Kolom Hafiz Ta’adi : Kebaikan dan Harapan

Kebaikan dalam segala hal itu sebuah harapan yang real bagi siapa pun. Tak ada pengecualian, kalaupun ada yang tak lazim dari keinginan tersebut aku bilang itu up-normal.
Seperti kemarin dikotaku, semua berharap dan berdoa dalam hati serta keinginan masing masing-masing; menginginkan hadirnya Walikota yang mampu membangun kesadarannya untuk mengejar banyak hal yang tertinggal di kota ini.

Semua itu harapan real gimanapun kita ‘ berteduh ‘. Sekian deretan Walikotaku, punya hobby masuk ‘ bui ‘ itu bukti bahwa mereka cuma ingin mengenyangkan perut sendiri. Cuma ingin menghibur diri serta keluarga nya saja. Atau mungkin barisan kronikroninya yang juga suka ‘ngibul’ untuk banyak kepala yang punya setumpuk mimpi.

Kepala daerah dalam sebuah target cuma hanya untuk pemuas ‘birahi’ kekuasaan. Tentu imbalannya ya cuma sekat tembok, berpintu jeruji. Itu kutukan dari karma ribuan kepala yang punya mimpi.

Kota ini seperti menjadi tak memiliki ‘ kesuburan ‘ terhadap perkembangannya. Selalu terendus dan pemilik identitas kota yang memiliki naluri yang sangat jelek. Menjadi olokan yang bernilai minus.
Bagaimana merubah pola itu?

Karena kotaku ini memiliki beragam cerita yang sangat agung kalau ditelisik dengan teliti. Punya sejarah yang besar dalam perjalanan peradaban sebuah kota serta peradaban budayanya.
Lantas apa yang salah? Apanya yang salah? Dimana salahnya? Kenapa bisa seperti itu?……. Ya, secara diam aku membaca ‘penghianatan penghianatan’ yang dilakukan para pemimpinnya yang membuat kota ini tak pernah ‘ beranjak ‘ , begitu juga dengan para  ‘pembisik’nya yang mungkin masih jahiliah. Juga hanya berpikir untuk kepentingan sekedar makan hanya sekedar kenyang. Dan sedikit menyisihkan untuk kekayaan pribadi. Hal itu juga sangat individual.

Sudah barang tentu kota ini untuk perkembangan nya semakin tertinggal dari segala hal, untuk fasilitas sebuah kota metropolitan dengan kesadaran yang masih tertidur pulas dengan berbagai mimpinya.

Aku ingin mengatakan, kota ini tak memiliki pemimpin yang ‘cerdas’, tak memiliki keberanian meninggalkan jejak jejak yang rapi dan baik. Julukan kota ku yang menjadi buah bibir itu , ‘ kota para ketua’ menjadi simbol yang ‘kotor’ yang menyimpan arogansinya.

Aku punya kebanggaan terhadap kotaku, sekaligus punya kemirisan juga. 20 lebih etnis hidup dan membiak dikota ini. Medan simbol Indonesia kecil, menurutku. Keragaman yang menjadi kekayaan tersebut selalu terbunuh mimpi-mimpinya.

Kebudayaan memiliki mimpinya sendiri sendiri, bahkan hampir tak tersentuh. Kesenian dianggap para pemimpin kota ini hanya sebatas ‘ bunyi dan gerak’ saja. Sebatas hiburan yang hanya diukur dari sebuah laba. Kita bisa membuktikan semua itu.

Ya, kotaku tetap harus dipimpin dengan sebuah keberanian. Merevitalisasi sistemnya. Merevitalisasi sistim ber-kebudayaanya. Pernahkah kita semua merasakan semua ini, dan membuat sebuah pengakuan, bahwa kota ini ‘ berjalan’ ditempat. Simbol aku kira tak begitu penting. Atau cuma hanya sebatas memikirkan slogan-slogan saja? KOTA YANG BANJIR MIMPI

Kita disudutkan kepada dua pilihan berdiri di kota yang memiliki latar yang ‘ besar’.
Satu, jalan ditempat.
Dua, membangun kesadaran. Agar realitas mimpi mimpi para penghuninya bisa terwujud, bergerak bersama peradaban yang baik.