dari perspektif hukum, situasi ini adalah bentuk nyata kelumpuhan negara di ruang publik. Padahal, perangkat hukum sudah tersedia: Perda Nomor 9 Tahun 2016 tentang Retribusi Jasa Umum, kebijakan parkir elektronik, hingga peraturan tentang perlindungan aset publik. Namun semua berhenti di atas kertas. Titik-titik parkir strategis justru dikendalikan kelompok tak resmi yang mengatasnamakan “komunitas” atau “ormas”. Aparat kerap enggan bertindak, entah karena takut, terbiasa, atau terlibat. Adapun pencurian besi fasilitas umum berlangsung terus-menerus, bahkan di lokasi yang terang benderang. Ketika hukum tak ditegakkan, yang tumbuh bukan ketertiban, melainkan rasa acuh dan ketakutan kolektif.
Dari sisi sosial, fenomena ini menunjukkan retaknya kontrak sosial antara warga dan pemerintah. Banyak pelaku parkir liar dan pencuri besi datang dari kelompok miskin perkotaan yang terpinggirkan. Mereka bekerja di luar sistem formal karena merasa tidak punya pilihan lain. Namun alasan ekonomi tak bisa dijadikan pembenaran atas pelanggaran hukum. Pemerintah memang menindak sebagian pelaku, tetapi gagal mengobati akar masalah: kemiskinan, pengangguran, dan absennya ruang sosial produktif. Di sisi lain, warga sendiri makin permisif—lebih memilih membayar parkir ilegal “daripada ribut”. Ketika penyimpangan diterima sebagai kebiasaan, maka masyarakat kehilangan kepekaan moral terhadap hukum.
Secara ekonomi, dampaknya jelas. Kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor parkir masih tinggi karena transaksi tunai tak tercatat. Kerugian akibat pencurian rayap besi mencapai ratusan juta rupiah tiap tahun. Fasilitas umum yang rusak harus diperbaiki dengan dana publik, menggerus anggaran kota. Parkir liar juga menurunkan kenyamanan usaha dan menciptakan ketidakpastian bagi investor. Tak ada pelaku usaha yang mau menanam modal di kota yang dikuasai oleh pungli, parkir liar, dan pencurian besi di pinggir jalan.
Farid Wajdi
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020






