DRAMA ABSURD LEMBAGA KESENIAN
Oleh : Hafiztaadi
Orang-orang ingin membangun karir mereka untuk mendekorasi ‘rumah’ , mungkin
rumah itu bernama k e s e n i a n . Sebagian besar keberadaan manusia yang berada di
dalamnya, menceburkan dirinya bernaung di tempat itu tetap mengatakan bahwa rumah itu,
adalah tempat berteduh yang beradab.
Bebas melahirkan mimpi tentang apa saja. Mimpi dengan berbagai imajinasi yang
dibalut nilai-nilai estitika. Sekali waktu membentur ‘ dinding ‘ yang sama sekali tak memiliki
logikanya. Kemudian proses kreatif menuntun, membangun logika, membangun energi yang
sangat fantastik. Menerobos, menggelitik indera, syaraf para penikmatnya. Meninggalkan
jejak logika yang baru.
Rumah yang dianggap sangat beradab itu, kucel, kusam dan kehilangan darah serta
nyawa. Tanpa karpet, permadani, lukisan, bahkan perawatan jendela; jendela, dinding, dan
lantai tempat tinggal peradaban manusia itu kelihatan lebih miskin. Ter-biarkan
tanpa hiasan. Apakah ini semua gejala fase baru evolusi manusia?
Jika seekor Burung Merak tidak cukup mengesankan dalam penampilannya, para
betinanya akan menghindari rayuan mereka. Hal yang sama berlaku untuk setiap spesies.
Ungkapan itu digunakan untuk sebuah peryataan bahwa Kesenian Kota ini makin
lusuh , Tempat untuk berhiasnya tak pernah dipikirkan secara matang untuk didirikan,
bahkan semakin ter-marginalkan. Tersuruk dan tersuruk. (Lihatlah keberadaan Eks. gedung
taman budaya jln. Perintis Kemerdekaan sekarang? Sebagai bukti bahwa; Gedung
kebanggaan Seniman kota ini yang dianggap memiliki sejarah khusus itu terbenkalai begitu
saja.
Perpindahannya juga tak diperhitungkan secara matang. Bahkan tak memberikan
kesan baik bagi masyarakat kesenian kota ini. Janji? mampu memberikan semangat lain.
Tetapi janji tentu bisa juga lumpuh dan bisa terabaikan, tak mampu terujutkan.
Mandul, ucapan itu sebuah kenyataan pahit. Ucapan itu juga terus melenggang. Kata
itu pernah diucapkan pemimpin daerah ini. Ya, Seniman Sumut mandul. Karena sampai hari
inipun tidak ada gedung kesenian untuk memamerkan segala hasil karya kesenian. Ucapan
kata memamerkan lebih kepada untuk mengucapkan kreatifitas. Apa yang salah
sebenarnya? Mungkin pengucapan itu sendiri tak dibarengi oleh niat, strategi membangun
peradaban kesenian dan budaya yang ada.
Secara perlahan-lahan, jejak-jejak kemasyuran, disinyalir kota yang memiliki potensi K
o t a B e r b u d a y a dan bermartabat itu, menjadi slogan yang menyemburkan
kehampaan belaka.
Kebudayaan kota yang memiliki kekayaan dari keragaman etnik yang ada juga harus
dikubur paksa hidup-hidup? Pertanyaan ini menjadi sangat klise, diucapkan ber-ulang-ulang.
Dalam Kebudayaan Yunani Klasik menunjukkan subjek yang lebih santai, terkadang
bahkan dalam sebuah pose yang aktif, memegang simbol-simbol alat pakai atau alat musik.
Patung-patung mengikuti tren seni yang menunjukan peradaban di zamannya Zeus di
Olympia menjadi begitu sempurna.
sebenarnya bertitik tolak dari kesadaran alam bawah sadar manusia. Penghargaan dan
Apresiasi itu mampu menembus ruang yang mungkin awalnya begitu gelap, menjadi terang
benderang sebagai pola pikir yang mampu menerobos massa depan untuk kepentingan
sebuah Kota atau Negara sebagai jejak-jejak peradaban. Bukan diukur dari keindahannya
saja.
Indonesia saat ini ikut menyatakan, bahwa secara perlahan-lahan, masyarakat harus diasuh
untuk membangun ekonomi kreatif-nya untuk saat ini dan masa depan.
Strategi dan kepedulian yang berpihak kemasa depan sudah barang tentu memiliki
kesetaraan dengan nilai-nilai keluhuran akal manusianya. Re-presentasi dari rasa
keindahan yang di’cebur’kan ke dalam diri kita oleh Yang Maha Pemberi hidup dan
kehidupan. Harusnya tetap dirawat dan diruwat. Pengingkaran itu berarti perlawanan
terhadap Kodrati atas sebuah pemberian karunia.
dan tidak gampang seperti membolak-balikan telapak tangan. Sumatera Utara dan kota
Medan memiliki potensi untuk disuburkan dalam segala hal. Terutama salah satunya adalah
basis seni dan budayanya. Kota nomor tiga terbesar di Indonesia ini merupakan sebuah
rumah yang menggambarkan miniatur rumah besar itu, yakni; Indonesia.
kegagalan bagi kesenian itu sendiri. Tetapi bila ditinjau dari sisi lain, kesenian sangat
mampu dikedepankan untuk mengasuh perilaku manusia agar menjadi lebih baik.
Adab dan disiplin salah satu muaranya juga ada di tempat itu. Nilai edukasi harus
dilirik dan diuji secara akademis. Untuk mendorong kebutuhan-kebutuhan yang wajib
terpenuhi sebagai satu nilai yang juga penting.
Menyimpan hakikatnya yang lain, selain estitika; Theraphy terhadap jiwa hingga
transendental. Kesenian tetap menggelinding, menggeliat tak sekedar memamerkan dirinya
sebagai alat hiburan belaka.
harus juga melakukan otokritik kepada dirinya sendiri. Hak-hak wewenang yang ada wajib
kembali diteliti, ditelaah Menyoal kegagalan lembaga-lembaga kesenian yang dibentuk.
Yang sama sekali tak memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan
iklim kesenian yang subur.
Sejarah telah membuktikan. Konsep dan strategi membangun kesenian itu sendiri tak
memberikan nyawa. Konsep-konsep yang terhidang justru hipokrit seremonial belaka.
Bentuk itu adalah sebuah kenaifan yang terus berjalan sangat santai sepanjang jejak
perjalanan kesenian kota ini.
seharusnya memberlakukan pertanyaan-pertanyaan. Hal-hal demikian perlu dipertegas
agar wibawa kesenian itu tidak mandek bahkan ambruk.
Meninggalkan rasa resah dan rasa rendah diri terhadap perkembangan pesatnya
kesenian kota-kota lainnya. Bila mungkin Pemerintah ikut meng-audit kuasa anggaran
yang dititipkan. Dengan kewenangan yang dimilikinya. Dan hal itu penting dilakukan sebagai
bentuk pertanggungjawaban, bahwa kesenian juga tidak menggunakan anggaran yang
dikeluarkan dari kantong-kantong pribadi. Masyarakat kesenian juga membutuhkan
transparasi.
yang mengutamakan bentuk seremonial dan tidak berpihak kepada esensi kesenian atau
kelembagaan yang diharapkan. Kebijaksanaan itu membutuhkan pertimbangan yang konkrit
juga dari hak-hak wewenang yang ada. Agar tidak lagi ada unggkapan; “Lebih besar Pasak
daripada Tiang.”.
Presiden Joko Widodo pada 24 Mei 2017. Untuk pertama kalinya, Indonesia memiliki
undang-undang tentang Kebudayaan Nasional, ….. Pasal 32 UUD 1945 dikembangkan
menjadi, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia
dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-
nilai budayanya.”
lumpuh secara intelektual dan emosional, hingga hanya berjuang untuk hidup tanpa jelas
apa tujuan akhirnya. Manusia hanya bisa menunggu, dalam ketidak jelasan dan ketidak
tahuan kemana hidupnya akan bermuara.
ingin menyampaikan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak berdaya. Hipotesis
demikian tentu tidak boleh diberlakukan di dunia kesenian. Memberikan mimpi dan harapan-
harapan palsu.
seluruh konsep yang akan dikemukakan. Dengan bijaksana membaca keinginan
masyarakat kesenian kota ini. Hak wewenang itu juga tidak asal menggerakan dan
memerintahkan jari membuat keputusan yang salah lagi. Kelembagaan kesenian harusnya
juga menghidar dari produk-produk kegagalan itu. Agar mampu mengusung kewibawaan
dan kebanggaan bagi masyarakatnya, bukan meninggalkan jejak rendah diri.
Sebuah Catatan : HASRAT UNTUK BERUBAH
Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi ingin merubah dunia.
Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tidak kunjung
berubah, maka cita-cita itupun agak kupersempit, lalu kuputuskan untuk hanya mengubah
negeriku.
semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang-orang
yang paling dekat denganku. Tetapi celakanya, merekapun tidak mau diubah. Dan kini,
sementara aku berbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari andaikan yang pertama-
tama kuubah adalah diriku maka dengan menjadikan diriku sebagai teladan, mungkin aku
bisa mengubah keluargaku, dengan inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi akupun
mampu memperbaiki negeriku kemudian siapa tahu, aku bahkan bisa mengubah dunia.
(Terukir di sebuah makam di Westminter Abbey, Inggris, 1100 Masehi, The Power of
Spiritual Network Marketing.)

