Ramadan Sebagai Bulan Pengkaderan Menuju Insan Muttaqin
Oleh: Drs.H.Talkisman Tanjung, Wkl ketua PDM Mandailing Natal
Salah satu syari’ah Allah yang diperintahkan kepada ummat beriman adalah puasa dibulan Ramadhan. Dan satu-satunya dalil yang memerintahkan itu adalah ayat 183 surat Al-baqarah :
ياءيهاالذين امنوا كتب عليكم الصيام كما كتب على الذين من قبلكم لعلكم تتقون.
Allah SWT mewajibkan berpuasa kepada orang- orang yang beriman disebabkan hanya orang yang berimanlah yang bakal mampu dan mau menjalankan perintah. Karakter yang bisa menerima perintah adalah karakter orang beriman.
Bila dilihat syari’at puasa ini sepanjang sejarah selalu meneguhkan pesan-pesan moral yang kuat bagi para pelakunya, dan moralitas tertinggi sebagai capaian training berpuasa adalah insan yang muttaqin. Namun sebagaimana training-training yang dilakukan didunia ini, tetap saja tidak akan mampu menghasilkan hasil yang utuh 100 persen dari raw input yang menjadi peserta training. Hal itu disinyalir oleh Rasulullah SAW didalam sabdanya :
كم من صاءم ليس له من صيامه الا الجوع والعطس
Artinya, tidak semua orang beriman yang berpuasa itu mampu meraih derajat muttaqin tersebut, dikarenakan kurangnya kesungguhan didalam menjalani ibadah puasa sehingga tidak maksimal.
Kalimat لعلكم, didalam pemaknaannya haruslah dengan sungguh-sungguh. Jadi, mudah-mudahan kamu menjadi orang yang bertaqwa itu haruslah dilakukan dengan cara bersungguh-sungguh. Kemenangan yang diraih atau dicapai dari buah kesungguhan untuk berubah dan menjadi insan yang muttaqin.
Sebagai inti dari disyari’atkannya berpuasa terletak pada upaya pengendalian diri. Pengendalian diri terhadap segala hal, seperti pengendalian diri agar tidak menampilkan hidup mewah dan berlebih-lebihan, pengendalian diri agar tidak selalu mengumbar nafsu dan emosional, pengendalian diri untuk selalu jujur dan tidak menampilkan kebohongan-kebohongan, apalagi kebohongan lublik, pengendalian diri untuk senantiasa berempati kepada orang miskin, pengendalian diri agar senantiasa memiliki sensitivitas dan keberpihakan terhadap fakir dan miskin demikian seterusnya. Dan sebaliknya tidak menampakkan gaya hidup glamour, pamer kekayaan, apalagi kekayaan itu yang diperoleh dari hasil korupsi uang Negara, atau pencucian uang dan sebagainya. Suatu praktek gaya hidup yang sangat tercela, dipertontonkan kepada masyarakat, ternyata hanyalah hasil dari korupsi terhadap kekayaan Negara.
Dan ibadah puasa yang disyari’atkan Allah SWT ini merupakan metode paling efektif untuk berubah, berprestasi dan sekaligus mengadvokasi pemenuhan hak-hak dhu’afa’. Didalam dunia pendidikan, metode yang paling efektif dilakukan adalah metode _learning_ _by experience_, yaitu belajar dengan mengalami langsung hal yang dipelajari. Dan metode tersebut ada pada syari’at berpuasa. Kita diajari untuk berlapar-lapar agar bisa merasakan bagaimana orang miskin merasakan hal yang sama, meskipun yang nereka rasakan itu tidak hanya dalam batas waktu tertentu, tetapi bisa berkepanjangan, karena kemiskinan yang diderita adalah kemiskinan yang permanen dan terstruktur, beda dengan kita yang berpuasa, ketika waktu maghrib masuk, kita sudah bisa kembali hidup normal dengan menikmati segala fasilitas hidup yang kita miliki, bahkan ada yang terkesan balas dendam, sehingga menunjukkan pola hidup yang berlebih-lebihan, misalnya dalam menyiapkan menu berbuka puasa. Nah, disinilah titik kekemahan orang yang berpuasa itu sehingga gagal meraih derajat muttaqin.
Mudah-mudahan setiap tahun kualitas puasa yang kita lakukan semakin membaik agar statemen Rasulullah tentang orang-orang yang gagal meraih buah taqwa tersebut dapat kita hindari dan justru kita akan meraih derajat tertinggi itu yakni insan yang muttaqin. والله اعلم. (***)

