MBG, Populisme Anggaran Mengorbankan Pendidikan
Keputusan pemerintah mengalokasikan 44,2 persen anggaran pendidikan untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) menimbulkan tanda tanya besar. Alih-alih memperkuat akses dan mutu pendidikan, sebagian besar dana justru digeser ke program yang efektivitasnya masih dipertanyakan. Lebih dari sekadar perdebatan teknis, langkah ini menyentuh inti persoalan: apakah negara sungguh menempatkan pendidikan sebagai prioritas pembangunan manusia, atau sekadar menjadikannya dompet politik populis?
Mahkamah Konstitusi telah menegaskan hak pendidikan gratis tanpa pungutan sebagai mandat konstitusional. Namun, realitas menunjukkan putusan tersebut tidak diindahkan. Pemerintah memilih fokus pada MBG, sebuah program yang—meskipun memiliki tujuan mulia mengurangi stunting—belum terbukti efektif dalam praktiknya. Studi dari UGM dan sejumlah lembaga menunjukkan distribusi bermasalah, kualitas gizi tidak terjamin, serta minim keterlibatan ahli gizi dan pengawasan publik. Karena itu, memindahkan hampir separuh anggaran pendidikan ke MBG bukan hanya salah kaprah, tetapi juga mengabaikan kewajiban negara untuk menegakkan konstitusi.
Masalah kedua terletak pada misalokasi anggaran. Pendidikan memiliki kebutuhan mendesak: peningkatan kualitas guru, perbaikan fasilitas, digitalisasi pembelajaran, hingga menghapus pungutan liar di sekolah. Mengorbankan hal-hal mendasar itu demi proyek makanan massal sama artinya dengan menambal luka di kaki dengan merobek kulit kepala. Masalah gizi jelas penting, tetapi solusinya lebih tepat dibiayai dari pos kesehatan, ketahanan pangan, atau perlindungan sosial—bukan dengan memangkas nafas pendidikan.
Lebih parah lagi, MBG berpotensi menjadi lahan rente. Transparency International Indonesia telah mengingatkan adanya risiko korupsi yang besar: pengadaan massal yang rawan mark-up, distribusi tak transparan, hingga monopoli penyedia. Tanpa regulasi ketat, audit independen, dan partisipasi masyarakat sipil, MBG lebih mirip proyek politik ketimbang investasi sosial. Kita tentu tidak ingin menyaksikan program bergizi gratis berubah menjadi pesta rente dengan bungkus kesejahteraan rakyat.
Tentu, pemerintah bisa berargumen MBG adalah ikhtiar menghadapi stunting dan gizi buruk. Tetapi harus diingat, efektivitas kebijakan tidak bisa diukur hanya dari niat baik, melainkan dari hasil nyata. Jika stunting tetap tinggi sementara kualitas pendidikan justru merosot akibat anggaran terpangkas, maka generasi mendatang menerima kerugian ganda: tubuh yang lemah dan pikiran yang tumpul.
Apa yang semestinya dilakukan? Pertama, pemerintah harus menghentikan praktik serampangan menggeser anggaran pendidikan untuk program non-pendidikan. Kedua, bila MBG tetap dianggap strategis, perlu dasar hukum yang jelas, pos anggaran yang tepat, serta mekanisme transparansi dan akuntabilitas yang ketat. Ketiga, putusan MK tentang sekolah gratis wajib dipatuhi penuh—sebab mengabaikan konstitusi hanya akan melemahkan legitimasi negara di mata rakyat.
Pendidikan adalah investasi jangka panjang, bukan ruang eksperimen politik sesaat. Menggadaikan hampir separuh anggarannya untuk MBG sama dengan mempertaruhkan masa depan bangsa. Jika pemerintah serius memperjuangkan gizi anak, silakan lakukan, tetapi jangan dengan cara merampas hak pendidikan.
Publik mengaingatkan para pengambil kebijakan untuk berhenti terjebak pada populisme anggaran. Sudah saatnya keberanian politik ditunjukkan bukan dengan program yang mudah dipasarkan, melainkan dengan komitmen teguh menjaga konstitusi dan menempatkan pendidikan sebagai jantung pembangunan nasional.
Farid Wajdi
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020