MBG Sekadar Gimik: Rp223 Triliun Pendidikan Tersedot untuk Makan Gratis
Polemik anggaran pendidikan kembali mengemuka setelah pemerintah resmi menetapkan Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan alokasi fantastis Rp335 triliun pada RAPBN 2026. Dari jumlah itu, sekitar Rp223 triliun bersumber langsung dari pos pendidikan. Angka yang semula dimaksudkan untuk memperkuat fondasi pendidikan nasional kini menyulut perdebatan panjang: apakah negara tengah menanam investasi jangka panjang, atau justru menyajikan gimik politik yang mengorbankan hal-hal paling mendasar dalam dunia pendidikan?
Kekhawatiran itu beralasan. Infrastruktur pendidikan masih compang-camping. Di berbagai pelosok negeri, ruang kelas rusak, laboratorium minim, bahkan toilet layak pun sering absen. Data resmi menunjukkan belanja modal MBG untuk sarana sekolah hanya sekitar Rp3 triliun—sangat kecil dibanding total paket. Padahal, program makan gratis berskala nasional pasti membutuhkan dapur, ruang makan, tempat penyimpanan, hingga tenaga tambahan. Tanpa itu, sekolah berpotensi menjadi sekadar ruang distribusi makanan, bukan pusat belajar yang bermartabat.
Belum lagi soal guru. Wajah kesejahteraan guru, terutama honorer, masih jauh dari ideal. Banyak di antaranya menerima gaji di bawah UMR, hidup dari kontrak pendek, tanpa kepastian karier. Namun pos terbesar justru terserap pada pengadaan makanan, bukan penguatan SDM pendidik. Bukankah kualitas pendidikan lebih ditentukan oleh kualitas guru ketimbang lauk pauk di meja makan? Menyisihkan ratusan triliun dari pos pendidikan tanpa jaminan peningkatan kesejahteraan guru ibarat membangun rumah besar tapi mengabaikan fondasinya.
Perguruan tinggi dan riset pun tak luput dari imbas. Anggaran riset nasional sudah tipis, sementara kebutuhan inovasi semakin besar di era kompetisi global. Jika sebagian besar anggaran pendidikan terpaksa dipangkas untuk MBG, peluang perguruan tinggi untuk menghasilkan riset unggul bisa semakin mengecil. Di tengah gempuran teknologi baru, dari kecerdasan buatan hingga energi terbarukan, kekurangan dana riset sama artinya dengan menutup jendela masa depan.
Memang, MBG bukan tanpa manfaat. Pengalaman India dengan Mid-Day Meal atau Amerika dengan National School Lunch Program menunjukkan program makan sekolah dapat meningkatkan kehadiran, memperbaiki gizi, bahkan memacu capaian belajar. Namun, ada perbedaan mendasar: di negara-negara tersebut, pembiayaan program tidak sepenuhnya dipikul dari pos pendidikan. India membaginya antara pusat dan negara bagian; AS menempatkannya di bawah USDA dengan kanal fiskal tersendiri. Brasil bahkan mengaitkannya dengan program pertanian keluarga. Artinya, beban tidak murni ditanggung sektor pendidikan.
Di Indonesia, jalan yang ditempuh berbeda: angka pendidikan “dipercantik” oleh pos MBG, namun isinya tergerus untuk sesuatu yang belum tentu memperkuat inti persoalan pendidikan. Inilah yang membuat sebagian pakar menilai alokasi pendidikan sekadar gimik—indah di permukaan, rapuh di dalam.
Nutrisi anak jelas penting, terlebih bagi keluarga miskin. Namun keadilan kebijakan menuntut agar pos pendidikan tidak dijadikan keranjang serbaguna yang memikul semua program sosial. Pendidikan punya misi khusus: mencetak manusia unggul, kreatif, dan berdaya saing. Itu mustahil tercapai bila infrastruktur terbengkalai, guru tetap miskin, riset terabaikan.
Kemajuan pendidikan nasional kini jadi taruhan. Jika pemerintah tak segera menata ulang pembiayaan, melibatkan lintas sektor, serta melindungi alokasi untuk guru, riset, dan sarana sekolah, maka MBG hanya akan menjadi pesta sesaat—kenyang sementara, lapar berkepanjangan. Pendidikan butuh visi jangka panjang, bukan sekadar sajian instan.
*** Farid Wajdi
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020

