Literasi Etika di Jalan Raya Bersama MPI Muhammadiyah Sumut
Oleh : Dr. Robie Fanreza MPd.I, Dosen UMSU
Giat hari ini menjadi momen berharga bagi penulis yang mendapat kehormatan memenuhi undangan Majelis Pustaka dan Informasi (MPI) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Sumatera Utara dalam rangkaian acara Podcast Literasi bertema “Etika di Jalan Raya.” yaitu abangda Saiful Hadi dan timnya.
Penulis menyampaikan rasa terima kasih atas kesempatan istimewa untuk berbagi pandangan dan edukasi terkait pentingnya etika di ruang publik melalui literasi. Dalam kesempatan tersebut, penulis juga menyerahkan beberapa karya buku kepada MPI Muhammadiyah Sumut sebagai bentuk dukungan terhadap gerakan literasi, khususnya bagi generasi muda atau Generasi Z yang hidup di era digital.

Adapun karya yang diserahkan meliputi buku “Media Pembelajaran,” “Teknologi Informasi Pendidikan,” “Ramadhan Berdampak,” dan karya terbaru yang kini tengah viral, “Etika di Jalan Raya.” Melalui karya-karya tersebut, penulis berharap dapat memberikan kontribusi nyata dalam membangun kesadaran literasi, menumbuhkan etika sosial, serta memperkuat karakter generasi penerus bangsa.
Kegiatan ini diakhiri dengan sesi wawancara bersama tim MPI, yang membahas relevansi etika di jalan raya dalam membentuk perilaku sosial masyarakat dan menciptakan peradaban kota yang lebih beradab.
- Apa sesungguhnya yang terjadi di jalan raya kita?
Jalan raya kita kini mencerminkan krisis etika publik. Banyak orang mengemudi tanpa kesadaran moral, karena ruang jalan dianggap hanya tempat berpindah, bukan ruang sosial yang menuntut tanggung jawab bersama. Etika di jalan sesungguhnya adalah kesediaan berbagi ruang, menghormati hak orang lain, dan menjaga keselamatan bersama.
- Bagaimana membangun etika di jalan raya?
Etika di jalan tidak bisa instan, tetapi harus ditanamkan sejak dini, dimulai dari rumah melalui keteladanan orang tua, diperkuat di sekolah lewat pendidikan karakter, dan dikokohkan di lingkungan sosial melalui budaya tertib dan empati. Jalan raya hanyalah cermin dari apa yang dibentuk di ruang keluarga dan pendidikan.
- Apakah perilaku di jalan mencerminkan akhlak masyarakat?
Ya, sangat mencerminkan. Cara seseorang mengemudi menggambarkan cara berpikir dan beretika dalam kehidupan. Masyarakat yang tertib di jalan biasanya juga tertib dalam urusan sosial, karena akhlak sejati tampak dari bagaimana seseorang bersikap ketika tidak diawasi.
- Perlukah polisi di jalan raya?
Masih perlu dong. Di negara maju, polisi jarang terlihat karena kesadaran masyarakat sudah tinggi dan penegakan hukum berbasis teknologi. Di Indonesia, polisi masih berperan penting sebagai pengingat, pembina, penegak, sekaligus pengendali moral di ruang publik, sampai budaya tertib benar-benar terbentuk.
- Kenapa lampu lalu lintas sering diabaikan di Medan?
Karena sebagian pengendara melihat aturan sebagai beban, bukan panduan moral. Lampu lalu lintas seharusnya menjadi simbol keadilan, semua mendapat giliran. Ketika aturan diabaikan, sesungguhnya kita sedang meniadakan rasa keadilan itu sendiri.
- Mengapa kebiasaan membunyikan klakson begitu berlebihan?
Klakson di kota ini sering digunakan bukan sebagai tanda, tetapi sebagai luapan emosi. Ini menunjukkan rendahnya kesabaran dan empati. Padahal, bunyi klakson semestinya menjadi bahasa sopan santun di jalan, bukan simbol kemarahan.
- Apakah ketidaksabaran di jalan bagian dari rendahnya akhlak?
Benar. Ketidaksabaran di jalan mencerminkan lemahnya pengendalian diri, padahal itu inti dari akhlak. Rasulullah saw bersabda, “Bukanlah orang kuat itu yang menang dalam perkelahian, tetapi yang mampu menahan amarah.” Jadi, kesabaran di jalan adalah ukuran kematangan spiritual seseorang.
- Bagaimana dengan pengendara tanpa helm dan melawan arus?
Itu bukan sekadar pelanggaran lalu lintas, tapi pelanggaran moral. Mereka menyepelekan keselamatan diri dan orang lain. Dalam Islam, menjaga nyawa adalah bagian dari maqashid syariah, tujuan utama agama. Maka, melanggar aturan keselamatan sama saja dengan mengabaikan nilai agama.
- Apa makna kalimat “Ruang publik mencerminkan karakter kolektif”?
Ruang publik adalah cermin moral bersama. Jika jalan raya semrawut, itu pertanda masyarakatnya belum berdisiplin. Sebaliknya, ketika jalan tertib, bersih, dan manusiawi, itu menunjukkan karakter kolektif yang matang dan beradab. Jalan raya adalah “cermin besar” bangsa.
- Closing statement untuk sahabat dakwah?
membangun akhlak, etika, adab dan karakter bukan hanya di masjid, di bangku sekolah, di perguruan tinggi saja, tetapi juga di jalan. Karena jalan raya adalah “mimbar sosial” tempat kita diuji sabar, jujur, dan peduli. Berkendara dengan etika berarti beribadah dalam diam, menebar keselamatan, menjaga harmoni, dan mencerminkan Islam yang rahmatan lil-‘alamin. Fastabiqul Khairat






