Generasi pertama Islam adalah generasi model dalam semua hal perilaku kehidupan. Mereka diberi kemuliaan untuk menjadi orang pertama menikmati Islam. Mereka yang pertama sekali mewujudkan Islam yang disampaikan oleh Nabi Muhammad saw. Bersama dengan Nabi saw mereka meletakkan dasar-dasar utama peradaban Islam. Salah satu yang mereka wariskan secara sempurna adalah persaudaraan Islam. Walau datang dari berbagai latar belakang yang berbeda, dalam interaksi satu sama lain, mereka mengedepankan jalinan keimanan yang terentang melalui ta’liful qulub (kesatuan hati). Kesatuan hati itu adalah karunia yang diberikan Allah kepada mereka setelah mereka beriman.
Mereka memulai persaudaraan itu dengan menyatakan diri total pasrah kepada Allah swt. Bahkan itulah awal keberislaman mereka. Kepasrahan total itu menghasilkan kepribadian yang larut mengikuti irama kesemestaan, yang tunduk kepadaNya sukalera atau terpaksa. Setinggi apapun kedudukan mereka di antara makhluq, tetap saja mereka tidak kehilangan kesadaran bahwa di hadapan Allah mereka hanya hambaNya. Bagi mereka, sebagaimana telah disebutkan Allah bahwa harga diri mereka adalah taqwa. Allah sebagai pusat kendali hidup mereka, memaksa mereka untuk terus meningkatkan kualitas taqwa mereka. Filosofi hidup mereka adalah inna lillahi wa inna ilaihi raji’un yang berarti aku datang dari ALLAH dan akan kembali kepada ALLAH.
Dengan filosofi hidup sedemikian, dalam hal interaksi sosial khususnya kepada sesama mukmin, mereka menatap saudara mukminnya itu dengan cinta. Sementara kepada nabi Saw mereka menetapkan bahwa cinta mereka kepadanya melebihi cinta terhadap diri mereka sendiri. Bagi mereka kekuatan persaudaraan mereka harus menjadi akumulasi ketaqwaan mereka. Tidak ada kekuatan makhluk yang dapat menundukkan mereka, kecuali karena Allah. Harga persaudaraan mereka tidak dapat dibayar oleh kekayaan sebanyak apapun dan tak terpesona oleh godaan sebesar apapun. Hati mereka fokus pada tarikan cinta Rabb mereka. Hubungan mereka sesama manusia dimulai dari sebuah pertanyaan yang terus hidup dan bergema di bawah sadar mereka kepada Allah, “Wahai Rabb, Ridhokah Engkau jika aku melakukan semua ini?”
Salah satu kisah apik yang mencerminkan semua ini adalah kisah Bilal bin Rabbah ra dengan Ammar bin Yasir ra. Sewaktu atas perintah majikan dan para kuffar Quraisy dia disuruh mencambuk Ammar ra, maka ia berkata “ kalian kuliti tubuhku sekalipun tidak akan aku cambuk Ammar, karena ia saudaraku di jalan Allah”. Kita juga disajikan drama faktual kisah sebelum syahidnya Ikrimah bin Abu Jahal ra yang ketika ia sangat butuh minuman saat sakaratul maut, tapi tetap mengutamakan saudaranya yang lain untuk minum. Walau akhirnya seluruh mereka meninggal syahid tanpa meminum air itu setegukpun.
Sebenarnya kulminasi tampilan persaudaraan karena Allah di antara para sahabat mulia itu diabadikan Allah dalam Qs. Al Hasyr, [59]:9-10 yang berbunyi dan orang-orang yang telah menempati kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka (muhajirin). Mereka (Anshor) mencintai orang yang berhijrah kepada mereka (Muhajirin), dan mereka (Anshor) tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin), sekalipun mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara Allah darin kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (muhajirin dan Anshor), mereka berdoa, “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dahulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, sesungguhnya Engkau Maha Penyantun dan Maha Penyayang.”
Bagaimana dengan kita?
Apa yang membedakan kita dengan generasi pertama Islam ini, khususnya ketika menampilkan pola persaudaraan diantara kita sesama mukmin. Jawabnya adalah totalitas keislaman yang sangat berbeda. Kepasrahan kita kepada Allah masih sangat lemah. Kedudukan dunia masih menjadi pertimbangan dominan di antara kita. Kita menjadi kurang mampu saling menghargai karena iman kita. Kita menghormati seseorang karena kekayaan ataupun kedudukannya. Persaudaraan menjadi satu arah. Dan titik utamanya bukan lagi taqwa, melainkan harta dan kedudukan.
Tidak heran jika kemudian perbincangan kita bertabur ghibah. Prasangka kita juga sering tidak baik kepada saudara kita. Kita sering bukan ikut berbahagia dengan nikmat yang diperoleh saudara kita. Jika ada saudara kita bersalah, maka yang berlangsung adalah character assassination. Padahal seharusnya kita memberi nasihat atau menutupi aibnya.
Empati kita juga semakin melemah. Ketika kita memberikan bantuan kepada sesama, maka kita menghitungnya sebagai kehebatan kita. Kita mulai jarang mendoakan apalagi menjenguk yang sakit. Cukup kirim emoji via sosmed. Semua menjadi begitu kering. Semakin mudah=nya fasilitas untuk saling terhubung secara online ternyata bukan membuat hati kita semakin akrab, tapi semakin mengering dan menjauh.
Semua persoalan itu berakar dari melemahnya kemampuan hati untuk menjadi lahan persemaian iman kepada Allah. Berkurangnya kesadaran untuk menyerah kepada Allah swt. Kita tidak lagi mau ikut apa mau Allah, tapi Allah harus maklum dengan apa mau kita. Akhirnya tidak hanya dalam kehidupan public, di ruang-ruang ibadah seperti masjid atau majelis taklim, atau ruang dakwah dan jihad, kita pun kehilangan kemampuan untuk bersaudara karena Allah. Kita menjadi orang yang lebih suka membangun tembok tinggi yang meng antarai antara kita dengan kelompok yang kita anggap berbeda dengan kita. Atau bahkan kita menyerang mereka dengan tuduhan-tuduhan menyakitkan, seakan kita sudah mendapat tiket pasti masuk surga.
Sudah seharusnya kita membangun kembali jembatan persaudaraan yang dibangun di atas dasar taqwa kita kepada Allah. Marilah kita mulai untuk saling tersenyum, saling mendoakan, saling memperluas jejaring orang bertaqwa yang berkolaborasi untuk menegakkan kejayaan Islam. Dan sudah seharusnya kita mengikut jejak generasi pertama dalam membangun persaudaraan diantara mereka.
Masihkan kau melihatku sebagai saudaramu di jalan Allah dan karena Allah?
Abdul Latif Khan
Pembina Rumah Dakwah as Sakinah

