DALAM GUGUSAN WAKTU
Oleh Muhammad Qorib, Wakil Ketua PWM SU dan Dekan FAI UMSU
“Lihatlah apa yang sudah engkau lakukan untuk hari esok”. Penggalan kalimat suci ini merupakan poin penting mengenai waktu yang diungkap Allah dalam Alquran.
Waktu menerabas apa pun yang melintang di depannya. Saat bergulir, ia tak mengenal uji petik dan tak bersifat subjektif.
Tua dan muda, kaya dan miskin, bangsawan dan masyarakat biasa, berderet melaju dalam gugusan waktu.
Predikat dunawi itu bukan menjadi prasyarat untuk mengelola waktu menjadi produktif.
Berkali-kali Allah mengingatkan agar manusia berdamai dengan waktu, melihat ke belakang, mempersiapkan bekal hari ini dan menabung untuk hari esok.
Zona nyaman menyebabkan manusia lupa mengisi waktu, tanpa memikirkan sekenario terbaik bagi peruntukannya
Mrisnya, manusia selalu menghabiskan waktu dan menghamburkan energi dalam kehampaan.
Waktu menerjang setiap keadaan, menerrabas zaman, merobek kesadaran, dan kerap membuat biduk kehidupan terombang ambing.
Canda dan tawa sangat penting. Tapi tangis muhasabah karena tergilas mesin waktu harus menjadi prioritas yang jauh lebih penting.
Meskipun halus, waktu sering menampilkan catatan-catatan yang mengejutkan. Berbagai perubahan hadir di depan mata.
Tentu saja kenyataan ini menjadi pertanda bahwa waktu bergerak cepat dan semakin menjauh dari masa lalu, namun mendekat ke garis akhir.
Tangisan sering pecah karena kehilangan harta benda dan orang-orang terkasih. Tapi manusia sulit menangis jika kehilangan waktu.
Tafsir terhadap waktu menjadi penentu kebahagiaan atau kesengsaraan manusia kelak. Namun keadaan ini jarang menyentuh radar kesadaran manusia.
Membuka laci kehidupan menjadi sebuah kemestian. Laci tersebut menjadi data akurat setiap amal yang sudah dilakukan manusia, sudah berisi ataukah masih kosong. Jika berisi, apakah isinya tumpukan kebajikan, atau sebaliknya, berisi lipatan dosa yang sudah dilakukan.
Karib kerabat, bahkan keluarga terdekat, akan berpisah satu sama lain. Waktu menjadi pemisah keterdekatan hubungan diantara mereka. Pada akhirnya setiap orang akan sendiri.
Tak dapat disangkal, amal shalih menjadi teman abadi. Ia bersifat pasti. Begitupun dengan keburukan, pasti menjadi media pencipta kesengsaraan. Waktu yang akan membuktikannya.
Sudah suharusnya, terjadinya pergantian malam dan siang, datang dan perginya mentari, munculnya bintang dan bulan, merupakan ornamen-ornamen waktu yang sarat makna bagi manusia.
Meskipun tanpa suara, berbagai ornamen di langit semesta itu menjadi pembicara agar manusia selalu berbenah diri.
Dalam gugusan waktu, iman, amal shalih, saling mengingatkan adalah jangkar kekuatan, agar manusia menjadi pengarah waktu, bukan dipecundangi waktu. (*)

