Prabowo – Gibran
Oleh : Ibrahim Gultom
Akhirnya Prabowo-Gibran bersanding juga di pelaminan politik pilpres 2024 meski masih menyisakan sejumlah perdebatan tentang sah tidaknya Gibran secara hukum sebagai calon wakil presiden (Cawapres). Keputusan MK No. 90 dianggap masih cacat hukum di kalangan pakar karena terindikasi bernuansa ne potisme dan melanggar Undang-Undang Kehakiman. Jika dirunut, sebenarnya bukan hanya persoalan keputusan MK No. 90 yakni -merubah batas usia cawapres yang menjadi isu utama – melainkan lebih kepada moral politik demokrasi para
pengusung Gibran sebagai cawapres. Ada kejanggalan pimpinan parpol memaknai arti sebuah demokrasi dan fatsun politik.
Sejak Prabowo-Gibran didaftarkan secara resmi sebagai capres dan cawapres ke KPU oleh parpol pengusungnya, beragam ekspresi yang muncul di kalangan masyarakat. Di samping ada yang berbahagia, ada pula yang merasa kecewa bercampur kesal dan muak. Tidak sedikit pula yang beralih dukungan kepada capres lain, plus partainya terutama para pendukung militan Prabowo sebelumnya.
Berbagai pihak turut berkomentar terhadap tujuh partai pengusung Capres-Cawapres ini. Mulai dari rakyat jelata hingga pengamat politik dan hukum. Media asing pun tak luput menyorotinya yang menyebut kehadiran Gibran sebagai pasangan Prabowo adalah bagian dari nepotisme Jokowi dan upaya membangun dinasti politik yang dapat merusak proses demokrasi Indonesia. Lain lagi Asyari Usman yang kritiknya lebih tajam yang menganggap tujuh pimpinan partai politik (minus Gerindra) serentak hilang akal. Itu artinya ada kejanggalan kinerja simpul saraf otak pada saat memutuskannya. Kenapa tidak? Kehadiran Gibran sebagai cawapres Prabowo telah meruntuhkan nilai-nilai demokrasi ke ambang batas yang paling rendah. Seolah Indonesia sebuah Negara abal-abal yang tak punya martabat lagi sekaligus menjadi objek olok-olok.
Bukan itu saja, bahkan merusak pendidikan politik kepada generasi muda sekaligus mengangkangi teori-teori politik yang sudah ada. Sains politik dan demokrasi tak mampu lagi membimbing karena sudah dipinggirkan akibat libido politik rezim penguasa beserta para penjilatnya. Dalam konteks ini mungkin perlu ada terobosan teori politik yang baru guna mengantisipasi praktek politik yang akan terjadi di luar nalar.
Entah hipnotisme politik apa yang menerpa mereka para pengusung sehingga terjadi gempa politik yang menggoncangkan dunia perdemokrasian Indonesia. Dukun politik para juragan partai tak mampu menangkal hipnotisme politik jarak jauh dan dekat dari pelakon drakor yang merajalela selama ini. Ketidakberdayaan tujuh parpol itu seolah memosisikan diri kita tidak lagi makhluk yang tebaik dari semua makhluk hidup yang ada.
2
Hilanglah yang dibanggakan dari seorang yang bernama manusia karena sudah nyaris sejajar dengan prilaku makhluk anima sensitiva menurut Aristoteles. Artinya, kita tidak lagi keturunan ras manusia yang mampu bernalar dan beriman karena tak bisa lagi membedakan mana yang hak dan batil serta mana yang patut dan tidak. Binatang simpanse pun sedikit agak tertawa melihat prilaku berpikir manusia yang ternyata tak jauh beda dengan dirinya. Hampir semua orang yang berakal terperanjat ketika menyaksikan hasil permufakatan tujuh partai pengusung tersebut. Setahu saya, jika ada keraguan dalam mengambil keputusan dan sulit melawan gangguan iblis serta beratnya menghindar dari tekanan atoknya setan, tentu kita harus sholat istikharah dulu minta petunjuk. Kenapa itu tidak dilakukan? Jikapun kurang sehat jasmani apalagi rohani, kenapa tidak memakan obat cerebrovit dulu guna mencerdaskan otak sebelum memutuskan yang terbaik untuk rakyat? Ataukah karena memang sengaja lupa memakannya?
Pemaksaan dua sosok yang berpasangan ini sedikit mengganggu nalar sehat orang banyak. Seakan-akan sudah tertanam optimisme kemenangan jika dilihat baik dari segi gestur pasangan calon maupun tim pendukungnya. Apakah karena sudah belajar dari pengalaman dua kali emenangan ataukah karena ada amunisi politik yang membuat pilpres tidak jurdil alias curang? Wallohu a’lam bissawab.
Jika itu yang terjadi, mungkin masyarakat sebagai pemilik kedaulatan rakyat telah belajar pula dari pengalaman sebelumnya guna mengantisipasi kecurangan yang akan terjadi. Masyarakat tidak sudi lagi jadi korban perselingkuhan politik yang menyakitkan rakyat. Misalkan tidak ada daya dan upaya lagi untuk menangkal segala kecurangan pilpres, anggota masyarakat Indonesia masih yakin akan adanya makar Allah yang akan mencabut kekuasaan dari yang dikehendakinya (QS:3:26).
Pengalaman sejarah di masa para nabi-nabi cukup menjadi pembelajaran bagi kita yang hidup masa kini. Banyak para penguasa yang membangkang terhadap petunjuk dan kebenaran, namun akhir hidupnya terbenam dalam kehinaan. Ingatlah kemunafikan kaum Yahudi dahulu yang embeli kesesatan dengan petunjuk seperti dinukilkan dalam Alquran (QS:2:16). Mereka tuli, bisu dan buta dan tak mampu lagi kembali (QS;2:18). Allah sengaja tak
memfungsikan telinga, mata dan mulut sehingga terjerembab ke alam kesesatan. Ibarat kenderaan yang terjun ke jurang tidak sanggup lagi mengembalikannya ke tempat yang datar. Maka kehancuranlah yang datang.
Dua sosok capres dan cawabres patut diberi pencerahan kalau tidak disebut nasehat. Yang satu perlu dikasihani karena terlalu tua untuk mengemban amanah yang terlalu besar. Memang tua-muda dalam sebuah perkawinan politik adalah hal biasa. Tetapi harus menjunjung tinggi azas kepatutan dan kepantasan. Namun jika terlalu tua akan terjadilah “pikun politik” dalam pengambilan keputusan yang berdampak kepada rakyat.
3
Sementara yang muda diyakini memiliki energi yang mumpuni tapi miskin pengalaman hidup. Akibat ketidakmatangan dalam segala hal, orang muda terkadang kurang bertata-krama kepada yang lebih tua. Kalaupun ada itu hanya tatakrama semu yang sewaktu-waktu muncul keaslian menuruti nafsu serakah kekuasaan.
Lihatlah Gibran yang telah durhaka politik kepada majikannya. Apa yang tidak diberi Megawati selama ini kepada keluarga Jokowi beserta anak dan menantunya? Semua orang tahu, namun demikianlah fatsun politik yang dipertontonkan jika sudah mabuk kekuasaan. Bagaimana pula nantinya etika politik kepada rakyat jika kekuasaan dalam genggamannya?
Dalam sejarah perkawinan politik di dunia –antara muda dan tua- lebih-lebih lagi jika bawahanya terlalu jauh usia dengan atasannya acap kali muncul arogansi dan kesongongan. Berbagai macam cara pun akan ditempuh untuk menggulingkan atasannya. Yang paling berbahaya adalah munculnya niat jahat yang lebih fatal yang tak terduga sebelumnya.. Kini rakyat sudah mulai melek politik yang tidak mau lagi jadi korban keserakahan kekuasaan.
Kami hanya berdoa semoga negeri ini tidak terjadi apa-apa dalam pilpres mendatang meski kekhawatiran kerap membayangi diri kami. Rebut kalianlah kekuasaan itu asalkan untuk rakyat dan bukan demi orang asing.
Bolehlah merebut kekuasaan tapi jangan haus kekuasaan. Orang yang haus kekuasaan adalah orang yang tidak mampu mamaknai esensi kehidupan. Malaikatpun tak akan pernah menanyai fortofolio kehidupan kita di liang lahat sana, apakah pernah jadi presiden atau tidak selama kita hidup di dunia.
Penulis adalah Guru Besar UNIMED, Medan

