Kolom Ibrahim Gultom: Arogansi Kekuasaan
Oleh Ibrahim Gultom
Boleh dikatakan dua pekan terakhir adalah minggu-minggu demonstrasi di hampir seluruh kota provinsi dan kabupaten di Indonesia guna menyikapi naiknya harga BBM yang dianggap terlalu memberatkan masyarakat. Puncak musim unjuk rasa kali ini terjadi 23 September yang lalu.
Terakhir unjuk rasa yang dilaksanakan pada hari Selasa 27 September dua hari yang lalu di Jakarta dengan mengusung tema “BBM Melejit, Petani Menjerit”. Mungkin minggu-minggu berikutnya unjuk rasa akan tetap saja berlangsung beberapa bulan ke depan yang dimotori berbagai elemen masyarakat.
Kenapa tidak? Dampak kenaikan harga BBM sudah mulai terasa mencekik leher. Mayoritas rakyat jelata mengeluh, hanya saja tidak semua mereka bisa ikut demo karena ketiadaan waktu, biaya dan tenaga. Namun sekiranya mereka ikut unjuk rasa, kemungkinan besar mereka akan mengusung tema- meminjam puisi Fadli Zon – yang berjudul “Mau Saya Tabok Rasanya”.
Meski selama unjuk rasa berlangsung dan berakhir aman-aman saja, namun masih ditemukan insiden kecil antara peserta unjuk rasa dengan aparat keamanan. Diakui memang bahwa ada sedikit perubahan dalam mengelola unjuk rasa kali ini yang tidak terlalu represif dan bahkan lebih manusiawi dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Apakah karena masih hangatnya kasus Ferdy Sambo jadi konsumsi publik akhir-akhir ini, hanya Tuhanlah yang tahu.
Yang jelas unjuk rasa atau rapat umum di semua Negara tak terkecuali Indonesia bukanlah sebuah barang haram atau aktivitas yang dilarang. Ia merupakan saluran aspirasi yang dijamin dalam undang-undang. Unjuk rasa ini muncul bukan tanpa sebab dan alasan. Tak lebih karena kurangnya lembaga-lembaga negara memposisikan dirinya sebagai pelayan rakyat yang baik. Jika lembaga legislatif, eksekutif dan yudikatif satu hati menyahuti aspirasi rakyat mungkin aksi unjuk rasa ini tidak akan pernah terjadi apalagi berkepanjangan.
Tapi perlu digarisbawahi bahwa gelagat menyikapi gelombang unjuk rasa kali ini agak tampil beda dari sebelumnya. Lihatlah betapa di sekeliling istana begitu ketat penjagaannya dengan memasang dinding beton bagai perisai tak ubahnya seperti tembok Berlin lengkap dengan kawat berduri serta kamera yang berfungsi sebagai pemberi kode kapan saatnya tindakan represif kalau tidak dikatakan membumi-hanguskan para demonstran.
Persis seperti peristiwa di Tiananmen, China tahun 1989. Kala itu para pengunjuk rasa yang terdiri dari buruh, mahasiswa dan masyarakat biasa memprotes dan menyuarakan ketidakpuasan terhadap pemerintah China yang mempertontonkan gaya kepemimpinan otoriter serta membungkam demokrasi. Kurang lebih 1000 peserta demonstran tewas di ujung bedil aparat dan lebih 10000 orang yang ditangkap dan dipenjarakan.
Hakikat dari sebuah demonstrasi sederhananya adalah menyampaikan keluh kesah hingga mengajukan permohonan. Syukur-syukur penguasa masih punya telinga untuk mendengan apalagi untuk mengabulkannya. Tetapi unjuk rasa kali ini ternyata penguasa tidak cerdas memaknai apa arti unjuk rasa dalam konteks demokrasi. Malah menantang seolah mengisyaratkan sudah siap jika pun didemo berbulan-bulan meski tetap hasilnya nihil alias menolak tuntutan.
Alih-alih mau menerima pengunjuk rasa, malah kabur dari belakang istana. Sedikit pun tak memiliki empati akan penderitaan yang dirasakan rakyat akibat kebijakannya yang tanpa hati nurani itu. Jangankan bergeming untuk mengubah sikap, mendengar keluhan rakyat saja tak sudi. Mungkin para demonstran telah diposisikan bagaikan serigala yang hendak menerkam mangsanya.
Tidak kah kita lihat lewat media sosial betapa banyaknya orang yang panik dan makin susah hidupnya akibat naiknya harga BBM? Bahkan ada yang putus asa sehingga ada ibu meracuni anak-anaknya hingga tewas menyusul membunuh dirinya sendiri di tiang gantungan karena terlilit utang. Menyikapi fenomena ini mohon maaf jangan mereka dibilang siapa suruh miskin dan siapa suruh berutang. Apalagi jika disebut siapa suruh mereka jadi warga Negara Indonesia.
Di era demokrasi sesungguhnya tidak mengenal arogansi kekuasaan jika fungsi-fungsi lembaga Negara berjalan sesuai dengan koridornya. Namun kenyataannya lembaga-lembaga yang katanya tinggi itu memperlihatkan arogansi kekuasannya masing-masing. Bahkan lebih parah lagi justru mempertontonkan arogansi secara berjamaah dalam konteks trias politica. Rakyat jadi korban pemerasan dengan berbagai cara demi memuluskan kehendak nafsu serakah mereka.
Binatang rusa saja mengenal demokrasi yang menghargai sikap, usul dan perasaan populasi yang terbanyak. Lihatlah ketika segerombolan rusa hendak berpindah tempat untuk mencari lahan yang lebih empuk. Jika belum cukup 60% dari gerombolan rusa itu menunjukkan sinyal untuk bangkit dan bergerak, maka rusa-rusa itu tidak akan jadi berpindah ke tempat lain pada musim itu. Itu kata ahli perilaku hewan dalam penelitiannya.
Bercermin dari perilaku hewan ini, apakah kita lebih rendah demokrasinya dari demokrasi hewan rusa? Pada hal kita punya akal (anima intellektiva) sementara rusa hanya memiliki instink saja (anima sensitiva). Mereka tak punya pemimpin secara formal sementara kita manusia Indonesia punya segalanya termasuk falsafah Pancasila.
Kecuali kita sudah sepakat program pembangunan manusia Indonesia yang dibungkus dalam jargon revolusi mental tujuannya telah mengarah ke terciptanya perilaku manusia yang lebih rendah dari perilaku binatang yang tak mengenal keadilan, kemanusiaan dan melawan hati nurani alias menggiring manusia ke arah penerapan hukum rimba dan homo homini lupus.
Setahu kita yang masih waras ini, jika rakyat banyak memprotes sesuatu kebijakan, itu artinya ada sesuatu yang tak beres atau kebijakan itu lebih banyak merugikan masyarakat luas. Hingga di sini makin benar sinyalemen seorang pakar yang menyebut bahwa demokrasi itu hanya sebuah seni. Karena ia seni maka bisa saja diterjemahkan jadi multitafsir dan liar. Mulut boleh menyebut demokrasi, tapi kenyataannya autokrasi. Bulan yang dijanjikan malah matahari panas yang dipersembahkan. Demikian juga kesederhanaan yang dicitrakan justru kerakusan yang dipertontonkan.
Entah demokrasi apa namanya yang diusung di NKRI ini sehingga melahirkan tirani dan arogansi kekuasaan. Bersikukuh menganggap dirinya berjalan di atas rel yang benar padahal jalannya sudah keliru selama ini. Apakah karena selama ini memakai kaca mata reben gelap sehingga tidak tahu apa dan sampai di mana yang dilaluinya.
Belum lagi yang seolah haram hukumnya media apa pun meliput segala berbau demonstrasi apalagi demo yang mengkritisi kinerja penguasa. Tidak boleh ulama dan aktivis melawan dan meluruskan kebijakan penguasa yang keliru meski dengan bahasa yang santun. Langsung saja dijemput dan dipenjarakan.
Khusus para ustadz tidak sedikit jumlahnya hilang begitu saja tanpa diketahui rimbanya hingga kini dengan tuduhan radikal dan teroris. Sekelas mantan SBY pun sudah mulai diintip hanya karena mengingatkan saja agar tetap waspada akan adanya kecurangan Pemilu 2024. Seolah kita tidak punya etika dan tak pandai lagi menghargai jasa pemimpin terdahulu terlepas ada sejumlah kelemahan pada masa lalunya.
Semuanya ini tidak terlepas dari rusaknya kepemimpinan kolektif-kolegial di tubuh pemerintahan itu sendiri. Jika kita mengingat sejarah pada jaman Fir’aun, ada yang bernama Haman yang mengemban tugas Menteri Segala Urusan (MSU) di Mesir, maka si Haman bajingan tengik inilah yang merusak dan menggadaikan kedaulatan jika dianalogikan di NKRI ini. Jangankan semua menteri, raja penguasa sendiri pun hilang kediriannya dalam menjalankan tugas sebagai raja alias raja boneka. Jika kedirian sudah hilang maka kewibawaan (gezag) pun akan hilang sehingga rusaklah birokrasi itu hingga ke bawah. Masing-masing melakukan dan mengambil bagiannya sendiri dengan suka hati di negeri ini.
Teruslah bertepuk tangan di atas jeritan tangis rakyat yang tak berdaya ini.agar makin mantap terbuka pintu kehinaan pada masanya. Selama ini tidak sepotong kata yang dapat keluar dari mulut pemimpin termasuk raja penguasa yang bisa sebagai pelipur lara bagi rakyat kecuali hanya tipu, bohong dan arogansi. Tidak paham wajah rakyat yang sudah bermuram durja menatap masa depannya yang suram. Ternyata, kelembutan hati rakyat selama ini, hanya membuat rakyat tersakiti.
Kami juga tidak tahu siapa yang bernama Bjorka itu. Apakah wujud manusia normal atau gila. Bisa jadi sosoknya berwujud malaikat atau jin kafir dan jin yang beriman yang tak perlu kami buru-buru untuk mempercayainya. Yang jelas kami yakin kepada Allah swt yang akan mengabulkan doa kami ditengah-tengah posisi kami yang terzolimi. Karena demikianlah kata nabiNya dalam sabdanya.
Mungkin doa kami masih di tengah perjalanan menuju ruh Ilahi atau bisa saja malaikat masih alpa dalam menjalankan tugasnya sehingga keluhan kami belum diterima. Suatu ketika “rahasia Ilahi” akan wujud bagi pemimpin yang arogan dan zolim. Ingat..! Orang beriman tidak pernah takut dan patah arang memperjuangkan haknya hingga darah penghabisan…Allohu Akbar. 3x
Ibrahim Gultom, Guru Besar UNIMED dan Wakil Ketua PW Muhammadiyah SUMUT