Pesimisme dan Narasi Negatif terhadap KHGT
Oleh : Dr. Arwin Juli Rakhmadi Butar-Butar Dosen FAI UMSU dan Kepala OIF UMSU
Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT) merupakan terobosan sekaligus jawaban atas utang peradaban Islam selama 14 abad lebih terkait sistem penjadwalan waktu (kalender) yang definitif lagi global bagi umat Islam di seluruh dunia. Kehadiran KHGT menjadi angin segar terutama bagi kalangan yang optimis dan merindukan kalender Islam pemersatu umat Islam dalam rangka mengakhiri perbedaan dalam penentuan hari-hari ibadah umat Islam di seluruh dunia. Muhammadiyah, sebagai salah satu organisasi kemasyarakatan Islam di Indonesia mengambil langkah progresif dengan mengkaji dan mengadopsi hasil putusan Muktamar Turki 1437 H/2016 M yang berikutnya dinamakan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT).
Tidak dipungkiri, sebagai sebuah gagasan baru, KHGT mendapat kritik dan masukan dari sejumlah kalangan. Kritik dan masukan itu meliputi aspek Prinsip, Syarat, dan Parameter (PSP), yang mana ketiganya merupakan unsur melekat dan bagian tak terpisahkan dalam KHGT sebagai kalender unifikatif. Tidak dipungkiri, konstruksi KHGT atau hasil putusan Muktamar Turki 1437 H/2016 M memiliki sejumlah kelemahan yang patut disempurnakan.
Sebagai sebuah gagasan baru, terlebih merupakan produk fikih kontemporer, dipastikan KHGT akan menghadapi tantangan berupa kritikan dalam berbagai aspek sebagai konsekuensi perbedaan cara pandang dalam memahami dalil dan konteks persoalan. Sekali lagi hal semacam ini sesuatu yang lumrah dan alami. Namun selain kritik dan masukan konstruktif, KHGT juga ternyata mendapat pesimisme dan penolakan terutama dari pihak yang memang sejak dari awal pesimis terhadap kehadiran KHGT dengan berbagai alasan dan pertimbangan. Diantara pesimisme itu adalah dengan membangun narasi bahwa KHGT sebagai produk impor dengan konotasi sinis.
Narasi ini tampak sengaja dimunculkan guna menunjukkan bahwa KHGT bukan sesuatu yang baik karena berasal dari luar negeri, bukan produk dalam negeri. Dibalik narasi ini dipahami bahwa produk (hasil kesepakatan) dalam negeri lebih baik dari produk (hasil kesepakatan) luar negeri.
Patut dicatat, KHGT yang notabenenya merupakan hasil keputusan Muktamar Turki tahun 1437 H/2016 M merupakan hasil pengkajian dan kesepakatan para ahli astronomi dan syariah tingkat dunia, setidaknya ada 60 negara dengan 100 lebih peserta yang hadir dan ikut merumuskannya. Bahkan, ada tiga utusan orang Indonesia dalam perhelatan akbar ini, terlepas tiga orang ini mewakili negara atau ormas, yang jelas ketiganya adalah orang
Indonesia. Terlepas pula tiga orang ini menyetujui atau menolak kesepakatan global-tunggal yang telah diputuskan. Tiga orang itu adalah Syamsul Anwar, Hendro Setyanto, dan Muhyiddin Junaidi. Karena itu, putusan dan pengadopsian putusan Turki 1437 H/2016 M tidak dapat dikatakan sebagai hasil impor karena kenyataannya ada kehadiran tiga orang Indonesia yang sekali lagi terlepas ketiganya menyetujui atau menolak putusan tersebut.
Karena itu bagaimana mungkin dikatakan produk impor padahal ada peran tiga orang utusan orang Indonesia, apakah ketiganya tidak dianggap? Patut dicatat pula pada pertemuan sebelumnya, yaitu tahun 1434 H/2013 M, Indonesia juga mengirimkan delegasi yang dipimpin Menteri Agama RI saat itu (Suryadharma Ali) dan tim yang terdiri dari Abdul Djamil, Muchtar Ali, Moedji Raharto, Abdul Hafidz Usman, Susiknan Azhari, dan Sirril Wafa, dalam perhelatan “The Preparation Meeting for International, Crescent Observation Crescent” di Istanbul Turki, sebagai persiapan mengkaji berbagai konsep kalender Islam yang berkembang untuk dibawa ke pertemuan berikutnya (baca: Opini, Media Indonesia, Rabu 21 Februari 2024, hlm. 6).
Secara substansi, perhelatan Muktamar Turki 1437 H/2016 M merumuskan solusi global persoalan umat Islam terkait Kalender Islam. Pemenuhan solusi global ini merupakan isyarat dan penegasan al-Qur’an (lihat : QS. Al-Anbiya’ [21] : 92 & 107, QS. Al-Mu’min [23]: 52, QS. Saba’ [34]: 28). Sementara secara komposisi, Muktamar ini dihadiri tokoh- tokoh ulama, ilmuwan, dan pemikir Islam dunia, salah satunya adalah Syaikh Yusuf al-Qaradhawi (w. 1443 H/2022 M) dari kalangan ulama. Sementara dari kalangan pemikir kalender Islam ada Muhammd Syaukat ‘Audah (Odeh), Nidhal Qassum, Jamaluddin ‘Abd ar-Raziq, Haiman Mutawalli, Jalaluddin Khanji, dan lainnya.
Selain itu, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, selaku tuan rumah juga mendukung penuh Muktamar tersebut dengan memberi sambutan tertulis (yang dibacakan oleh salah seorang panitia muktamar). Erdogan mendukung penuh upaya perumusan kalender Islam dunia tersebut, ia menyampaikan harapannya bahwa muktamar ini memunculkan roadmape kalender Islam dari kalangan para ulama dan saintis (astronom). Lebih dari itu, Erdogan juga optimis bahwa sejatinya akan terjadi kesepakatan di kalangan umat Islam terkait penyatuan kalender hijriah ini. Bahkan sebagai bentuk komitmen sebagai penyelenggara, Turki langsung menerapkan putusan tersebut.
Kembali kepada KHGT sebagai produk impor. Padahal bila diperhatikan, ada banyak produk hasil kesepakatan dunia yang boleh jadi Indonesia sama sekali tidak terlibat di dalamnya namun produk (kesepakatan) itu digunakan di Indonesia tanpa ada penolakan, tanpa pesimisme, dan tanpa narasi negatif, diantaranya adalah konsepsi awal hari atau zona waktu dari garis tanggal internasional (International Date Line). Seperti diketahui aliran dan penamaan hari di Indonesia dan dunia hari ini merujuk dan bermula dari garis bujur 180 derajat yang terletak di tengah Samudera Pasifik, yang darinya dirumuskan perhitungan waktu dan hari, diantaranya hari Jum’at sebagai hari pelaksanaan ibadah salat Jum’at di Indonesia dan negara-negara di dunia. Bahkan produk ini pada awalnya dirumuskan oleh orang-orang non Muslim, mengapa terhadap produk ini tidak ada narasi ‘produk impor’?
Berikutnya lagi “Konvensi Internasional Tentang Perlindungan Terhadap Semua Orang Dari Tindakan Penghilangan Secara Paksa”, “Konvensi Internasional tentang Perlindungan Hak-hak Pekerja Migran dan Keluarganya”, “Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia”, dan produk-produk (hukum, ketetapan, kesepakatan) luar negeri lainnya. Semua ini digunakan dan menjadi panduan orang Indonesia dalam kontestasi dan konteks peran
globalnya di dunia internasional. Bahkan secara konseptual umat Islam di Indonesia memerlukan dan berkepentingan atas segenap undang-undang ini sebagai bentuk perlindungan dan menjaga jiwa (hifzh nafs) dan bahkan menjaga harta (hifzh maal). Adakah produk-produk impor ini bermasalah atau dipermasalahkan?
Contoh paling konkret lagi adalah Rekomendasi Jakarta 2017 M, yang notabenenya dirumuskan oleh lima negara (Indonesia, Malaysia, Singapura, Brunei Darussalam, dan Yordania). Bagi negara masing-masing, apakah rumusan 3-6.4 tersebut betul-betul produk dalam negeri? Negara Yordania misalnya, andai saja negara ini menerima dan menerapkan kriteria Rekomendasi Jakarta 2017 M sebagai panduan dalam penetapan hari-hari ibadah
mereka, apakah umat Islam di negara ini harus dikatakan menggunakan produk (kesepakatan) impor karena berasal dari kesepakatan yang berasal dari luar negara mereka?
Sekali lagi ada sangat banyak produk-produk (hasil-hasil keputusan) yang berasal dari konsensus dunia internasional yang berguna di Indonesia, namun tidak ada narasi negatif yang ditujukan atasnya. Karena itu pula narasi atas KHGT dengan istilah “impor” sesungguhnya bentuk sinisme dan pesimisme atas kehadiran KHGT. Narasi ini sama sekali tidak substantif, menunjukkan semacam kehabisan kritik sehingga mencari istilah yang
seolah menohok dan berusaha memojokkan, namun tanpa disadari narasi semacam ini ibarat menepuk air terpercik muka sendiri.
Sebagai sebuah kebebasan berpendapat, narasi ini dan narasi apa saja tentu sah-sah saja, namun semua orang dapat menilainya sebagai sesuatu yang tak berguna. Secara pasti narasi semacam ini sama sekali tidak mengedukasi, apatah lagi membantu mencarikan solusi. Wallahu a’lam[]