Mari Sebarkan Informasi dengan Adab dan Akhlak yang Lurus!
Menyebarkan informasi harus disertai dengan adab dan akhlak yang lurus. Jika tidak, sebuah unggahan dapat menjatuhkan nama baik seseorang dalam hitungan detik. Di tengah gegap-gempita dunia digital, banyak orang lupa bahwa menyebarkan informasi juga tanggung jawab moral bahkan hukum.
Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah, melalui Fikih Informasi, memberi panduan penting bagi umat Islam dalam mengelola arus data dan opini yang kian tak terbendung. Fikih ini bukan sekadar kumpulan hukum, tetapi peta moral untuk membangun peradaban informasi yang berkeadaban.
Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. telah meletakkan dasar adab berinformasi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِن جَاءَكُمْ فَاسِقٌۢ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَن تُصِيبُوا قَوْمًۢا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَىٰ مَا فَعَلْتُمْ نَـٰدِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman! Jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya, yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” (QS al-Ḥujurāt [49]: 6)
Ayat ini adalah dalil utama prinsip tabayyun atau verifikasi sebelum menyebarkan berita. Disamping sebagai etika jurnalistik, tabayyun perintah wahyu. Dalam konteks digital, tabayyun berarti fact-checking, bukan forward-checking. Artinya, kabar tidak boleh berlanjut sebelum kebenarannya jelas.
Majelis Tarjih menegaskan bahwa penyebaran informasi tanpa tabayyun adalah bentuk iftira’ (tuduhan palsu) dan bisa menjadi fitnah yang memecah belah umat. Dalam istilah mereka, Fikih Informasi menolak budaya “asal viral” dan menyeru umat agar “tabayyun sebelum tayang”.
Informasi sebagai Amanah
Islam memandang informasi bukan sebagai komoditas, melainkan amanah. Dalam Fikih Informasi, amanah ini diwujudkan dalam tiga tingkat panduan etis:
- Nilai dasar (al-qiyam al-asâsiyyah): kejujuran (ṣidq), keadilan (‘adl), dan tanggung jawab (amānah).
- Prinsip umum (al-uṣūl al-kulliyyah): kehati-hatian, keseimbangan, keterbukaan, dan kemaslahatan.
- Pedoman praktis (al-aḥkām al-far‘iyyah): tata cara memperoleh, memproduksi, dan menyebarkan informasi dengan adab.
Dengan demikian, setiap klik, unggahan, atau kutipan bukanlah tindakan netral; semuanya bernilai moral.
Dalam salah satu kaidahnya disebutkan: “Informasi yang benar wajib disampaikan dengan cara yang baik; informasi yang salah wajib dicegah penyebarannya.” Ini menegaskan bahwa kebenaran dalam Islam tidak boleh disampaikan dengan cara yang merusak.
Artinya, setiap orang berhak menyuarakan pendapat, tetapi tidak berhak merusak kehormatan orang lain. Tidak ada kebebasan untuk menyebar kebohongan, karena dalam Islam, kebohongan bukan ekspresi, tetapi pengkhianatan terhadap kebenaran.
Rasulullah Saw. bersabda:
كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ
“Cukuplah seseorang dikatakan berdusta jika ia menceritakan semua yang ia dengar.” (HR. Muslim)
Hadis ini seakan ditujukan langsung untuk generasi forward message masa kini. Tidak semua yang kita dengar, baca, atau terima perlu disebarkan. Sebagian informasi cukup berhenti di kita, disaring, dipikirkan, dan ditimbang maslahatnya.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
مَّا يَلْفِظُ مِن قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tidak ada suatu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di sisinya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).” (QS Qāf [50]: 18).
Kalimat ini menegaskan bahwa setiap ucapan termasuk teks, komentar, dan unggahan itu dicatat. Dunia maya bukan ruang kosong dari moralitas. Jejak digital kita adalah saksi yang tidak bisa dihapus oleh fitur “delete”. (muhammadiyah.or.id)
