Fitrah : Perjanjian Primordial yang Hilang
Oleh Edi Suheri, Dai dan Pembina Ma’had Tahfidz Al-Qur’an Imam Ahmad Abi Abdillah
Fitrah manusia adalah mengenal dan mengesakan Allah Subhanahu wa Ta’ala bahwa tidak ada Ilah [yang haq] selain-Nya, sebagaimana janji setiap manusia : ‘Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka [seraya berfirman], ‘Bukankan Aku ini Tuhanmu ?’ Mereka menjawab, ‘Betul [Engkau Tuhan kami], kami bersaksi’. [Q.s
al-A’raf [7] : 172]. Tahukah Anda bahwa jauh-jauh hari sebelum terlahir ke dunia manusia sudah terikat perjanjian dengan Allah ? Hadits dari Abu Hurairah berkata Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa Sallam berkata :
لَمَّا خَلَقَ اللَّهُ آدَمَ مَسَحَ ظَهْرَهُ، فَسَقَطَ مِنْ ظَهْرِهِ كُلُّ نَسَمَةٍ هُوَ خَالِقُهَا مِنْ ذُرِّيَّتِهِ إِلَى يَوْمِ القِيَامَةِ، وَجَعَلَ بَيْنَ عَيْنَيْ
كُلِّ إِنْسَانٍ مِنْهُمْ وَبِيصًا مِنْ نُورٍ، ثُمَّ عَرَضَهُمْ عَلَى آدَمَفَقَالَ: أَيْ رَبِّ، مَنْ هَؤُلَاءِ؟ قَالَ: هَؤُلَاءِ ذُرِّيَّتُكَ
Sewaktu menciptakan Nabi Adam ‘alaihissalam, Allah Subhanahu wa Ta’ala mengusap punggungnya. Maka
berjatuhanlah dari punggungnya setiap jiwa keturunan yang akan diciptakan Allah dari Adam hingga hari Kiamat.
Kemudian, di antara kedua mata setiap manusia dari keturunannya Allah menjadikan cahaya yang bersinar.
Selanjutnya, mereka disodorkan kepadanya. Adam pun bertanya, ‘Wahai Tuhan, siapakah mereka ?’ Allah
menjawab, ‘Mereka adalah keturunanmu,’ [HR. al-Tirmidzi].
Pada saat seluruh calon keturunan Adam ‘alaihissalam dikeluarkan dari punggungnya, Allah mengambil janji dan sumpah setia mereka : ‘Dan [ingatlah] ketika Tuhanmu mengeluarkan dari sulbi [tulang belakang] anak cucu Adam keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap ruh mereka [seraya berfirman], ‘Bukankah
Aku ini Tuhanmu ?’ Mereka menjawab, ‘Betul [Engkau Tuhan kami], kami bersaksi.’ [Kami lakukan yang demikian itu] agar di hari Kiamat kamu tidak mengatakan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.’. [Q.s al-A‘raf [7] : 172].
Pengakuan dan sikap ini, sesungguhnya merupakan realisme instinctif yang dimiliki oleh setiap manusia. Realisme instinktif manusia mengatakan, bahwa alam wujud pastilah memiliki satu penopang yang merupakan sumber serta pemelihara alam semesta serta sumber kekuasaan dan pengetahuan yang tak terbatas ini, dan sumber ini yang disebut dengan Tuhan. Instink kepercayaan akan adanya Tuhan diiringi pula oleh instink rasa tunduk kepada-Nya. Instink tunduk kepada-Nya ini menghendaki manusia berbakti [beribadah] kepada-Nya.
Mempercayai adanya Tuhan dan merasa tunduk kepada-Nya merupakan tabiat asli [fithrah] manusia, yang tak dapat terhapus dari dirinya. Karena itu, perpindahan dari satu bentuk tindakan ubudiyah kepada bentuk yang lain dapat dilihat sebagai tindakan subtitutif belaka. Hal demikian, karena dalam kenyataan hidup tidak ada manusia yang bebas sama sekali dari suatu bentuk ekspresi pengagungan yang mempunyai nilai ubudiyah atau
devotional. Diakui, bahwa orang-orang atheis tidak mempercayai adanya Tuhan. Dengan itu dapatlah dikatakan bahwa mereka pindah dari menundukkan diri terhadap Tuhan Yang Ghaib kepada tuhan-tuhan yang nyata, yang mereka yakini mempunyai kelebihan dari diri mereka sendiri (1).
Sesungguhynya fitrah manusia dengan tabiat agama saling berkaitan dan semuanya berasal dari Allah Subhanahu wa Ta’ala. Jika manusia itu menyimpang dari fitrahya, tak ada yang dapat mengembalikannya ke
jalan yang benar kecuali agama ini yang selaras dengan fitrah itu. Allah mempersaksikan setiap manusia yang berakal tentang ke-Esaanya setelah mengutus para Nabi agar tidak ada yang berdalih bahwa dia tidak tahu. Pengakuan ke-Esaannya melekat pada diri manusia. Namun dalam perjalanannya banyak manusia mengalamai
peroses yang menjauhkan dirinya dari fitrah tersebut, khususnya yang berkaitan dengan faham ketuhanan. Fakta belakangan ini menunjukkan bahwa secara teologis ada yang bertuhan dan beragama hanya pada tataran teoritis tapi tidak dalam tataran praktis [sekularisme], ada yang berlindung dibalik ketidakmampuan atau kemustahilan manusia mengetahui Tuhan [agnostisisme], bahkan ada yang sama sekali mengingkari Tuhan dan agama, baik secara teoritis maupun praktis [atheism]. (2).
Lantas, mengapa kemudian manusia ingkar janji, menyimpang, dan kufur ? Itulah sifat manusia. Mereka lupa atas
janjinya sendiri di hadapan Rabb mereka. Makanya Allah mengutus para rasul untuk mengingatkan janji itu. Sehingga tidak ada hujjah bagi mereka untuk tidak beriman saat ditagih janji pada hari Kiamat kelak. Tak lagi ada alasan, ‘Sesungguhnya ketika itu kami lengah terhadap ini.’. [Q.s al-A‘raf [7] : 172].
Kepada orang-orang yang menyimpang dari fitrahnya ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala menegur dan mengingatkan kembali janji primordialnya yang dahulu pernah dideklarasikan :
اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ أَلَمْ أَعْهَدْ إِلَيْكُمْ يَا بَنِي آدَمَ أَنْ لَا تَعْبُدُوا الشَّيْطَانَ
Bukankah Aku telah memerintahkan kepadamu wahai anak cucu Adam agar kamu tidak menyembah setan. Sungguh, setan itu musuh yang nyata bagi kamu [Q.s Yasin [36] : 60].
Sebagaimana telah disebutkan di atas, diantara bentuk penyimpangan terhadap fitrah ber-Tuhan dan atau perjanjian primordial tersebut – dalam sejarah manusia – adalah atheism, yaitu pemikiran yang beranggapan dan merasa tak perlu dan atau tidak percaya pada Tuhan karena tak dapat dibuktikan eksistensinya,
Atheisme & Dalil-Dalilnya
Atheisme adalah paham yang tidak mengakui bahwa Tuhan itu ada. (3). Karl Karnadi menyebutkan bahwa Atheisme adalah bentuk ketidakpercayaan terhadap Tuhan dan dewa-dewi. Dalam kata lain, seorang Atheis tidak mempercayai adanya bentuk kesadaran yang biasa disebut Tuhan dalam penciptaan alam semesta. (4)
Istilah Atheisme populer pada awal perkembangan Kristen yakni di awal tahun Masehi di mana pada saat itu terjadi benturan antara kepercayaan orang-orang Yunani yang mempercayai dewa-dewi sebagai Tuhan dan Romawi Kuno yang beragama Pagan dengan penyebar agama Kristen. Istilah Atheis dipakai untuk saling menyudutkan bahwa orang-orang Pagan yang tak mau mengakui Tuhan agama Kristen maka mereka disebut Atheis, dan sebaliknya orang Kristen yang tak mau mengakui dewa-dewi agama Pagan juga dituding sebagai Atheis. (5).
Sebagai aliran kepercayaan yang berdiri sendiri, Atheisme baru muncul abad ke-18 di Eropa, kemudian meluas menjadi sampai ke belahan Timur sampai sekarang. (6) Lahan paling subur untuk perkembangan Atheisme memang masih belahan dunia Barat. Meskipun kini makin melebar ke belahan Timur. Ini misalnya bisa dibaca dalam leporan CNBC Indonesia, 04 April 2023 di bawah judul ‘Fenomena Ramai Jadi Ateis di Negara Arab,
Ada Apa ?’, terkait agama yang dianut penduduk Arab dan fenomena kenaikan penganut ateisme. Ada beberapa survei yang memaparkan fakta demikian. Dalam survei BBC International [2019], terjadi peningkatan persentase penduduk yang tidak beragama, dari awalnya hanya 8% pada 2013 menjadi 13% pada 2019.
Beberapa lembaga juga pernah melakukan jajak pendapat dalam tingkat regional. Di Iran, dalam riset Iranian’s Attitudes Toward Religion [2020], terungkap bahwa 47% dari 40.000 responden mengaku telah beralih dari beragama menjadi ateis. Sementara di Turki, negara yang 99% berpenduduk Muslim, tercatat peningkatan jumlah ateis dalam kurun 10 tahun terakhir. Dalam laporan lembaga survey Konda [2019], ditemukan bahwa jumlah orang Turki yang mengaku menganut Islam telah turun dari 55% menjadi 51%. Penurunan ini bukan beralih ke agama lain tetapi menjadi ateis.
Sedangkan di Mesir, mengutip Deutsche Welle , Universitas Al-Azhar Kairo pada 2014 juga melakukan survey tentang topik serupa. Hasilnya menunjukkan bahwa 10,7 juta dari 87 juta penduduk Mesir mengaku menjadi ateis, mencapai 12,3% dari keseluruhan populasi. Hal sama juga terjadi di Arab Saudi. Mengutip laporan Saudi Arabia 2021 International Religious Freedom Report [2021], tercatat ada 224 ribu yang memilih tidak beragama, baik ateis atau agnostik.
Pertumbuhan Atheisme di dunia Barat sendiri disebabkan oleh, yang pertama, Atheisme berkembang sebagai antitesa terhadap dogmatisme. Dan yang kedua, ajaran ini semakin berkembang dengan semakin meluasnya paham liberalism, (7) yang melahirkan kebencian terhadap agama dan keinginan bebas darinya. Friedrick Nietzsche [1844-1900] misalnya, yang secara terang-terangan menyatakan bahwa ‘Tuhan telah mati’ [the death of God], (8) manusialah pembunuhnya, sebagai ekspresi atas budaya Atheism di Barat.
Dalam perkembangannya ini, Atheisme telah menjadi tantangan tersendiri bagi orang yang percaya dan mengimani adanya Tuhan. Karena, Atheisme menolak secara terang-terangan dan memberi alasan yang rasional akan tidak adanya Tuhan. Atheisme lahir dari adanya hal-hal di dunia ini, yang jika dikaitkan dengan adanya Tuhan, menurut para Atheis, menjadi sangat tidak rasional. Karena itu, atheisme menyerang pemikiran yang percaya dan mengimani Tuhan. (9) Inilah visi filosofis Atheisme, tidak percaya akan keberadaan atau adanya Tuhan. Dimana Tuhan tidak benar-benar dibutuhkan dalam kehidupan. Visi filosofis ini mengandung dua makna, yang pertama, me-negasi-kan keberadaan Tuhan, sekaligus meng-afirmasi eksistensi manusia, dan yang
kedua bermakna, hidup tanpa Tuhan.
Bukan hanya wujud Tuhan. Lebih dari itu, kekuasaan bahkan sifat-sifatnya juga tidak lagi dipercaya. Hal yang demikian dapat ditelusuri melalui argumen-argumen para Atheis seperti August Comte (1798-1857) yang menegaskan bahwa ‘karena agama – maksudnya Tuhan – tidak bisa dilihat, diukur dan dibuktikan, maka
agama tidak mengandung arti apapun’, (10) atau pandangan bahwa ‘agama sebagai gejala peradaban primitif’’. (11) Ludwig Andreas Feuerbach [1804-1872] menyatakan bahwa, ‘Tuhan adalah hasil proyeksi diri manusia sendiri’, (12) dan Karl Marx [1818-1883) yang mengatakan, ‘agama adalah candu’. (13) . Argumen-argumen para
Atheis lainnya juga bisa dilacak pada pemikiran Sigmund Freud [1856-1939] (14) dan Jean Paul Sartre [1905-1980]. (15). Pandangan-pandangan inilah yang kemudian yang mewujud dalam ciri khas Atheistik berdasar pada argumentasi-argumentasi filosofisnya masing-masing, namun memiliki titik temu, yaitu bahwa para Atheis menganggap kehadiran Tuhan tidak ada artinya, mengganggu bahkan meniadakan kebebasan manusia.
Pikiran-pikiran para Atheis diantaranya berkenaan dengan problem koeksistensial antara Tuhan dan manusia demi kebebasan. Atheis semisal Nietzsche menyebutkan bahwa adanya kepercayaan pada Tuhan berarti menghalangi dinamika manusia. (16). Tuhan hidup, manusia mati, atau sebaliknya, manusia hidup dan
Tuhan harus mati. Keduanya tidak mungkin hidup bersama. (17). Karena eksistensi Tuhan dianggap sebagai ancaman kebebasan terbesar bagi manusia. Dengan demikian, Nietzsche memandang Tuhan sebagai hakikat yang bertentangan dengan hidup. Jadi, dengan membunuh Tuhan, berarti mengembalikan perhatian hanya pada manusia.
Arqom Kuswanjono menunjukkan beberapa dalil yang menjadi pegangan para Atheisme ini : (18)
1) Naturalisme, paham yang menganggap bahwa dunia empiris ini merupakan keseluruhan realita. Adanya alam tidak membutuhkan adanya bantuan dari luar. Semua kejadian di alam berada dalam siklus yang terus berjalan, sehingga tidak membutuhkan adanya kehadiran pihak lain untuk memahami alam, naturalisme bertentangan dengan supranaturalisme.
2) Kejahatan dan penderitaan. Jika Tuhan betul-betul Maha Kasih, tentunya akan menghapus kejahatan. Apabila Ia Maha Kuasa pasti akan menghapus kejahatan ini. Kenyataannya kejahatan ini masih tetap ada, oleh karenanya Tuhan tidak dapat bersifat Maha Kuasa dan Maha Kasih.
3) Otonomi manusia. Manakala Tuhan ada, maka manusia secara otomatis tidak memberi kebebasan, Padahal
kenyataannya manusia bebas. Jadi, Tuhan tidak ada. 4) Kepercayaan kepada Tuhan hanya hasil dari pikiran, harapan [wishful thinking] dan kebiasaan masyarakat.
Pemikiran Atheisme ini tentu merupakan penyangkalan terhadap fitrah manusia yang ber-Tuhan-kan hanya kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Lebih jauh lagi, Atheisme juga menawarkan konsep dalam bentuk kebebasan untuk tidak memiliki agama. Atheisme menjadi suatu yang sangat berbahaya karena ketidakpercayaannya terhadap eksistensi Tuhan dan penciptaan alam yang tidak ada keterkaitannya dengan sang pencipta alam.
Sehingga timbullah sikap naturalisme yang menyatakan bahwa alam itu berdiri sendiri dan tidak ada campur tangan Tuhan. (***)

