Boikot Pilihan Perlawanan Tanpa kekerasan
Oleh Ibrahim Nainggolan
Dipenghujung bulan ini kata boikot seperti memiliki magnet yang begitu kuat, sehingga penggunaan kata boikot digunakan hampir semua orang. Kata itu memang menjadi sangat populer ditelinga baik karena didengar dari layar kaca, atau dengan mudah dibaca di media cetak dan dimedia sosial. Semua berawal dari pernyataan Presiden Francis Emmanuel Macron yang menuduh Islam radikal mengobarkan separatisme, Islam sebagai agama krisis di dunia, hanya untuk menanggapi peristiwa pemenggalan kepala seorang guru sejarah, Samuel Paty karena menunjukkan kartun nabi Muhammad kepada siswa sebagai pelajaran kebebasan berekspresi.
Francis memang sebagai negara yang menjunjung tinggi nilai kebebasan berekpresi, tidak ada larangan bahkan memberi kebebasan, dalam kaitan ini tentu harusnya kita bisa menghormati kedaulatan sebuahn negara. Kebebasan berekspresi yang dijunjung oleh Francis, Sikap Presiden Macron untuk melawan Tindakan kriminal yang dilakukan oleh antar warga negara sebenarnya merupakan peristiwa pidana umum tidak serta merta menghubungkannya sebagai tindakan kekerasan ektrimisme. Berkaca dari peristiwa tersebut justru pernyataan Presiden Macron sebenarnya sebagai pemicu reaksi negara-negara di dunia pemeluk Islam.
Atas pernyataan Presiden Francis Emmanuel Macron yang menyebut Islam sebagai Agama krisis, Presiden Turki Erdogan memberikan tanggapan sangat keras menyerukan negaranya agar memboikot produk yang berasal dari Francis. Gerakan untuk memboikot produk yang berasal dari Francis seakan sebagai seruan emosional yang tidak akan berdampak, bahkan ada yang berpendapat seruan tersebut dilatar belakangi perseteruan pribadi antara Presiden Turki Erdogan dengan Presiden Francis Macron yang memang sudah lama tidak harmonis.
Boikot Sebagai Alat Perjuangan
Kata boikot menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berari bersekongkol menolak untuk bekerjasama (berurusan dagang, berbicara, ikut serta, dan sebagainya). Pelakunya disebut dengan pemboikot, sedangkan proses, cara atau perbuatan memboikot disebut dengan pemboikotan. Upaya pemboikotan sebagai tindakan penolakan untuk bekerjasama dalam sejarah di Irlandia pada tahun 1879 oleh seorang bernama captain Charles Boycot yang bertindak untuk kepentingan para tuan tanah Inggris. Tindakan Charles Boycot yang mengusir para petani dan keluarganya dari tanahnya dengan alasan belum membayar sewa tanah bahkan tidak sungkan menggunakan kekerasan untuk memuluskan aksinya.
Penduduk desa menyadari mereka tidak akan efektif melakukan perlawan terutama jika dengan cara-cara kekerasan, para petani akhirnya memilih perlawanan tanpa kekerasan (non violence). Mayoritas penduduk desa tidak ada yang mau berbicara dengan Charles Boycot, menolak untuk menanam dan menolak untuk memanen, karena begitu rapi dan solidnya gerakan ini membuat Charles Boycot tidak betah sehingga ditahun 1879 ia meninggalkan Irlandia.Jadi kata Boycot atau boikot diabadikan dari seorang yang bernama Charles Boycot sebagai gerakan heroik para penduduk desa melawan tindakan kekerasan dengan perlawan tanpa senjata dan kekerasan.
Efektifitas Boikot
Gerakan boikot oleh sebahagian orang memang masih dianggap sebagai alat perjuangan “ilegal” yang menggoyang kemapanan. Peraturan yang mungkin digunakan untuk mengkebiri Gerakan boikot melalui pasal-pasal karet yang cenderung dapat ditafsirkan sesuai selera penguasa. Namun sesungguhnya dalam konteks advokasi kepentingan publik merupakan sebagai bentuk perlawanan anti kekerasan (non violence) hal yang perlu diperhatikan agar gerakan ini tidak bermasalah dengan hukum harus didasari kesadaran dan soliditas.
Kesadaran seringkali dimaknai sebuah sikap kritis terhadap kebijakan yang bersentuhan langsung dengan dirinya maupun kepentingan Bersama dalam kehidupan sosial, sehingga kebijakan tersebut dianggap tidak sesuai kebutuhan bahkan hanya diperuntukkan untuk memproteksi kalangan tertentu saja. Tumbuhnya kesadaran yang demikian memang tidak semata-mata karena tingginya pendidikan tapi karena adanya solidaritas pada masyarakat yang terhimpun dalam wadah yang memungkinkan tumbuhnya kesadaran individu maupun kesadaran bersama.
Soliditas berarti sebuah gerakan harus dilakukan secara bersama, tidak boleh ada yang menganggap gerakan yang sedang digalang atau dilakukan hanya merupakan kebutuhan kelompok lain. Perjuangan kelompok lain harus disadari akan berkelindan dengan kebutuhan kita sebagai komunitas yang ada dalam kelompok sosial. Belakang ini momentum perjuangan kelompok sangat mudah diminimalisir dengan berupaya memasuki ruang-ruang pribadi sehingga kebebasan di Francis yang benar-benar dilindungi tidaklah sama dengan kebebasan yang ada di Indonesia. Dalam kaitan boikot yang dilakukan umat Islam belajar dari petani di Irlandia kesadaran dan soliditas harus dipupuk agar setiap perjuangan menjadi efektif.
Penulis, Ibrahim Nainggolan, SH.,MH, Ketua LAPK/Dosen FH UMSU

