Oleh : Safrin Octora
Pagi tadi saya jumpa dengan kawan lama, sesama kuliah. Sebenarnya kami bukan satu angkatan. Dia lebih dahulu setahun kuliah dari saya. Namun entah kenapa, kami sering kuliah bersama. Akibatnya dia lebih akrab dengan angkatan kami, meskipun tidak luput juga berkawan dengan angkatannya. Dia telah purna bakti setahun yang lalu dari sebuah instansi pemerintah dari salah satu kabupaten di Sumatera Utara. Namun sepintas kelihatan sehat.
Namun penglihatan saya itu ternyata keliru. Tiba-tiba dia bercerita. Sabtu yang lalu dia merasakan tidak enak badan berkepanjangan. Oleh tenaga medis yang datang memeriksa, dia dinyatakan memiliki kandungan gula darah yang “high”. Tidak dijelaskan berapa persis angka gula darahnya. Cuma dinyatakan “high” dan diberikan obat.
Saya lalu nyeletuk dengan santai, “ach diabet, ngapain takut”. Dia melihat saya dengan serius. Seakan-akan kaget dengan pernyataan saya yang santai itu tentang salah satu penyakit yang banyak ditakuti orang itu dan banyak diidap orang Indonesia.
Untuk membuat dia mengurangi rasa takut, saya mengatakan bahwa saya adalah pengidap diabetes, sama seperti dia.
“Bahkan sudah lama saya menderita diabetes. Sejak tahun 2003”, kata saya berusaha untuk menyamakan persepsi dengan kawan tersebut. Kajian-kajian komunikasi selalu mengatakan agar kita menyamakan “frame of reference & field of experience” dengan lawan kita berkomunikasi, agar proses komunikasi berjalan dengan baik dan berkesinambungan.
Pernyataan kajian-kajian komunikasi itu ternyata tidak salah sama sekali. Kawan saya itu memandang saya dengan serius dan mengajukan kata tanya, “oh ya”, tanyanya. Iya, jawab saya singkat. Ini ceritanya, lanjut saya.
***
Dorongan dekan itu memacu saya untuk berbuat terbaik. Sehingga datang pagi dan pulang malam (biasanya habis maghrib) adalah bagian dari dinamika kerja. Untuk mendukung dinamika kerja itu, saya selalu makan tepat waktu dengan porsi yang lumayan banyak plus ditambah dengan asupan teh manis. Namun semua itu tidak sesuai dengan kondisi tubuh. Sehingga suatu hari ketika demam, saya berkunjung ke seorang dokter. Dia meminta saya untuk test darah, untuk mengetahui jumlah gula darah. Biasanya gula darah normal berkisar 140 untuk orang yang sehat.
Namun sore itu gula darah saya mencapai angka 250 melalui test pack yang dilakukan. Itu artinya saya mengidap diabetes. Terus terang saya kaget sekali. Umurnya saya waktu itu masih 42 tahun. Cukup muda untuk seorang penderita diabetes. Oleh dokter tersebut saya diberikan semangat untuk bisa menikmati kondisi ini. Diabetes yang saya idap adalah diabetes type dua, kata si dokter, ketika saya mengatakan bahwa bapak ibu saya masih sehat-sehat dan tidak ada menderita diabetes sama sekali. Lalu si dokter menyarakan saya untuk olahraga, minimal 30 menit setiap hari.
Oh ya diabetes itu ada dua jenis. Pertama type 1. Jenis ini biasa diakibatkan oleh proses keturunan. Seorang ibu yang menderita diabetes bisa menyebabkan anaknya yang sedang dikandung akan menderita diabetes juga. Sedangkan diabetes tipe 2, adalah seseorang yang mengidap diabetes karena gaya hidup. Artinya seseorang yang suka makan berlebihan, kurang olahraga, suka mengkonsumsi minuman ringan berlebih, gampang terkena diabetes. Dan itu adalah saya.
Keesokan harinya hingga satu minggu ke depan saya izin untuk tidak masuk kerja, dan kembali berolah seperti biasa. Seminggu kemudian ketika saya harus cek ulang gula darah, angka gula darah turun drastic menjadi 155. Si dokter langsung mengklaim, bahwa saya terkena diabetes tipe 2.
Hari hai berikutnya saya kembali kerja seperti biasa. Namun prilaku berolahraga dan makan dengan standar yang telah ditentukan kembali menjadi terlupa. Nasi bungkus yang porsinya cukup besar itu, seharusnya hanya separuhnya saya habiskan. Namun takut dianggap termasuk kelompok orang-orang yang tidak menghargai makanan dan mubazir, maka sebungkus penuh nasi itupun saya habiskan sendiri.
Terjadilah yang terjadi. Gula darah saya kembali naik. Akhirnya saya harus “bed rest” di rumah sakit selama 10 hari lamanya pada 2009. Tiap hari saya disuntik insulin dengan kadar yang rendah. Sehingga ketika pulang saya disangui oleh dokter beberapa ampul insulin untuk disuntik setiap pagi, sekaligus untuk memudahkan saya ketika membeli ulang, karena mereknya terekat erat di bagian luar ampul tersebut.
Rutinitas menyuntik insulin merupakan bagian dari dinamika saya setiap pagi. Pagi-pagi sebelum makan saya akan mengambil ampul obat diabetes. Lalu saya tusuk permukaannya dengan spit suntik. Pelan-pelan saya tarik obat diabetes yang berbentuk cairan itu ke dalam spit suntik sebanyak beberapa cc, sesuai dengan ketentuan yang telah disebutkan dokter yang merawat. Setelah itu saya membasahi kapas dengan alcohol lalu mengoleskan kapas tersebut di sekitar lingkar pusar. Lalu pelan-pelan saya menusuk spit itu pas diolesan alkohol. Jess, jarum suntik itupun masuk ke kulit. Tidak lama saya menekan bagian atas spit, yang bisa mendorong cairan di tube jarum suntik untuk masuk ke dalam tubuh saya.
Itu berlangsung cukup lama. Namun lama-lama saya bosan juga melakukan rutinitas seperti itu. Bukan apa-apa. Cairan insulin itu harganya mahal. Selain itu rutinitas menusuk bagian lingkar luar pusar itu, capek juga, selain rasa sakit yang timbul ketika itu dilakukan. Pelan-pelan saya meninggalkan rutinitas menyuntik lingkar luar pusar setiap dan menggantikannya dengan aktivitas olah raga. Hasilnya tidak mengecewakan. Ketergantungan dengan insulin itu saya ganti dengan aktivitas berolahraga dan mengurangi porsi makan dan asupan gula. Untuk waktu cukup lama, semua berjalan dengan baik. Asupan makanan saya jaga, plus olahraga teratur dan minum obat rutin, membuat gula darah saya terjaga.
Namun prilaku itu ternyata tidak berlangsung lama. Asupan makanan mulai tidak terjaga lagi. Awalnya mulanya tambah sedikit sedikit, tapi akhirnya terlupa. Begitu juga dengan olahraga. Rutinitas berolahraga pelan pelan hilang, dengan sejuta alasan. Akibatnya angka gula darah saya pelan pelan naik, meski minum obat tetap rutin.
Tahun 2012 kembali saya harus “bed rest” di rumah sakit. Awalnya di bagian kepala saya selalu mengalami sakit. Sakitnya sangat sakit sekali. Ketika sakit itu menyerang, tanpa disengaja saya menyatukan kedua kaki saya dan melipatnya hingga mendekati dada. Oleh dokter di rumah sakit itu yang ahli saraf, saya lalu ditanyakan hal hal yang berhubungan dengan riwayat penyakit yang pernah saya alami. Lalu si dokter berkesimpulan, gula darah saya naik, dan darah saya terhambat untuk berjalan ke arah otak akibat darah saya mengental akibat pengaruh gula. Meskipun demikian si dokter meminta saya untuk melakukan cek darah lengkap dari sebuah laboratorium swasta. Hasil laboratorium sesuai dengan asumsi si dokter. Mulailah saya kembali meminum obat-obat yang berperan untuk mengurangi gula darah. Alhamdulillah 10 hari lagi saya kembali menginap di rumah sakit tersebut. Untunglah asuransi kesehatan dari PT Askes (sekarang BPJS Kesehatan) sangat berperan. Saya dirawat di ruang VIP yang dibayar oleh PT. Askes.
Dua kali dirawat di rumah sakit meskipun dengan bayaran gratis melalui program asuransi, membuat saya jera. Sejak keluar dari rumah sakit yang kedua, saya bertekad untuk tidak lagi mau “bed rest” akibat penyakit diabetes. Mudah-mudahan tekad itu sampai hari ini tepatnya selama 8 (delapan) tahun lamanya, saya belum lagi kembali ke rumah sakit untuk “bed rest”, karena diabetes. Semoga tekad ini terwujud.
Namun pengalaman dua kali masuk rumah sakit mendorong saya berani membuat pernyataan : Hidup Sehat dengan Diabetes. Artinya meski kita penderita diabetes, namun kita tetap bisa hidup sehat seperti orang yang bukan penderita.
Untuk mencapai dinamika Hidup Sehat dengan Diabetes ada beberapa langkah yang dapat kita lakukan.
Pertama : Tetap berkonsultasi rutin dengan dokter atau paramedis langganan kita.
Kedua : Konsumsi obat-obatan diabetes yang telah dianjurkan oleh dokter.
Ketiga : Rutin memakan nasi sesuai dengan porsi yang dianjurkan oleh dokter atau ahli gizi Anda.
Keempat : Berolahraga teratur 30 menit setiap hari.
Kelima : Kurangi makanan dan minuman yang mengandung gula
Keenam : Hindari teh manis atau kopi dengan gula tebu.
Ketujuh : Kurangi stress dalam hidup sehari-hari.
Bila tujuh rangkaian di atas Anda lakukan dengan ketat, maka Hidup Sehat Dengan Diabetes, bukanlah sebuah impian, tapi akan menjadi kenyataan.
Sehat atau sakit adalah pilihan. Semua terpulang pada Anda
Percayalah.

