Kota Medan Tenggelam, Pemerintahnya Sibuk Berfoto

Banjir yang kembali melumpuhkan Kota Medan pada 12 Oktober 2025 seharusnya menjadi pukulan telak bagi pemerintah kota. Bukan hanya karena lebih dari 10.391 jiwa terdampak dan 3.181 rumah warga terendam di sedikitnya lima kecamatan—Medan Johor, Labuhan, Selayang, Polonia, dan Maimun—tetapi karena peristiwa ini menegaskan sesuatu yang lebih dalam: kegagalan kolektif dalam mengelola ruang, air, dan tanggung jawab publik.
Banjir Medan bukan bencana alam, melainkan bencana kebijakan. Air tidak pernah salah arah; manusialah yang salah menata jalannya. Setiap tahun, kota ini diserang genangan, dan setiap tahun pula pemerintah menjawabnya dengan ritual yang sama: kunjungan lapangan, distribusi bantuan, lalu konferensi pers penuh optimisme. Namun air tidak tunduk pada retorika, dan warga tidak lagi percaya pada janji yang tak pernah mengering.
Wali kota memang turun meninjau lokasi, menembus genangan, menyapa warga, dan menjanjikan langkah cepat. Tapi publik kini sudah jenuh dengan pementasan simbolik. Mereka bertanya lebih tajam: mengapa drainase tak berfungsi? mengapa kolam retensi gagal menampung air? dan ke mana larinya anggaran miliaran rupiah proyek pengendalian banjir? Tidak satu pun pertanyaan itu dijawab secara transparan.
Kritik datang bertubi-tubi dari berbagai penjuru. Warga Pulo Brayan menuding kebijakan pembetonan jalan tanpa perbaikan drainase sebagai penyebab meluasnya genangan. Kawasan yang dulunya aman kini menjadi langganan banjir setiap kali hujan lebat. Di Tanjung Sari, penduduk mengeluhkan banjir yang bertahan berhari-hari dan memunculkan penyakit kulit serta ancaman demam berdarah. Sementara para pakar menilai pembangunan kolam resapan di berbagai titik hanyalah kosmetik—dibangun tanpa studi hidrologi menyeluruh dan tanpa integrasi antarwilayah sungai.
Medan telah terlalu lama hidup dalam paradigma tambal-sulam. Drainase dibersihkan hanya saat menjelang musim hujan; proyek pengendalian banjir disusun tanpa basis data topografi dan curah hujan; dan kawasan resapan terus dikorbankan untuk proyek perumahan dan komersial. Tak ada peta risiko banjir yang diungkap secara publik, tak ada audit kualitas infrastruktur yang bisa diakses warga. Pemerintah lebih sibuk mengelola citra daripada mengelola air.
Sungguh ironis, kota sebesar Medan masih terjebak dalam tata kelola abad lalu. Ketika Jakarta mulai membangun sistem pengendalian air berbasis teknologi, Medan masih berkutat pada pengerukan manual dan klaim keberhasilan semu. Ketika Surabaya memetakan jaringan drainase dalam sistem digital, Medan masih mengandalkan laporan lisan dari lurah dan camat.
Sudah saatnya pemerintah kota berhenti berpose di tengah genangan dan mulai bekerja dengan kepala dingin dan data terbuka. Pertama, audit menyeluruh proyek drainase dua tahun terakhir harus segera dilakukan—termasuk memeriksa kontraktor dan volume pengerukan sungai yang dilaporkan. Kedua, Pemkot wajib memublikasikan peta genangan dan rencana pengendalian banjir secara daring, agar publik bisa memantau langsung progresnya. Ketiga, moratorium izin pembangunan di bantaran sungai dan zona resapan harus diberlakukan, sebelum seluruh kota berubah menjadi kolam buatan.
Banjir kali ini bukan lagi peringatan, melainkan ultimatum. Jika pemerintah kota masih menjawab air dengan kata-kata, maka setiap tetes hujan berikutnya akan menjadi bukti birokrasi Medan lebih pandai berenang di lautan retorika ketimbang mengeringkan akar persoalan. Air boleh surut, tapi ketidakmampuan dan ketidakjujuran pemerintah kota akan tetap menggenang, -lebih dalam dari sekadar banjir yang terlihat hari ini.
***Farid Wajdi
Founder Ethics of Care/Anggota Komisi Yudisial 2015-2020

