MASALAH IBADAH PADA SAAT BENCANA*
Oleh : Faisal Amri Al- Azhari S.Th.I., M.Ag
_[ Diringkas dari HPT 3, Berita Resmi Muhammadiyah: Fikih Kebencanaan dan Tuntunan Shalat, dan Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19 ]_
Pelaksanaan ibadah pada saat bencana sesungguhnya dapat dilaksanakan di atas *dua prinsip umum*, yaitu prinsip *kemudahan (taysīr)* dan *perubahan hukum sesuai dengan perubahan situasi* (taghayyuru al-aḥkām bi taghayyuri al-zamānwa al-makān wa al-aḥwāl).
Manusia hanya diminta untuk melaksanakan hak Allah sesuai dengan batas maksimal yang ia miliki (taqwāllāh ‘alā qadri al-istiṭā’ah).
Di bawah ini telah diidentifikasi *sepuluh permasalahan yang paling sering muncul pada situasi bencana* dan kemudian dijelaskan hukum fikih terkait dengannya.
1. Cara Bersuci dalam Situasi Darurat: Tayamum
Dalam kondisi di mana tidak memungkinkan untuk berwudlu dan mandi besar karena berbagai alasan, Allah Swt. sesungguhnya telah menentukan tayamum sebagai penggantinya.
Tayamum dilakukan untuk bersuci dari hadas kecil maupun hadas besar (QS an-Nisa’/4: 43 dan al-Maidah/5: 6).
_[ Hadas kecil adalah kentut, buang air kecil dan air besar dan tidur nyenyak dengancara terlentang. Sedangkan hadas besar adalah: melakukan hubungan seksual, mengeluarkansperma dan selesai haid dan atau nifas ]_
Adapun *cara tayamum* yang diajarkan Rasulullah Saw (HR al-Bukhari dan Muslim):
* Menepukkan kedua telapak tangan ke tempat debu suci atau bagian permukaan dari sesuatu yang dianggap bersih
* Menghembus kedua telapak tangan itu
* Mengusapkannya ke muka
* Mengusapkannya pada kedua tangan sampai pergelangan tangan.
2. Salat dengan Pakaian yang Terkena Najis atau Kotor
Dalam Alquran ketika salat kenakan pakaian yang bersih dan indah (QS al-A’raf/7:31). Dalam hadis riwayat Muslim Nabi kemudian dijelaskan pula bahwa pakaian yang najis tidak sah dipakai salat.
_[ Beberapa hal yang dapat dikategorikan sebagai najis dalam fikih adalah: (1) Kotoran dan muntah manusia; (2) Air mażi dan wadi; (3) Kotoran hewan, khususnya yang haram untuk dimakan: (4) Bangkai hewan; (5) Anjing dan babi ]_
Namun dalam *kondisi bencana, di mana tidak memungkinkan untuk berganti pakaian yang bersih*, hal tersebut dapat dimaklumi dan salat seseorang menjadi *sah*.
*Kewajiban salat tetap harus ditunaikan* sekalipun salah satu syarat sahnya tidak terpenuhi. Inilah yang disebut sebagai kondisi darurat yang menyebabkan terjadinya *pengecualian (al-istiṡnā).*
3. Melaksanakan Salat dengan Aurat tidak Tertutup Sempurna
Dalam kacamata fikih, kondisi bencana juga sebenarnya dapat digolongkan ke dalam situasi darurat. —Dengan demikian, *hukum salat tetap wajib dilaksanakan walaupun aurat tidak bisa tertutup secara sempurna*. Allah berfirman:
فَاتَّقُوا اللهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ .
_”Maka bertakwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu”._ [QS at-Taghābun/64: 16].
Kaedah fikih yang terkait dengan permasalahan ini adalah:
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيْر
_”Kesulitan menimbulkan kemudahan”._
4. Teknis Salat dalam Suasana Bencana
Dalam situasi di mana masyarakat sedang mengalami bencana atau dalam kondisi siaga bencana, maka pelaksanaan salat dapat menggunakan rukhsah (keringanan). *Salat dapat dilakukan dengan dijamak.* Pelaksanaan salat jamak, dapat dilakukan dengan *cara takdim atau takhir*.
Dalil dari pelaksanaan salat jamak adalah riwayat Muslim dari Ibnu Abbas. Dalam hadis itu diceritakan Rasulullah menjamak salattidak dalam situasi bencana (ketakutan), melainkan dalam kondisi normal.
Maknanya, dalam *situasi bencana maka salat jamak dapat dilakukan*. Dalam situasi bencana, bagi siapa saja yang mengalami kesulitan untuk berdiri dalam melaksanakan salat karena *cedera yang menimpanya* atau karena alasan lain, maka ia bisa *mengerjakannya dengan duduk*. Jika tidak mampu duduk, ia bisa melakukannya *sambil berbaring.*
Mengganti Lafaz Azan: Hayya ‘ala ash-Shalaah:
_[ *Azan* sebagai penanda masuknya waktu salat tetap dikumandangkan pada setiap awal waktu salat wajib dengan *mengganti* kalimat “ḥayya ‘alaṣ-ṣalah” dengan *“ṣallū fī riḥālikum”* atau *ṣallū fī buyūtikum* (salatlah kalian di rumah masing-masing), atau lainnya sesuai dengan tuntunan syariat. _ (HR al-Bukhari dari Ibnu Umar dan Muslim dari Ibnu Abbas). ]_ (PP Muhammadiyah, _Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19,_ h. 20).
Boleh tidak Salat Jumat_
_[ Salat *Jumat diganti dengan salat Zuhur* (empat rakaat) di rumah masing-masing. Hal ini didasarkan kepada keadaan masyaqqah dan juga didasarkan kepada ketentuan (dalam hadis Ibnu Abbas) bahwa salat Jumat adalah kewajiban pokok, dan mafhumnya salat Zuhur adalah kewajiban pengganti ]_. (Ibid,_ h. 17-19).
5. Salat Pada Situasi Evakuasi
Dalam kondisi salat tidak dapat dilakukan pada waktunyakarena *alasan emergency,* maka *salat dapat dilakukan pada waktu yang memungkinkan (aman dan tidak berbahaya)*.
Pada dasarnya tidak ada dalil yang kuat untuk mengqada salat, terutama bagi mereka yang sengaja meninggalkan salat. Akan tetapi jika ada seseorang yang tidak melaksanakan salat pada waktunya karena ada halangan syar’i seperti tertidur atau karena lupa, maka yang bersangkutan melakukan salat ketika ia terbangun atau ketika ingat (berdasarkan hadis riwayat at-Tirmizi dari Abu Qatadah).
Permasalahan kehilangan waktu *salat karena situasi evakuasi dapat diqiyaskan dengan orang yang ketiduran dan lupa*. ‘Illahnya adalah sama-sama meninggalkan salat secara tidak sengaja.
6. Batasan Waktu Jamak pada Saat Bencana
Dalam hadis Nabi disebutkan bahwa bagi yang dalam kondisi safar (perjalanan), batasan waktu jamak qasar baginya adalah 19 hari (HR al-Bukhari dari Ibnu Abbas).
Sedangkan bagi yang berada *dalam kondisi bencana, tidak ada batasan pasti kapan paling lama jamak dilakukan.* Batasan sebenarnya adalah hilangnya kesukaran (masyaqqah) dan kesempitan (haraj) itu sendiri.
Jadi, jika situasi yang menyulitkan untuk salat tanpa jamak berlangsung lama, maka selama waktu tersebutlah jamak dapat dilakukan.
7. Tidak Memaksakan Diri Puasa pada saat Pengungsian
Bagi orang yang sakit dan sedang melakukan safar, mereka dibolehkan untuk tidak berpuasa dan mengqadhanya di hari yang lain. Demikian pula hukum tersebut berlaku bagi orang yang sedang berada dalam kondisi bencana, baik relawan ataupun korban. Hal tersebut disebabkan karena mereka menjumpai kesulitan dan kesukaran untuk tetap melakukan kewajiban puasa sebagaimana mestinya. Bahkan bisa jadi kesulitan untuk berpuasa yang dihadapi pada saat bencana lebih berlipat dibandingkan bagi orang yang sekedar sakit atau berpergian. Oleh karena itu, adalah suatu tindakan yang kurang tepat jika tetap berpuasa padahal tidak mampu dan berada dalam situasi sulit, seperti kondisi ketiadaan logistik. Firman Allah (QS al-Hajj/22: 78).
8. Memperlakukan Jenazah Korban Bencana
Dalam kondisi bencana yang menelan korban dalam jumlah masif sehingga menyulitkan untuk diperlakukan sesuai dengan hukum asal, maka jenazah tersebut boleh untuk *tidak dimandikan dan dikafani*. Namun jenazahnya *tetap wajib untuk disalatkan.* Jenazah cukup dibungkus dengan pakaian yang ada maupun kain yang ditemukan seadanya.
_[ Apabila dipandang darurat dan mendesak, jenazah dapat dimakamkan *tanpa dimandikan dan dikafani* ]_. ( Tuntunan Ibadah dalam Kondisi Darurat Covid-19, h. 27).
*Terkait dengan penguburan*, hal tersebut bisa dilakukan secara massal dan tidak perlu dipisahkan antara pria dan wanita. Dalilnya QS al-Baqarah/2: 286.
9. Salat Gaib untuk Mafqūd (Jenazah yang Hilang yang Sudah Diyakini Meninggal)
Melakukan salat jenazah untuk orang yang jasadnya hilang atau tidak ditemukan adalah ibadah yang masyruk. Syaratnya adalah adanya keyakinan menurut kelaziman alam bahwa orang tersebut sudah benar-benar wafat, seperti terkubur puluhan meter di bawah longsoran atau hanyut di laut selama berhari-hari.
Dalilnya adalah keumuman praktek Nabi yang menyalatkan jenazah setiap muslim yang meninggal. Selain itu ini dapat pula *diqiyaskan kepada praktek salat gaib* (salat yang jenazahnya tidak di hadapan). Rasulullah Saw. pernah melakukan salat gaib untuk wafatnya raja Najasyi Ethiopia.
10. Dana Zakat untuk Korban Bencana
Allah Swt. telah menentukan delapan golongan yang berhak menerima zakat (QS at-Taubah/9: 60). Ayat di atas memang tidak secara spesifik menyebutkan korban bencana sebagai salah satu yang berhak menerima dana zakat.
Namun demikian, melihat kondisi yang sedang dialami oleh *korban bencana*, tidak menutup kemungkinan mereka *mendapatkan bagian dari dana zakat dengan menganalogikannya sebagai golongan fakir dan miskin,* dengan pertimbangan bahwa korban bencana berada dalam kondisi sangat membutuhkan, sebagaimana pengertian fakir dan miskin menurut jumhur ulama adalah orang-orang yang dalam kondisi kekurangan dan membutuhkan.
Dari keterangan di atas, kiranya sudah dapat difahami bahwa penyaluran dana zakat untuk korban bencana dibolehkan dengan *ketentuan diambilkan dari bagian fakir miskin*, atau boleh juga dari bagian orang yang *berhutang (ghārimin)*, karena dimungkinkan untuk memenuhi kebutuhannya, korban bencana harus berhutang. Dengan demikian bagian mustahiq yang laintidak terabaikan, karena dapat disalurkan secara bersama-sama. [ * ]
*** Penulis, Faisal Amri Al Azhari S.Th.I., M.Ag, Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Sumatera Utara dan Dosen AIK UMSU

