Kereta Angin
Oleh : Safrin Octora
Sepeda, disebut banyak orang di nusantara untuk alat transportasi ini. Tapi kami dulu di Medan menyebutnya dengan nama kereta angin. Saya tidak tahu kenapa sepeda disebut kereta angin, pada waktu itu. Mungkin karena bannya yang terbuat dari karet, diisi dengan angin. Atau mungkin juga untuk membedakannya dengan kereta, yang di Medan artinya sepeda motor. Atau mungkin juga karena kendaraan ini bisa melesat cepat seperti angin, seperti kata Pramudya Ananta Toer dalam bukunya Anak Semua Bangsa yaitu “velocipede buatan Jerman ini sejatinya, kencang seperti angin”.
Velocipede nama lain sepeda dalam bahasa Perancis pada awalnya, meski dibuat di Jerman oleh Baron Karls Drais von Saunbronn 1818. Lalu pelan-pelan velocipede ini mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan zaman. Pedal sebagai bagian perlengkapan sepeda, mulai digunakan pada tahun 1839 oleh Kirkpatrick MacMillan. 1888, teknologi ban angin yang membuat sepeda semakin nyaman dikendarai mulai digunakan setelah ditemukan oleh John Dunlop. Lama-lama namanya berubah menjadi bicycle (roda dua yang berputar) karena memiliki ban yang sama besar dan di negara kita namanya menjadi sepeda.
Sementara itu di Medan sepeda juga mengalami perkembangan dan perubahan. Awal awal dulu sekali, jenis sepeda yang banyak melintas jalan jalan di Medan adalah sepeda onthel. Sepeda onthel adalah sepeda yang berukuran besar, menggunakan palang di tengah dan biasanya digunakan oleh orang dewasa. Namun bila anak anak ingin memakainya, mau tidak mau harus memiringkan badan, kaki yang kanan masuk melalui bawah batang sepeda. Ketika berjalan, sepeda yang didayung oleh anak anak itu agak miring. Umumnya sepeda onthel zaman itu bermerek Raleigh, dan merupakan sisa zaman baheula.

Selain sepeda ontel, zaman saya kecil dulu dikenal juga istilah sepeda sport model. Sampai saat ini saya tidak tahu kenapa dikatakan sepeda sport model. Sepedanya kecil, tidak sebesar sepeda onthel dan tidak ada palang di tengahnya. Umumnya sepeda sport model ini diimpor dari China dengan merek Phoenix ataupun Butterfly. Waktu SMP saya pergi sekolah dengan sepeda sport model itu. Wuich, bangganya pergi sekolah dengan naik sepeda. Lalu muncul sepeda mini yang biasa disebut dengan sepeda sanki. Sepeda sanki umumnya buatan Jepang, dan memiliki keranjang di depannya. Sanki kebanyakan dipakai oleh anak cewek.
Serentak dengan semakin murahnya harga sepeda motor (kereta, bahasa Medan) sepeda mulai ditinggalkan sebagai alat transportasi kota. Sudah mulai jarang orang pergi kerja atau sekolah dengan naik sepeda atau kereta angin. Kereta telah menggantikan sepeda sebagai alat transportasi. Bahkan ketika saya SMA, 1979-1981, beberapa kawan telah membawa sepeda motor meski tidak diparkir di halaman sekolah. Ada beberapa rumah di dekat sekolah yang menyediakan jasa parkir.
Sepeda kembali menjadi bagian dari kehidupan masyarakat di mulai pada awal 2000-an sejak hadirnya sepeda dengan teknologi MTB (mountain bike). Bentuknya yang stylist dengan alur roda yang kasar dan tebal serta stangnya yang lurus, mulai memasuki kehidupan masyarakat. Sepeda model ini cocoknya dipakai untuk off road. Sehingga jalan-jalan perkampungan atau pedesan yang becek, menanjak dan tidak rata mulai menjadi incaran pesepeda MTB. Dampaknya kampung kampung dan desa mulai ramai dengan pesepeda MTB. Merek merek sepeda MTB pada awal-awal dulu adalah Federal ataupun United. Euphoria bersepeda kembali muncul, namun dengan model MTB. Sementara sepeda sport model, mulai ketinggalan zaman dan hilang dari pasaran. Kalaupun ada, sepeda sport model ini hanya digunakan oleh segelintir orang tertentu.
Semangat bersepeda itu terus berkembang. Sepertinya 2020 saat pandemi covid-19 ini, dinamika orang orang untuk bersepeda muncul kembali. Ini mungkin karena adanya anjuran dari pemerintah agar setiap orang meningkatkan imunitas untuk melawan pandemi Covid-19 dengan berolahraga di bawah panas matahari. Salah satu olahraga yang menjadi pilihan adalah bersepeda. Jalan raya mulai diramaikan oleh kelompok kelompok pesepeda. Suasana bersepeda bersama yang riang gembira namun tetap memiliki nilai aerobik mempengaruhi banyak orang. Tiba- tiba banyak orang yang ingin ikut bersepeda.
Akibatnya toko toko sepeda kehabisan stok karena banyaknya orang yang membeli sepeda. Bagi yang tidak kebagian sepeda baru, salah satu jalannya adalah menurunkan MTB yang sempat tergantung di atas para para dapur. Bentuk MTB yang telah tergantung lama itu dan mengalami degradasi warna, mau tidak mau harus dipoles ulang. Ini tugas bengkel-bengkel sepeda untuk membuat sepeda sepeda itu kembali ngejreng. Jadi meski pandemi itu ditakuti dan banyak menggerus rezeki namun disisi lain toko toko dan bengkel sepeda kebanjiran rezeki. Alhamdulillah.
Salah satu sepeda yang naik daun dalam masa pandemi ini adalah sepeda yang diberi singkatan “seli” atau sepeda lipat. Seli sebenarnya sama dengan sepeda sepeda lain. Bedanya Seli adalah sepeda yang bisa dilipat hingga bentuknya menjadi kecil sehingga bisa dijinjing dan dibawa naik bus maupun kereta api. Selain bentuknya kecil dan ringkas dalam mengemas, seli ini juga memiliki nilai lebih dimata penggemar sepeda. Apalagi kalau mereknya Brompton. Harga Brompton yang berkisar dari Rp.37 juta – Rp.99 juta membuat sepeda sepeda lain kehilangan marwah. Adanya Brompton dalam kumpulan sepeda sepeda merek lain, membuat sepeda akhirnya menjadi salah satu bentuk adanya strata sosial dalam kehidupan masyarakat.
Namun sebenarnya bukan itu arti keberadaan bersepeda di masa pandemi Covid-19. Mau sepedanya Brompton ataupun onthel zaman nggak enak, yang dibutuhkan adalah seberapa banyak Anda bisa membakar lemak dengan bersepeda. Kalau bersepeda sekedar gaya-gayaan dengan merek terkenal, rasanya rugi besar yang akan Anda peroleh. Jadi meski sepeda Anda tidak bermerek, namun Anda bisa membakar lemak dalam takaran yang sesuai, maka imunitas Anda akan terjaga. Jadi makna sebenarnya bersepeda di masa pandemi ini adalah untuk meningkatkan imunitas kita agar dapat bertahan dari serangan virus tak berwujud. Bukan untuk gaya-gayaan.
Percayalah.
Penulis, Dosen FKIP USU, Pengamat media dan pesepeda






