• Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
Infomu
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
Infomu
No Result
View All Result
Kolom Hafiz Taadi: Membaca Jejak Ketertinggalan Sebuah Kota

Hafiz Taadi, Pimpinan Teater Siklus Medan

Kolom Hafiz Taadi: Membaca Jejak Ketertinggalan Sebuah Kota

Syaiful Hadi by Syaiful Hadi
26 Oktober 2020
in Kabar, Kolom
86

 

MEMBACA JEJAK KETERTINGGALAN SEBUAH KOTA

Oleh Hafiz Taadi

Kesenian kotaku dari tahun ke tahun semakin “buruk dan terpuruk.” Banyak alasan untuk mengatakan itu. Kenapa? Banyak juga keanehan-keanehan yang terjadi. Dari tahun delapan puluhan aku sudah terlibat dikancah itu. Tentu aku juga punya alasan. Dan itu sudah pilihan.
Peradaban harus terpelihara dan di asuh dengan baik. Harus diberi Nutrisi. Peradaban harus dirawat serta diruwat.

Kesenian sebuah peradaban perilaku akal baik serta rasa manusia untuk me-manusia-kan manusia.
Disebagian pemikiran, kesenian masih dianggap tidak penting. Banyak persoalan tumpang tindih di dalamnya. Menambah ketakberdayaannya. Kalau ada ungkapan bahwa kesenian termarginalkan. Itu ungkapan para seniman pelaku yang menghasilkan kebudayaan. Tetapi visual untuk memarginalkan itu mampu dirasakan serta disimpulkan dan begitu tersistem.
Kesenian kota ini seperti dibunuh! Terbunuh karena banyak para “pembunuh”. berkeliaran diwilayah tersebut. Mencari keuntungan secara pribadi. Membunuh kesenian dianggap tak berdosa? Tetapi aku tetap mengatakan, itulah  P e n g h i n a t .  Yang sanggup memanipulasi apapun untuk keuntungan. Kadang meludahi kemudian menjilati ludahnya sendiri dalam perjuangan hidupnya. Kesenian kota ini memiliki ciri-ciri atau tanda itu. Meneropong berbagai kesempatan untuk menghasilkan; Recehen untuk kantongnya. Meski tak ada yang menyabetkan Mandau moyangku, atau senjata-senjata para Yakuzaisme. Semua dilakukan secara senyap. Memiliki sifat seperti seorang Clepto. Muncul melakukan parade saat orang berkumpul untuk melakukan musyawarah. Tanpa rasa malu menggunakan barang-barang curiannya didepan para sahabat. Seolah dialah pahlawan dalam musyawarah itu nantinya.
Hati-hati penjilat !!!
Kelembagaan seni yang tak memiliki strategi membangun kesenian. Tak bersuara sama sekali. Bahkan tak memiliki nyawa dan nyali.  Kelembagaan yang diharap untuk mempermudah dialog bilateral, antara Pemerintah dan Seniman.
Corong bagi seluruh dari cabang kesenian itu ikut senyap. Bahkan mampus. Menjadi tak berdaya guna bagi keseluruhan seniman. Terduduk lemah, seperti mengidap Strock dan Parkinson.
Gegap gempita menjadi tanda sebuah kesombongan belaka. Bila melakukan pesta menggunakan hiba negara dan masyarakat. Itulah bentuk Hipokrit yang tervisualkan. Itu juga sebuah babakan  kekejaman yang ada didunia kesenian dari generasi ke generasi. Terjadi selama puluhan tahun. Kehilangan nyawa dan nyalinya sebagai sebuah kelembagaan atas nama kesenian.
Kelembagaan itu harus di-Audit oleh instansi yang memiliki kewenangan. Karena kelembagaan ini masih menggunakan dana negara. Itulah uang masyarakat. Sekali lagi harus dilakukan Audit yang benar. Bila sebuah kelembagaan tak memiliki pola dasar hukum yang jelas dalam  p e m b e t u k a n n y a.
Berarti kelembagaan tersebut boleh disebut sebagai Lembaga Seni yang ilegal. Artinya kegiatan-kegitan yang dilakukannya juga memiliki sifat yang secara otomatis ilegal. Aneh? orang-orang yang mengerti tentang hal itu,  ada kesengajaan menutup matanya dan pura-pura tuli. Benarkah cara seperti diberlakukan di negara ini?
Kelembagaan seni juga harus dilakukan dengan adab Musyawarah yang baik. Tidak asal comot sana sini karena kedekatan dan kepintaran “menjilat” Pemerintah juga harus selektif. Ya, seniman juga harus selektif. Agar mereka yang duduk tidak berperangai seperti Garong. Punya keberpihakan terhadap kesenian. Bukan individual dan soorr sendiri.
Berapa generasi petinggi yang memangku kuasa daerah telah bergulir? Tak satupun dari mereka berpikir membangun tentang infrastruktur fisik Gedung Kesenian, infrastruktur sosial seni untuk peradaban Kesenian.
Para Walikotanya juga begitu,  bergilir satu-persatu dan mendaftar di hotel Prodeo.
Gedung Kesenian yang dituntut dan diminta tak tersahuti. Tetap diam dan senyap. Berada dalam ruang imajinasi. Sangat imajiner diruang-ruang kepala Seniman daerah yang terbilang Metropolitan.
Dalam konsep “Teater Miskin” panggung mampu diletakan dimanapun. Tetapi konsep-konsep yang sangat realispun masih ada dan belum punah jejaknya dan belum selesai hingga saat ini. Kuantitas juga tetap harus duduk bareng dengan kualitas. Karena itu bagian terpenting juga dari pertanggungjawaban moral kekaryaan.
Karena kesenian itu sebuah “Dialog” yang cerdas kepada penontonnya. Kesenian tidak boleh mempersetankan hal-hal tersebut. Agar kesenian tetap punya logika yang matang. Tidak meninggalkan jejak stempelnya ; Asal jadi. Dan seniman juga berdiri menjadi kurator bagi karyanya sendiri, sebelum dihidangkan sebagai “menu makanan” selain nasi.
Kesenian tetap memiliki kerangka dasar. Dengan kata lain kesenian tetap menjadi provokator yang baik dan positib, media dan penyulut tentang edukasi, theraphy, hiburan hingga trancendental.  Memasuki seluruh ruang-ruang, baik fisikal ataupun batiniah. Ya, kesenian tetap harus dikaji secara akademis.
Secara massal manusia Indonesia masih banyak yang menggantungkan harapan hidupnya di dunia itu. Ribuan kepala yang melakukan ritual kesenian itu menjadikannya sebagai “ladang” penghasil buah yang ranum. Dan mampu menghidupi keluarga.
Dari dapur hingga pendidikan.
Alasan itu cukup kuat,  hingga terus didesak oleh para Seniman sampai detik ini. Seniman tak sekadar membutuhkan “Rumah” untuk ruang kerja kreatifnya. Pemerintah harus bersikap adil dan bijaksana untuk memenuhi kebutuhan tuntutan tersebut. Kebutuhan-kebutuhan itu harus disikapi dengan niat kesadaran dan reaktif.
Gedung kesenian yang diinginkan seniman berdiri disebuah pusat Kota. Tak hanya untuk menyebut bahwa kota itu memiliki peradaban. Tetapi itu juga mengkristalkan sifat dan cerminan, bahwa Kota itu tak sekadar pamer terhadap budaya yang dimilikinya. Lebih penting lagi bahwa para manusia yang berada didalamnya sangat menghargai karya dan kebudayaan. Sangat berhubungan erat dengan rasa kemanusiaan.
Tidak boleh dipandang hanya sebelah mata secara fisik. Semua akan berkait dengan infrastruktur sosial yang dibangun oleh masyarakat dan para senimannya. Itu salah satu bentuk ladang yang digarap atas hidup manusia . Bukan tuntutan yang tak beralasan. Kesadaran itu yang menjadi sangat penting dan harus dihadirkan oleh Pemerintah. Sebagai bagian ekonomi kreatif seniman pelaku. Dan disanalah para Seniman bekerja serta menggantungkan persoalan-persoalan hidup dan kehidupannya.
Kenapa tak dipikirkan sampai kearah sana, direspon secara serius ? Kesenian sebagai wilayah pekerjaan, diterlantarkan. Yatim piatu. Kedua kakinya patah, tak dirawat di kota bermartabat ini.
Sangat ironis, beberapa minggu lalu seseorang pengasuh Kota ini. Memberi rasa tidak AMAN bagi pegiat seni. “Di taman kota itu, para seniman boleh menampilkan karyanya, siapa tau ada masyarakat yang memberikan saweran.”
Apa yang sedang terlintas dipikiranmu saat mengucapkan kalimat itu? Aku sarankan harusnya kau makan obat sebelum mengucap kalimat itu. Pernahkah kau berpikir tentang persoalan-personalan kesenian dikota ini? Kenapa tiba-tiba saja kau ingin bicara banyak tentang kesenian kota ini. Kalimat buruk itu terucap pas ketika kau akan berangkat kepesta? Bertahun kau juga tak mampu bersuara tentang persoalan itu. Tiba-tiba saja lidahmu menjadi gatal dan ingin berucap panjang. Inilah taman kota yang sudah kusediakan. Seniman harus hadir disitu. Dengan kata lain;  “Ngamenlah kalian disitu!”
Dan yang aku tangkap, kau menganggap Seniman tak memiliki harga diri sama sekali.
Seniman bukan pengemis!  Dan kau bergaji dari uang rakyat. Ucapanmu itu yang aku katakan bahwa kau tidak memberi rasa AMAN.
Penulis, Hafiz Taadi, Pimpinan Teater Siklus Medan. Bersama Terater Que pernah tinggal dan belajar  di Pedepokam WS Rendra. Ia juga penulis naskah dan sutradara beberapa pementasan drama.

Bagikan ini:

  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
  • Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru) Surat elektronik
  • Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
  • Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak
Tags: hafiz taadikolom
Previous Post

Pascasarjana UMSU Gelar Sosialisasi Sistem Akademik dan Perkuliahan Perdana TA 2020-2021

Next Post

ACT Bagi Perlengkapan Ibadah untuk Muslim di Karo

Next Post
ACT Bagi Perlengkapan Ibadah untuk Muslim di Karo

ACT Bagi Perlengkapan Ibadah untuk Muslim di Karo

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Beranda
  • Kabar
  • Literasi
  • Kolom
  • Kesehatan
  • Muktamar
  • Pendidikan
  • Redaksi
Call us: +1 234 JEG THEME

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.