• Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
Infomu
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi
No Result
View All Result
Infomu
No Result
View All Result
Kolom Hafidz Taadi : Drama Absurd Lembaga Kesenian

Hafidz Taadi

Kolom Hafidz Taadi : Drama Absurd Lembaga Kesenian

Syaiful Hadi by Syaiful Hadi
7 Desember 2021
in Kolom, Seni dan Budaya
86

DRAMA ABSURD LEMBAGA KESENIAN

Oleh : Hafiztaadi

Orang-orang ingin membangun karir mereka untuk mendekorasi ‘rumah’ , mungkin
rumah itu bernama k e s e n i a n . Sebagian besar keberadaan manusia yang berada di
dalamnya, menceburkan dirinya bernaung di tempat itu tetap mengatakan bahwa rumah itu,
adalah tempat berteduh yang beradab.
Bebas melahirkan mimpi tentang apa saja. Mimpi dengan berbagai imajinasi yang
dibalut nilai-nilai estitika. Sekali waktu membentur ‘ dinding ‘ yang sama sekali tak memiliki
logikanya. Kemudian proses kreatif menuntun, membangun logika, membangun energi yang
sangat fantastik. Menerobos, menggelitik indera, syaraf para penikmatnya. Meninggalkan
jejak logika yang baru.

Rumah yang dianggap sangat beradab itu, kucel, kusam dan kehilangan darah serta
nyawa. Tanpa karpet, permadani, lukisan, bahkan perawatan jendela; jendela, dinding, dan
lantai tempat tinggal peradaban manusia itu kelihatan lebih miskin. Ter-biarkan
tanpa hiasan. Apakah ini semua gejala fase baru evolusi manusia?
Jika seekor Burung Merak tidak cukup mengesankan dalam penampilannya, para
betinanya akan menghindari rayuan mereka. Hal yang sama berlaku untuk setiap spesies.
Ungkapan itu digunakan untuk sebuah peryataan bahwa Kesenian Kota ini makin
lusuh , Tempat untuk berhiasnya tak pernah dipikirkan secara matang untuk didirikan,
bahkan semakin ter-marginalkan. Tersuruk dan tersuruk. (Lihatlah keberadaan Eks. gedung
taman budaya jln. Perintis Kemerdekaan sekarang? Sebagai bukti bahwa; Gedung
kebanggaan Seniman kota ini yang dianggap memiliki sejarah khusus itu terbenkalai begitu
saja.

Perpindahannya juga tak diperhitungkan secara matang. Bahkan tak memberikan
kesan baik bagi masyarakat kesenian kota ini. Janji? mampu memberikan semangat lain.
Tetapi janji tentu bisa juga lumpuh dan bisa terabaikan, tak mampu terujutkan.
Mandul, ucapan itu sebuah kenyataan pahit. Ucapan itu juga terus melenggang. Kata
itu pernah diucapkan pemimpin daerah ini. Ya, Seniman Sumut mandul. Karena sampai hari
inipun tidak ada gedung kesenian untuk memamerkan segala hasil karya kesenian. Ucapan
kata memamerkan lebih kepada untuk mengucapkan kreatifitas. Apa yang salah
sebenarnya? Mungkin pengucapan itu sendiri tak dibarengi oleh niat, strategi membangun
peradaban kesenian dan budaya yang ada.

Secara perlahan-lahan, jejak-jejak kemasyuran, disinyalir kota yang memiliki potensi K
o t a B e r b u d a y a dan bermartabat itu, menjadi slogan yang menyemburkan
kehampaan belaka.

Lantas apakah kota ini tanahnya tak lagi subur untuk kesenian? Apakah peradaban
Kebudayaan kota yang memiliki kekayaan dari keragaman etnik yang ada juga harus
dikubur paksa hidup-hidup? Pertanyaan ini menjadi sangat klise, diucapkan ber-ulang-ulang.
Dalam Kebudayaan Yunani Klasik menunjukkan subjek yang lebih santai, terkadang
bahkan dalam sebuah pose yang aktif, memegang simbol-simbol alat pakai atau alat musik.
Patung-patung mengikuti tren seni yang menunjukan peradaban di zamannya Zeus di
Olympia menjadi begitu sempurna.
Hal itu adalah sebuah kebijaksanaan yang sangat cerdas. Kecerdasan itu juga
sebenarnya bertitik tolak dari kesadaran alam bawah sadar manusia. Penghargaan dan
Apresiasi itu mampu menembus ruang yang mungkin awalnya begitu gelap, menjadi terang
benderang sebagai pola pikir yang mampu menerobos massa depan untuk kepentingan
sebuah Kota atau Negara sebagai jejak-jejak peradaban. Bukan diukur dari keindahannya
saja.
Pemikiran itu menjadi lebih penting dan mampu mendongkrak potensi ekonomi. Tren
Indonesia saat ini ikut menyatakan, bahwa secara perlahan-lahan, masyarakat harus diasuh
untuk membangun ekonomi kreatif-nya untuk saat ini dan masa depan.
Strategi dan kepedulian yang berpihak kemasa depan sudah barang tentu memiliki
kesetaraan dengan nilai-nilai keluhuran akal manusianya. Re-presentasi dari rasa
keindahan yang di’cebur’kan ke dalam diri kita oleh Yang Maha Pemberi hidup dan
kehidupan. Harusnya tetap dirawat dan diruwat. Pengingkaran itu berarti perlawanan
terhadap Kodrati atas sebuah pemberian karunia.
Membangun perdaban kesenian, rumah-rumah kreatif memang begitu sangat ruwet
dan tidak gampang seperti membolak-balikan telapak tangan. Sumatera Utara dan kota
Medan memiliki potensi untuk disuburkan dalam segala hal. Terutama salah satunya adalah
basis seni dan budayanya. Kota nomor tiga terbesar di Indonesia ini merupakan sebuah
rumah yang menggambarkan miniatur rumah besar itu, yakni; Indonesia.
Bila kesenian diukur dari sisi material, maka hal tersebut adalah salah satu penyulut
kegagalan bagi kesenian itu sendiri. Tetapi bila ditinjau dari sisi lain, kesenian sangat
mampu dikedepankan untuk mengasuh perilaku manusia agar menjadi lebih baik.
Adab dan disiplin salah satu muaranya juga ada di tempat itu. Nilai edukasi harus
dilirik dan diuji secara akademis. Untuk mendorong kebutuhan-kebutuhan yang wajib
terpenuhi sebagai satu nilai yang juga penting.
Secara masif kesenian memiliki daya dan perjuangannya terhadap nilai-nilai kebaikan.
Menyimpan hakikatnya yang lain, selain estitika; Theraphy terhadap jiwa hingga
transendental. Kesenian tetap menggelinding, menggeliat tak sekedar memamerkan dirinya
sebagai alat hiburan belaka.
Lantas dimana absurdnya?
Sebelum mengalami kehancuran yang sebenarnya. Pemerintah Daerah sekali waktu
harus juga melakukan otokritik kepada dirinya sendiri. Hak-hak wewenang yang ada wajib
kembali diteliti, ditelaah Menyoal kegagalan lembaga-lembaga kesenian yang dibentuk.
Yang sama sekali tak memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan dan perkembangan
iklim kesenian yang subur.
Sejarah telah membuktikan. Konsep dan strategi membangun kesenian itu sendiri tak
memberikan nyawa. Konsep-konsep yang terhidang justru hipokrit seremonial belaka.
Bentuk itu adalah sebuah kenaifan yang terus berjalan sangat santai sepanjang jejak
perjalanan kesenian kota ini.
Aku kira persoalan ini perlu dipikirkan secara matang. Kegagalan demi kegagalan
seharusnya memberlakukan pertanyaan-pertanyaan. Hal-hal demikian perlu dipertegas
agar wibawa kesenian itu tidak mandek bahkan ambruk.
Meninggalkan rasa resah dan rasa rendah diri terhadap perkembangan pesatnya
kesenian kota-kota lainnya. Bila mungkin Pemerintah ikut meng-audit kuasa anggaran
yang dititipkan. Dengan kewenangan yang dimilikinya. Dan hal itu penting dilakukan sebagai
bentuk pertanggungjawaban, bahwa kesenian juga tidak menggunakan anggaran yang
dikeluarkan dari kantong-kantong pribadi. Masyarakat kesenian juga membutuhkan
transparasi.
Strategi dan konsep-konsep itu dituntut untuk menghindari kegagalan produk kesenian
yang mengutamakan bentuk seremonial dan tidak berpihak kepada esensi kesenian atau
kelembagaan yang diharapkan. Kebijaksanaan itu membutuhkan pertimbangan yang konkrit
juga dari hak-hak wewenang yang ada. Agar tidak lagi ada unggkapan; “Lebih besar Pasak
daripada Tiang.”.
Undang-Undang Nomor 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan ditandatangi
Presiden Joko Widodo pada 24 Mei 2017. Untuk pertama kalinya, Indonesia memiliki
undang-undang tentang Kebudayaan Nasional, ….. Pasal 32 UUD 1945 dikembangkan
menjadi, “Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia
dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-
nilai budayanya.”
Waiting For Godot (Samuel Beckett), disampaikan pesan bahwa manusia bahkan
lumpuh secara intelektual dan emosional, hingga hanya berjuang untuk hidup tanpa jelas
apa tujuan akhirnya. Manusia hanya bisa menunggu, dalam ketidak jelasan dan ketidak
tahuan kemana hidupnya akan bermuara.
Beckett, adalah salah satu penganut pesimisme akut. Intinya, Samuel Becket
ingin menyampaikan bahwa manusia adalah makhluk yang tidak berdaya. Hipotesis
demikian tentu tidak boleh diberlakukan di dunia kesenian. Memberikan mimpi dan harapan-
harapan palsu.
Menghindar dari keabsurdan itu tentu pola yang harus diasup adalah membedah
seluruh konsep yang akan dikemukakan. Dengan bijaksana membaca keinginan
masyarakat kesenian kota ini. Hak wewenang itu juga tidak asal menggerakan dan
memerintahkan jari membuat keputusan yang salah lagi. Kelembagaan kesenian harusnya
juga menghidar dari produk-produk kegagalan itu. Agar mampu mengusung kewibawaan
dan kebanggaan bagi masyarakatnya, bukan meninggalkan jejak rendah diri.
Sebuah Catatan : HASRAT UNTUK BERUBAH
Ketika aku masih muda dan bebas berkhayal, aku bermimpi ingin merubah dunia.
Seiring dengan bertambahnya usia dan kearifanku, kudapati bahwa dunia tidak kunjung
berubah, maka cita-cita itupun agak kupersempit, lalu kuputuskan untuk hanya mengubah
negeriku.
Namun nampaknya, hasrat itupun tiada hasil. Ketika usiaku semakin senja, dengan
semangatku yang masih tersisa, kuputuskan untuk mengubah keluargaku, orang-orang
yang paling dekat denganku. Tetapi celakanya, merekapun tidak mau diubah. Dan kini,
sementara aku berbaring saat ajal menjelang, tiba-tiba kusadari andaikan yang pertama-
tama kuubah adalah diriku maka dengan menjadikan diriku sebagai teladan, mungkin aku
bisa mengubah keluargaku, dengan inspirasi dan dorongan mereka, bisa jadi akupun
mampu memperbaiki negeriku kemudian siapa tahu, aku bahkan bisa mengubah dunia.
(Terukir di sebuah makam di Westminter Abbey, Inggris, 1100 Masehi, The Power of
Spiritual Network Marketing.)
Hafiztaadi, Pendiri teater Siklus Ind. Art Medan/Pengurus Badan Kebudayaan Sumatera Utara.

Bagikan ini:

  • Klik untuk membagikan di Facebook(Membuka di jendela yang baru) Facebook
  • Klik untuk berbagi di WhatsApp(Membuka di jendela yang baru) WhatsApp
  • Klik untuk berbagi di Telegram(Membuka di jendela yang baru) Telegram
  • Klik untuk mengirimkan email tautan ke teman(Membuka di jendela yang baru) Surat elektronik
  • Klik untuk berbagi di Linkedln(Membuka di jendela yang baru) LinkedIn
  • Klik untuk mencetak(Membuka di jendela yang baru) Cetak
Tags: hafidz taadikebudayaankolom
Previous Post

LazisMu Aceh Barat, Salurkan Santunan untuk Fakir Miskin

Next Post

Tim Pendampingan UMSU Lakukan Test Bakat Siswa SNAKMA Muhammadiyah

Next Post
Tim Pendampingan UMSU Lakukan Test Bakat Siswa SNAKMA Muhammadiyah

Tim Pendampingan UMSU Lakukan Test Bakat Siswa SNAKMA Muhammadiyah

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  • Beranda
  • Kabar
  • Literasi
  • Kolom
  • Kesehatan
  • Muktamar
  • Pendidikan
  • Redaksi
Call us: +1 234 JEG THEME

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.

No Result
View All Result
  • Beranda
  • Kabar
    • Persyarikatan
    • Peristiwa
    • Ekonomi
    • Info LazisMu
    • InfoMU tv
  • Literasi
    • Kampus
    • Tarjih
    • Taman Pustaka
    • Jelajah Bumi Para Rasul
    • Majelis Pustaka & Informasi
    • Taman Pustaka
  • Kolom
    • Khutbah
    • Opini
  • Kesehatan
    • Lingkungan
    • Halal Center
  • Muktamar
    • Muktamar 48
    • Road To Muktamar 49
  • Pendidikan
    • umsu
    • Sekolah
  • Redaksi

© 2025 JNews - Premium WordPress news & magazine theme by Jegtheme.