DALAM DEKAPAN SENJA
Oleh Muhammad Qorib
Wakil Ketua PWM Sumut dan Dekan Fakultas Agama Islam UMSU
Usai melaksanakan tugas-tugas akademik, aku beranjak pulang ke rumah dan meninggalkan kampusku.
Jam digital di mobilku menunjukkan pukul 17.45 WIB. Meninggalkan kampus pada jam tersebut membuatku bergelut dengan kemacetan.
Tak mengapa, itu konsekuensi yang mesti ku terima. Aku juga sadar, hidup pada hakikatnya dianyam diatas beragam pilihan yang tentunya disertai konsekuensi.
Di beberapa persimpangan, relawan jalanan sibuk mengatur arus lalu lintas. Jasanya sangat besar.
Tanpa kehadirannya, boleh jadi kemacetan semakin parah, selain masing-masing pengguna jalan merasa paling berhak melintas terlebih dulu.
Setelah berhasil menembus lapisan-lapisan kendaraan, aku merasa sedikit lega. Tak lupa kuselipkan lembaran kecil sebagai ekspresi terima kasihku kepada relawan jalanan itu.
Lagu religi yang ku putar memapah jiwaku yang sedikit lelah untuk senantiasa bersandar pada kekuatan Ilahi.
Perjalanan ku teruskan. Namun tanpa sengaja, mataku diusik oleh seorang ibu yang menggendong anaknya sambil membawa sesuatu dalam genggaman tangannya.
Ku kurangi kecepatan mobilku untuk memastikan apa yang ada di tangannya. Setelah ku lihat dari dekat, ternyata mainan anak-anak yang menurutku siap untuk dipasarkan.
Aku menepi dan berhenti di depannya. Ku turunkan kaca mobilku dan aku bertanya kepadanya, “Bu, akan dibawa kemanakah mainan itu?” “Akan saya pasarkan Pak”, jawabnya.
“Saya beli dua ya Bu”, pintaku. Sengaja tidak ku tanya besaran harganya. Mainannya pun sangat sederhana, terbuat dari kaleng susu bekas dan bambu yang diberi asesoris.
Setelah ku bayar, ibu penjual mainan tersebut mengucapkan terima kasih sambil mendoakanku agar sehat dan murah rezeki. Uang yang ku berikan kepadanya memang berlebih.
Ku pikir, ini adalah sebuah doa tulus tanpa pretensi. Doa non rekayasa dan tanpa rekaman kamera. Semoga Allah Maha Mendengar doa ibu itu.
Biasanya, doa dari orang seperti itu akan menjadi pengetuk gerbang langit dan mudah terkabul.
Doa yang sama ku mohonkan kepada Allah untuknya. Semoga ibu tersebut kuat dan tabah menjalani hari-harinya mengais rezeki dari satu tempat ke tempat lainnya.
Mobilku tetap berhenti. Ku pandangi sosoknya yang letih dalam balutan jilbab dan baju yang robek di bahu kanannya.
Sambil membereskan mainan yang tergeletak, ia menbetulkan gendongan untuk anaknya yang masih balita. Jemarinya kasar dan terkesan tak terurus.
Ia bergegas pergi meninggalkanku dalam dekapan senja dan deru mesin kendaraan di kotaku.
Aku berusaha tak banyak berucap dan membangun dialog sebagaimana yang biasa ku lakukan. Bibirku bergetar, lidahku kelu, pipiku basah dirambah air mata. Langit yang mulai gelap agaknya memahami apa yang ada dalam hatiku.
Di tengah turbulensi sosial, politik dan ekonomi, banyak yang terkapar dihimpit derita. Masalah semakin menjadi rumit dengan datangnya musibah covid-19.
Pandemi ini menyebabkan hampir seluruh langkah terhenti. Detak kehidupan melambat dan tak sedikit yang sekarat.
Namun ibu itu tetap bertahan meskipun terseok-seok dalam mencari nafkah. Sepertinya ia tidak ingin menjual kesusahan untuk menuai simpati. Sedikit namun halal, akan jauh lebih bermartabat daripada bamyak namun membuat diri tergadai.
Semoga ibu tersebut senantiasa sehat dan dagangannya laris di tengah berbagai jenis mainan modern produksi pabrik.
Siapa tahu balita dalam gendongan ibu itu kelak akan menjadi penentu di negeri ini. Tentu ia sangat merasakan betapa pahit dan getirnya dililit kesulitan ekonomi.
Dengan pengalaman tersebut, ia akan jujur, adil dan menjadi pemangku amanat yang dapat dipercaya, serta menjadi pemecah masalah di tengah masyarakat. *Amin ya Rabb.*
*Para Sahabatku,*
*Mohon tulisan sederhana ini untuk dishare.*
*Semoga tulisan ini dapat memberi manfaat dan bisa menjadi sedekah akademik.*

