Pisang Kepok
Oleh Safrin Octora
Ini kali kedua, saya melihat laki laki separuh baya itu membeli pisang kepok, tanpa menawar sama sekali.
Pertama sekali saya melihatnya dua minggu yang lalu. Laki laki separuh baya yang bercelana pendek, bersepatu kets dan jaket berlogo UI (Universitas Indonesia) yang menurut perkiraan saya berumur 50 tahun sepertinya sedang berolahraga sore sehabis waktu ashar. Ketika melihat pedagang pisang yang mangkal di depan mesjid Istiqomah dia berhenti sejenak. Memilih milih sesisir pisang kepok dari antara banyak pisang yang ada disitu, lalu menanyakan harganya. Ketika si pedagang menyebutkan sejumlah harga dari pisang itu, si lelaki paruh baya ini langsung membayar. Tidak menawar-nawar lagi, seperti sebagian dari kita yang sering melakukan hal itu.
Lalu sore ini saya jumpa lagi dengan lelaki separuh baya ini. Tetap bercelana pendek, sepatu kets, dan jaket UI seperti minggu lalu. Sedikit berpeluh karena sore ini matahari bersinar agak terik, laki-laki itu menanyakan harga sesisir pisang – tetap juga pisang kepok yang ada disitu. Ketika si penjual menyebutkan sejumlah harga untuk pisangnya itu, laki laki itu membayar dengan uang pecahan Rp.20.000,-. Setelah mendapatkan kembalian, laki-laki ini meneruskan langkahnya menantang matahari – mungkin menuju pulang.
Penasaran dengan cara laki – laki paruh baya itu membeli sesuatu, saya mengejarnya untuk berbincang-bincang. Di keteduhan sebuah warung yang sedang tidak buka untuk menghindari teriknya matahari sore, kami berbincang santai. Setelah berbasa-basi dan saling mengenalkan diri, saya mulai bertanya tentang prilaku si laki-laki paruh baya yang berbelanja tanpa menawar sama sekali.
Sambil tersenyum dan sedikit tertawa kecil laki-laki itu menjawab pertanyaan pertanyaan saya. “Kenapa harus ditawar lagi, kalau harga yang diberikannya sudah standar”, jawabnya santai. Ketika saya sedikit membantah bahwa kalau kita menawar sedikit, pasti pedagang memberikan karena hari sudah sore, laki-laki yang ternyata telah berumur 60 tahun meskipun menurut perkiraan saya masih sekitar 50-an tahun, menjelaskan secara panjang lebar filosofi berbelanja yang “benar”.
Ketika kita akan membeli sesuatu, pasti kita telah memiliki sejumlah uang. Jadi ketika si pedagang menyebutkan sejumlah harga yang masuk akal, maka tidak perlu lagi kita melakukan tawar menawar. Bayar saja sesuai dengan sejumlah harga yang telah disebutkannya. Meskipun dia mendapatkan keuntungan sedikit lebih, – itukan hak dia – setelah satu hari penuh berjualan. Dengan keuntungannya itu dia dapat menghidupi keluarganya. Untuk makan anak istrinya. Untuk biaya sekolah anaknya. Bahkan mungkin sebagian untuk dia bersedekah pada orang lain, yang jauh lebih tidak mampu dari dia.
Jadi kalau kita menawar untuk mendapatkan harga yang lebih murah dengan alasan hari sudah sore, itulah tindakan yang tidak manusiawi sama sekali. Si pedagang mungkin memberikan sesuai dengan harga yang kita tawar, karena takut barangnya tidak laku. Namun prilaku kita itu, menggerus keuntungan si pedagang. Bahkan mungkin rugi. Sehingga hari ini, makan malam dia sekeluarga harusnya nikmat dengan telur dadar, terpaksa tidak terjadi, karena uang untuk membeli telur dari keuntungan berjualan tidak tercapai sama sekali
Lagi pula, berkurangnya harga seribu dua ribu dari hasil tawar menawar yang kita lakukan itu, apakah bisa simpan ? Naik angkot saja, perlu lima koin seribuan. Jadi pada banyak orang nilai seribuan itu sudah tidak ada harga lagi. Namun herannya masih banyak orang yang suka menawar seenaknya, demi mendapatkan selisih harga seribu dua ribu.
Jadi bila kita membeli sesuatu dari seorang pedagang yang telah memberikan harga standar tanpa tawar menawar, pasti hati yang paling dalam dari si pedagang akan senang. Kita pasti didoakan oleh si pedagang tersebut.
Jadi berbelanja dari pedagang-pedagang kecil tanpa melakukan tawar menawar itu memberikan banyak aspek. Aspek kepada diri kita antara lain membuat kita nyaman dalam berbelanja. Prilaku berbelanja yang ngotot dengan tawar menawar, akan mempengaruhi sikap kita.
Lagi pula berbelanja tanpa tawar menawar itu bagian dari peningkatan rezeki. Allah tuhan semesta alam akan melihat prilaku kita yang tidak pelit, maka DIA pun akan membalas prilaku kita dalam bentuk rezeki yang lebih besar. Seperti saya, sampai usia 6o tahun ini, mudah-mudahan dijauhi dari kesulitan mendapatkan rezeki. Rezeki saya tetap mengalir. Tidak banyak namun bisa berbagi.
Seperti hari ini, katanya sambil menunjukkan pisang kepok yang dibelinya namun sudah lembek. “Pisang ini tidak bisa lagi di rebus, seperti kesukaan saya. Kalau tidak saya beli, pisang ini pasti terbuang sia-sia. Si pedagang pasti akan rugi. Jadi saya beli sesuai dengan harga yang dikatakan si pedagang. Di rumah istri saya bisa membuatnya menjadi lepat yang lezat”.
Jadi – anak muda – tetaplah berbagi dengan membeli dari pedagang kecil, tanpa perlu ngotot dengan tawar menawar lagi. Tidak banyak keuntungan yang diambil si pedagang dari harga yang ditawarkannya, namun Anda akan mendapat banyak dari sejumlah uang yang Anda bayarkan. Salah satunya adalah rasa bahagia telah berbagi. Rasa bahagia itu mahal, katanya menutup perbincangan kami.
Betul, kata ku. Rasa bahagia itu mahal, sambil menatap laki-laki berusia 60 tahun namun berpenampilan 50 tahun yang berjalan tegap ke arah barat, ke arah matahari terbenam

