Perlukah Call A Friend ???
Oleh : Safrin Octora
Banyak orang merasa bangga dan senang ketika anaknya dapat kuliah di tempat sahabatnya berada. Alasannya keberadaam seorang sahabat yang menjadi staf pengajar di kampus tersebut akan banyak membantu anaknya dalam meningkatkan nilai. Sehingga muncul istilah call a friend. Menelpon teman yang jadi dosen untuk membantu peningkatan nilai dari anak kita tersebut.
Dalam pandangan saya yang telah 32 tahun (sudah lama kali ya) jadi staf pengajar, prilaku call a friend adalah prilaku orang tua yang tidak yakin kepada kemampuan anaknya sendiri. Sehingga dia mau membuang urat malunya dengan meminta nilai pada temannya itu. Prilaku itu sebenarnya salah sama sekali. Tidak berbeda dengan pengemis.
Pada dasarnya setiap anak yang telah memasuki bangku kuliah, apalagi dia masuk melalui test masuk adalah anak yang mempunyai kemampuan lebih an di atas rata-rata. Si anak tad telah berhasil mengalahkan banyak saingannya, sehingga bisa memperoleh kursi (yang sangat sedikit) di perguruan tinggi yang disukainya.
Dari teori Psikologi, sesuatu yang disukai oleh seseorang pasti dia akan menunjukkan keseriusan. Apalagi bidang pendidikan, yang notabene bisa menjamin dia untuk lebih baik di masa depan, pasti akan membuat dia menyukai pilihannya tersebut. Jadi peran orang tua disini adalah menjaga ritme dan dinamika, agar semangat yang telah dimulai sejak semester satu ketiga awal si anak masuk tetap terjaga hingga semester akhir, ketika dia meinggalkan kampus tercintanya.
Ritme dan dinamika itu bisa dilakukan dengan mengajak anak untuk berbicara secara langsung pada waktu-waktu tertentu. Pada waktu itu orang tua bisa menanyakan perkembangan kuliah, suasana kampus, kegiatan ekstrakurikuler yang diambil, serta suasana pershabatan yang dijalin si anak dengan banyak orang. Komunikasi komunikasi intens dalam suasana akrab, akan membuat si anak pun merasa nyaman untuk bercerita kepada orang tuanya. Pada saat-saat uian, telponlah sianak (bila tinggal berjauhan) dengan mengatakan ibu atau bapak selalu mendoakan keberhasilan anaknya dalam ujian. Lalu ketika awal semester lanjutan akan berlangsung, tanyakanlah hasil ujian yang tersaji lengkap di KHS (kartu hasil studi). Pujilah untuk nilai yang bagus, namun jangan langsung marah untuk nilai yang kurang. Tanyakan apa penyebab nilainya kurang. Lalu doronglah si anak untuk memperbaikinya, ketika ada kesempatan.
Jangan berprilaku kepo (knowing every particular object) pada si anak. Sikap mau ingn tahu segalanya itu, jelas tidak nyaman bagi seorang anak. Namun sikap itu bisa dilakukan dengan melakukan komunikasi pada waktu-esktu tertentu, ketika si anak dalam kondisi nyaman. Jadi hindari bersikap kepo terus menerus.
*****
32 tahun sebagai staf pengajar memberikan pengalaman yang luar biasa pada saya tentang adagium “call a friend”. Saya sering mendapatkan “call a friend”, dengan beberapa kasus yang terjadi. Tiba-tiba ketika perkuiahan telah berjalan setengah semester, saya mendapat “call a friend” agar membantu anaknya. Saya lalu melihat absensi kehadiran si anak. Bila si anak absensinya telah melampaui batas absen, maka saya akan menelpon si “call a friend”, dengan berterus terang, bahwa saya tidak bisa membantu, karena absensi anaknya telah berlebih. Ada aturan jumlah absensi dari level universitas yang harus diikuti. Jadi daripada reputasi yang jatuh, gara-gara membantu anak kolega maka saya lebih memilih tidak membantu. Namun semua itu disampaikan secara baik-baik dengan si kolega.
Saya lebih suka menerima “call a friend”, di awal perkuliahan. Biasanya saya meminta si orang tua untuk menekan anaknya, agar jangan absen ketika mengikuti kuliah (kalau absenya telah 5, selesai sudah, nggak ada ampun). Lalu setiap kuliah saya provokasi si anak “call a friend” tadi untuk menjawab pertanyaan pertanyaan yang saya ajukan. Biasanya awal yang menjadi masalah. Selanjutnya, luar biasa.
Ini pernah saya lakukan kepada anak seorang pimpinan fakultas di kampus saya. Ketika dia “call a friend” di pertengahan kuliah, saya tidak tanggapi. Saya minta dia agar anaknya mengulang pada semester berikutnya. Dari kolega sesama dosen, saya dapat informasi si anak suka absen dan malas mengerjakan tugas. Ketika semester berikutnya masuk, barulah saya lakukan provokasi kepada si anak. Pertanyaan demi pertanyaan saya ajukan. Dari yang sederhana hingga sulit. Begitu juga presentasi tugas. Dari presentasi ikhlas, hingga presentasi wajib. Semua bisa dilakukannya. Sehingga ketika penilaian dilakukan, semua komponen nilai (absensi, tugas, presentasi, uts, dan uas) lengkap. Luluslah si anak dengan nilai sempurna. Anaknya punya kemampuan, tapi karena selama ini orang tuanya selalu melindungi dengan “call a friend” si anak jadi tidak pernah mengeluarkan kemampuannya. Seteah anaknya lulus, apakah kolega yang pimpinan fakultas apakah melakukan “call a friend” lagi untuk berterima kasih. Alhamdulillah : TIDAK. Tapi tidak masalah. Saya bangga memberikan nilai kepada anaknya bukan karena melihat bapaknya, bukan “call a freind”, tapi nilai diberikan karena kemampuan dan prestasi si anak.
Perlukah kita “call a friend” ?
Perlu sekali, agar kolega kita kenal dan dapat memotivasi anak kita untuk ebih berprestasi. Namun tidak perlu kita kasi tahu anak kita, bahwa kita punya kolega, teman ataupun sahabat di kampus tempat dia menuntut ilmu. Agar dia berjuang sama seperti anak-anak yang lain.
Penulis, Safrin Octora, Dosen FISIP USU

